Pada artikel sebelumnya telah diuraikan alasan kenapa sebuah buku sebaiknya tidak digratiskan. Ulasan pada bagian tersebut dikaji dari aspek proses penulisan sebuah buku yang begitu rumit, panjang, dan berliku-liku. Artikel bagian kedua ini akan membahas alasan lainnya, yaitu dilihat dari aspek nilai yang terkandung dalam sebuah buku.
Dapatkan di Shopee atau Playstore |
Seorang penulis tentu sangat bahagia kalau melihat bukunya senantiasa dibaca, diletakkan di lemari kaca, di rak paling atas, diberi kapur barus supaya tidak jamuran atau dimakan rayap, dibersihkan dari debu pada waktu-waktu tertentu, dan seterusnya.
Sebaliknya, seorang penulis akan sangat terluka kalau mengetahui bukunya tidak pernah dibaca, halaman-halamannya dijadikan pembungkus nasi uduk, diletakkan di bawah dipan sampai berjamur dan dimakan rayap, atau mungkin sampai dibuang ke kotak sampah. Hal itu mungkin tidak berlaku pada semua penulis. Tapi kalau penulis merasakan hal seperti itu, tentu sangat manusiawi.
Ada kenyataan umum bahwa kita cenderung menghargai, menjaga, dan merawat dengan baik sesuatu yang bernilai tinggi dibandingkan sesuatu yang bernilai rendah, atau tidak bernilai sama sekali. Berlian seringkali disimpan di tempat penyimpanan yang memiliki tingkat keamanan yang tinggi karena dianggap memiliki nilai yang sangat tinggi. Sementara kerupuk sering diletakkan begitu saja di atas meja karena dianggap nilainya rendah.
Baca juga: pembelajaran berbagi keahlian
Nilai suatu barang paling tidak ditentukan oleh dua aspek yaitu aspek manfaatnya dan aspek perjuangan mendapatkannya. Berlian sebenarnya tidak terlalu bermanfaat dalam kehidupan karena tidak memiliki berlian pun tidak masalah. Berlian memiliki nilai tinggi karena kelangkaannya. Untuk mendapatkannya dibutuhkan usaha yang besar dan proses yang panjang. Berlian bernilai tinggi lebih karena kelangkaan dan perjuangan untuk mendapatkannya dibandingkan manfaatnya.
Sementara beras dan air menjadi bernilai karena aspek manfaatnya. Kenapa beras dan air tidak terlalu tinggi nilainya walaupun bermanfaat? Karena beras dan air tidak langka. Perjuangan untuk memperolehnya tidak terlalu sulit. Pengecualian bagi orang-orang fakir. Mereka mungkin menganggap beras sebagai komoditas bernilai tinggi karena mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya. Mereka harus berjuang keras untuk mendapatkannya setiap hari.
Hal yang sama juga berlaku pada buku. Kalau seorang penulis ingin bukunya dihargai tinggi, maka ia harus menghasilkan buku yang bernilai tinggi. Sama dengan berlian di atas, nilai sebuah buku paling tidak meliputi dua hal juga yaitu manfaatnya dan perjuangan dalam menulisnya. Nilai manfaat terkandung di dalam isi buku itu sendiri. Sementara nilai perjuangan terkandung pada proses penulisan buku tersebut. Nilai perjuangan sudah dibahas pada bagian 1, Kenapa Bukunya tidak Digratiskan (Bagian 1)
Baca juga: Modal Dasar Penulis Istiqomah
Buku yang memiliki manfaat besar, luas, dan sepanjang masa seperti bukunya Newton yang berjudul “Philoshopiae Naturalis Principia Mathematica” tentu jauh lebih tinggi nilainya dibandingkan buku yang manfaatnya kecil, sempit, dan sementara, atau tidak bermanfaat sama sekali, seperti buku yang mengandung fitnah, hoax, ancaman, provokasi, dan seterusnya.
Begitu juga buku yang membutuhkan perjuangan luar biasa untuk menyelesaikannya, seperti bukunya Darwin yang berjudul “On the Origin of Species” yang membutuhkan penjelahan keliling dunia selama lima tahun, tentu jauh lebih tinggi nilainya daripada sekedar buku kumpulan curhat sehari-hari ABG tentang pacarnya di sekolah.
Tapi ada kenyataan yang sangat memilukan bagi para penulis, terutama di negeri ini. Berbeda dengan berlian, karya tulis yang memiliki nilai tinggi sekali pun jarang dihargai setinggi harga berlian. Kenapa bisa seperti itu? Sampai sekarang saya juga bingung memikirkannya. Saya sering bertanya-tanya, kenapa orang sangat mudah menghargai berlian dengan nilai yang sangat fantastis bahkan terkadang tidak masuk akal, tapi jarang menghargai buku yang paling bermanfaat sekali pun dengan nilai yang sama dengan berlian.
