Langsung ke konten utama

Catatan Kecil Anak Negeri (Kata Pengantar)

Memberikan kata pengantar untuk Buku ini merupakan salah satu tantangan yang cukup berat sepanjang karir kepenulisan saya yang masih seumuran jagung. Ini merupakan pengalaman pertama saya diminta memberikan kata pengantar di sebuah buku. Tantangan semakin berat karena perkenalan saya dengan Pak Abdul Madjid ini belum begitu lama. Walaupun kami berasal dari daerah yang sama dan masih terikat oleh ikatan darah, tapi baru-baru ini saja kami saling mengenal. Hal itu tentu saja membuat saya harus bekerja ekstra keras mengenal beliau lebih dekat.

Tantangan menulis kata pengantar ini kembali saya temukan ketika harus mencari benang merah dari berbagai tulisan beliau yang temanya sangat beragam di dalam buku ini. Setelah membaca tulisan-tulisan beliau satu per satu dan mengingat-ingat kembali status beliau di media sosial, saya pun mulai menyadari satu hal. Dua kata yang dapat dijadikan benang merah diantara semua karya tulis beliau adalah nasionalisme dan harmonisasi. Dari semua tulisan beliau, baik itu berupa kritik terhadap berbagai pihak, biografi orang-orang hebat, atau kisah-kisah di masa para nabi, nampaknya beliau selalu menonjolkan jiwa nasionalisme dan upaya menciptakan harmonisasi antar anak bangsa.

Menemukan orang yang sangat keukeuh memperjuangkan nasionalisme dan harmonisasi di tengah keberagaman yang sangat tinggi di saat sekarang ini nampaknya boleh dikatakan tidak mudah. Entah kenapa orang-orang seperti beliau ini, yang menempatkan harmonisasi di atas perbedaan sudah cukup langka. Saya tidak tahu, apakah itu karena tempat main saya yang belum terlalu jauh sehingga jarang menemukan orang-orang seperti Pak Madjid ini, atau orang-orang seperti beliau ini memang mulai langka. Atau mungkin juga karena saya terlalu jauh tenggelam di dunia maya yang di dalamnya banyak sekali berita politik atau status media sosial yang seringkali lebih menonjolkan kebencian dan permusuhan satu sama lain dibandingkan bergandengan tangan saling menguatkan untuk maju bersama. 

Memperhatikan tulisan Pak Madjid, kita akan tahu kalau beliau sangat jengah dengan kondisi-kondisi tidak kondusif terutama yang dapat berujung pada perpecahan diantara sesama anak bangsa. Beliau pun mencoba mengimbangi dengan menulis tulisan-tulisan yang pada intinya mengajak kita semua mengedepankan nasionalisme dan harmonisasi dibandingkan mempermasalahkan atau memperuncing perbedaan-perbedaan yang dapat bermuara pada permusuhan, perpecahan, atau bahkan perang saudara.

Jiwa nasionalisme beliau ditunjukkannya dengan mengungkapkan kecintaannya terhadap bumi pertiwi ini, mulai dari lingkup kecil, tanah kelahirannya sendiri, sampai lingkup yang lebih besar yaitu seluruh wilayah Indonesia termasuk provinsi paling timur, Papua. Dalam lingkup kecil ditunjukkannya dengan mengangkat budaya di daerahnya sendiri seperti pada tulisan “Riayo Haji.” Sementara kecintaannya dalam ruang lingkup yang lebih besar diungkapkannya melalui tulisan-tulisan yang berjudul “Negaraku Tetap Yang terbaik”, “Mobil Esemka Akhirnya Lahir Juga”, “Pilpres 2019 dan Perang di Belakang Layar”, atau “Pengganggu Pancasila Minggir Saja.”.

Jiwa nasionalisme beliau juga ditunjukkan dengan menyebut secara terang-terangan ancaman yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Ancaman itu dapat muncul dari dalam negeri maupaun dari luar negeri. Ancaman dari luar negeri misalnya beliau sampaikan melalui tulisan “Desain Besar di Balik Kerusuhan Papua.” Sementara ancaman dari dalam negeri beliau sampaikan melalu tulisan “Rencana Dua Aksi yang Menakutkan”, “Pilpres 2019 dan Perang di Belakang Layar”, “Radikal dan Radikalisme Simak, Ini Pengertiannya”, atau “Simbol.”

Untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara sebagai wujud jiwa nasionalismenya, beliau dengan keras mengkritik orang-orang yang mencoba merusak keharmonisan bangsa ini. Beliau menyebut orang-orang perusak keharmonisan dengan berbagai istilah seperti yang disebutkannya dalam tulisan-tulisan “Pemindahan Ibu Kota dan Kelompok Nyinyir”, “Pembenci”, “Tong Sampah”, “Beruk”, atau “Tiga Serangkai Kepala Besi.” Beliau juga mengkritik keras kaum pengancam keharmonisan tersebut seperti pada tulisan-tulisan yang berjudul “Gibran Ikut Pilwakot Solo, Masalah Buat Elu”, “Pergi Tak Diantar, Pulang Tak Dijemput”, “Mulut Pedas Tengku Zul”, serta “Cuitan Kontroversial Jonru Ginting”. Kritikan tersebut juga disinggung dalam tulisan lain seperti, “Rizieq Tersandera di Negeri Shalman.”

Di bagian lain beliau mencoba mengimbangi para pengancam keharmonisan tersebut dengan mengangkat tokoh dan institusi yang berperan besar menjaga keutuhan NKRI sekaligus menjaga dan menciptakan keharmonisan yaitu polisi dan institusi kepolisian. Pentingnya peran polisi dan kepolisian dalam menciptakan keharmonisan diungkapkannya pada tulisan-tulisan “Irjen, Pol. Rum Murkal yang Saya Kenal”, “Sabilul Alif, Perwira yang Rajin Berbagi”, “Mendekatkan Polisi dengan Masyarakat” “Kinerja Polri di Mata Kita”

Selain menyikapi kejadian-kejadian skala besar dan kompleks, Pak Madjid juga mengomentari hal-hal kecil dan sederhana. Komentar-komentar beliau terhadap hal-hal kecil dan sederhana ini lagi-lagi diarahkan untuk menciptakan keharmonisan diantara sesama manusia. Tulisan-tulisan beliau yang berjudul “Telek Memicu Masalah”, atau “Tragedi Buah Pisang”, merupakan tulisan tentang peristiwa umum yang mungkin sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan itu kemudian menjadi bernilai lebih karena Pak Madjid menggali hikmah di baliknya sehingga dapat menumbuhkan kesadaran di diri para pembaca akan pentingnya keharmonisan dalam kehidupan sosial.

Pak Madjid bukan sekedar mengkritik, melainkan juga menawarkan solusi. Solusi yang diusulkannya pun menohok jauh ke dalam hati. Jika ingin mengubah keadaan menjadi lebih baik, jawabannya bukan memperbanyak nyinyir atau menyalahkan orang lain, melainkan melihat ke dalam diri sendiri. Nyinyirilah diri sendiri. Kritisilah kekurangan diri sendiri. Perbaikilah diri sendiri. Jika sudah menyadari kesalahan sehingga sempat bermusuhan, minta maaflah. Jangan lupa pula syukuri apa yang ada. Itu semua jauh lebih baik untuk meningkatkan kualitas kehidupan kita secara pribadi, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal-hal seperti itu beliau ungkapkan pada tulisan-tulisan yang berjudul “Introspeksi diri”, “Kepada Tuhan pun Kita Bermatematika Ria”, “Mari Saling Memaafkan”, serta “Aku dan Air.”