Baca juga: Pendidikan Sains dan Teknologi
Dugaan saya, sikap menghargai buku belum membudaya di masyarakat kita yang sepertinya masih terbiasa lebih menghargai kualitas sampul daripada isi. Masyarakat kita lebih cepat silau dengan kualitas luar seseorang seperti kedudukan, jabatan, dan kekayaannya dibandingkan dengan kualitas isinya yang salah satunya berbentuk buku yang dihasilkan orang tersebut. Kita lebih sering kagum dan takjub dengan orang-orang yang kaya raya atau punya jabatan dan kedudukan tinggi dibandingkan dengan penulis yang menghasilkan buku-buku bermanfaat.
Mudah-mudahan para sahabat sekalian tersindir dan tersinggung dengan pernyataan saya di atas. Mudah-mudahan setelah merasa tersinggung, sahabat sekalian mulai tersadar bahwa pernyataan saya ini benar adanya. Mudah-mudahan kesadaran tersebut dapat mendorong sahabat sekalian untuk mulai mengubah sikap, yaitu ingin mulai menghargai buku-buku dan para penulisnya (dalam hal ini bukan saya dan tidak harus saya lho! Apalah saya! Saya hanyalah anak bau kencur yang baru belajar menulis, hihihi).
Kembali ke topik utama, kenapa bukunya tidak digratiskan?
Itu adalah salah satu cara mengubah budaya di atas, yang menurut saya kurang baik, yang masih ada di dalam masyarakat kita. Harga yang dibanderol pada buku merupakan wujud bahwa buku itu bernilai lho! Bukan hanya berlian yang bernilai di dunia ini! Bukan hanya kekayaan yang bernilai di dunia ini! Bukan hanya kedudukan yang bernilai di dunia ini! Bukan hanya jabatan yang bernilai di dunia ini! Buku pun juga bernilai! Bahkan menurut saya, buku sekelas “Philoshopiae Naturalis Principia Mathematica”-nya Newton jauh lebih bernilai jika dibandingkan dengan kekayaan, kedudukan, dan jabatan tinggi seseorang yang sering dibangga-banggakannya secara berlebihan.
Harga yang dibanderol pada sebuah buku merupakan salah satu cara untuk mendidik para pembaca agar menghargai nilai manfaat yang terkandung di dalam buku tersebut, maupun nilai perjuangan untuk menghasilkannya. Buku yang dibeli dengan nilai uang tertentu berbeda kesannya dengan buku yang diperoleh begitu saja secara gratis.
Baca juga: Pengembangan dan Penerapan Inovasi Pembelajaran
Kesan seorang mahasiswa terhadap sebuah buku yang diberikan secara gratis oleh dosennya tanpa ada alasan sama sekali, akan berbeda dengan kesan mahasiswa lainnya terhadap buku yang dibelinya dengan mengumpulkan uang recehan ketika menjadi tukang parkir. Mahasiswa yang membeli buku dengan upaya kerasnya sendiri akan jauh lebih menghargai buku yang dimilikinya dibandingkan mahasiswa yang diberi buku secara gratis tanpa ada alasan apapun.
Sikap menghargai sebuah buku tidak muncul begitu saja. Sikap itu harus dididik dan dibiasakan. Tidak menggratiskan buku merupakan salah satu cara mendidik para pembaca untuk menghargai sebuah buku. Jika seseorang bersedia mengeluarkan sejumlah uang untuk memiliki suatu buku, berarti dia sudah menunjukkan penghargaan awal akan nilai buku tersebut. Kalau kemudian dia membacanya sampai selesai, berusaha memahaminya sebaik mungkin, lalu menerapkan isinya dalam kehidupannya, itu makin menunjukkan penghargaannya yang lebih tinggi terhadap buku tersebut. Jika dia kemudian menjaga dan merawat buku tersebut secara baik dengan cara meletakkannya di tempat-tempat istimewa di rumahnya. Bentuk penghargaannya pun semakin lengkap.
Tapi sebaliknya, kalau dia enggan mengeluarkan uang untuk memiliki suatu buku, berarti dia belum mampu menunjukkan wujud penghargaan terendah terhadap buku tersebut. Padahal nilai uang yang dikeluarkannya untuk membeli sebuah buku, terkadang tidak sebanding dengan tingginya nilai hakiki buku yang ingin dimilikinya itu. Apakah orang yang hanya ingin mendapat gratisan bisa disebut menghargai suatu buku? Menurut saya, dia bukan ingin menghargai buku tersebut, melainkan dialah yang ingin dihargai dengan cara diberi secara gratis.
SELESAI.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.