Solusi yang lebih baik untuk menciptakan keharmonisan sesama anak bangsa juga disajikannya pada tulisan lain. Solusinya adalah sibukkanlah diri mengembangkan potensi diri sendiri dan berbuat kebaikan sehingga terhindar dari kesibukan menyinyiri atau mengurusi urusan orang lain. Pak Madjid mengangkat kisah-kisah para pejuang mimpi yang sibuk mengembangkan potensi diri sendiri seperti pada tulisan “Gagal Audisi, Reni Mencipta Lagu Daerah”, “Syamsu Indra Usman, Penjaga Budaya Empat Lawang”, atau “Yang Muda Punya Karya.” Sementara orang-orang yang sibuk berbuat baik diceritakannya pada tulisan “Marbot yang tawaddu’”, “Selamat jalan Sapardi Joko Damono”, atau “Awal Sebuah Keteladanan”. Beliau pun menyarankan beberapa cara untuk menjadi orang baik seperti pada tulisan “Ajarkan Sejarah pada Anak”, “Menjadi Orang baik”, “Ibadahmu Sia-sia Jika Berakhlak Buruk”, “Kita makin terperosok dalam kerapuhan mental”, serta “Nabi pun punya musuh.”

Untuk dapat terus memperbaiki diri, mau tidak mau kita harus mengenali diri sendiri dengan baik. Pak Madjid pun tidak lupa membagikan tulisan-tulisan yang bertemakan pengenalan terhadap diri sendiri. Beliau bukan hanya mengenalkan tubuh fisik melainkan komponen jiwa di dalamnya. Hal ini dapat ditemui pada tulisan-tulisan beliau yang berjudul “Menundukkan Nafsu”, “Bila Stres, Wanita Menangis, Pria Mengamuk” “Manfaat Lapar dan Bahaya Kekenyangan”, “Otak Kita, Receiver sekaligus Pemancar”, “Mengenali Emosi”, Kita Membutuhkan Kreativitas”, dan “Lebaran Tiba, Waspadai Makanan Berkolesterol.”

Kesediaan saya memberikan kata pengantar ini salah satunya dikarenakan sikap persetujuan saya terhadap apa yang telah beliau ungkapkan tentang nasionalisme dan harmonisasi dalam tulisan-tulisannya. Saya pun melalui tulisan-tulisan yang telah maupun sedang ditulis juga ingin berjuang meminimalisir permusuhan sekaligus menguatkan keharmonisan. Kami cepat menjadi cocok walaupun belum saling mengenal lebih dalam karena memperjuangkan hal yang sama, keharmonisan. Kami pun sama-sama memiliki jiwa nasionalime yang tinggi, yaitu ingin bangsa Indonesia terus maju hingga disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

Terakhir, saya ingin mengungkapkan sedikit pandangan saya. Perbedaan merupakan keniscayaan. Apa yang disampaikan Pak Madjid dalam bukunya ini juga merupakan salah satu bentuk perbedaan. Beliau berani mengungkapkan pandangannya, walaupun mungkin harus berbeda dengan pandangan dari pihak lain. Pandangan beliau di dalam buku ini mungkin akan berbeda dengan pandangan para pembaca buku ini, termasuk saya pribadi. Tapi tetap saja perbedaan yang disikapi dengan bijak akan mendatangkan keindahan, alih-alih permusuhan atau perpecahan. Lihatlah pelangi, terlihat begitu indah karena warnanya yang berbeda-beda. Hendaknya dalam kehidupan, kita pun bertindak seperti pelangi, berani memunculkan dan menunjukkan perbedaan. Tapi itu bukan dijadikan sebagai alasan untuk bertengkar atau bermusuhan, melainkan untuk saling mengisi kelebihan dan kekurangan, agar kehidupan ini menjadi lebih indah. Perbedaan itu niscaya. Harmonisasi membuatnya menjadi indah.

Judul Buku: Catatan Kecil Anak Negeri

Penulis Buku: Abdulu Madjid

Kata Pengantar: Feri Noperman

Komentar

  1. Selamat, Feri, terus berkarya. (madjidlintang@gmail.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mokase banyak, Mang. Pai belajagh ngelola blog, Mang. Dulu mase kurang pede. Kini ado juga tabungan tulisan. Memandang tambah semangat nulis mon la ado wadah o nih.

      Hapus
    2. Ngapo aku laju baso duson ru neh, hihi... Gila pulo neh Mang

      Hapus

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.