Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpen

Sesal

Laki-laki itu duduk tertegun di kursi plastik yang menghadap ke Samudera Hindia. Tatapannya tajam ke horizon di ujung barat sana. Sang surya sebentar lagi akan beristirahat di peraduannya. Angin yang berhembus lembut dari arah samudera mempermainkan rambut lurusnya. Matanya beralih menatap kosong ke arah buket bunga krisan yang tergeletak di atas pasir di sampingnya. Momen beberapa jam yang lalu masih terbayang dengan jelas di benaknya. Rencananya buket bunga itu hendak diberikannya kepada seorang perempuan spesial yang telah lama mengisi hatinya, bahkan sejak kecil. Tapi rencana itu berantakan dalam hitungan detik saja. Masih terngiang di telinganya kata-kata perempuan itu ketika memperkenalkan pacar barunya beberapa jam yang lalu.  “Kenalkan ini Ronald, pacarku,” kata perempuan itu.  Terpaksa dia menyembunyikan buket bunga di tangan kanannya ke balik jaket untuk menetralkan keadaan. Dia tidak ingin merusak suasana bahagia perempuan itu. “Hai. Boleh minta waktunya sebentar?” Tiba-tiba

Harusnya Aku

Peluh yang mengucur deras di dahi Viola sepertinya menjadi pertanda kalau ada sesuatu yang mengusik hatinya. Rasanya itu bukan karena pengap. Sebab, gedung yang menjadi tempat sakral untuk mengikat janji suci antara ia dengan pangeran pilihannya dibatasi untuk beberapa tamu undangan saja. AC pun bekerja dengan baik. "Kamu sakit?" tanya Brian yang kini telah sah menjadi suaminya. "Keringatmu ini ...," tambahnya sambil menghapus bulir-bulir bening di dahi Viola dengan tisu yang tersedia. "Eeeenggak," kata Viola menggeleng.  Dia malah tampak makin gugup tatkala sepasang mata lentiknya beradu pandang dengan sosok pria yang terus berjalan mendekati panggung. Viola segera menunduk. Entah apa yang terbersit di benaknya. Ketika pria yang mengenakan batik coklat bersulam emas itu mendekat, Viola tampak makin salah tingkah. Dia terlihat serba salah mau menatap ke mana. Akhirnya dia mengempaskan bokongnya ke kursi, meninggalkan satu salam dari tamu undangan yang belu

Antara Aku, Kamu, dan Guillain Barre Sindrome itu

Oleh: Ilva "Aku tak sanggup lagi mendampingimu. Biarkan aku pulang, merawat anak-anak kita di rumah. Nanti, biar Mamak menggantikan aku di sini." Tiga kalimat keluar dari lisanku serupa mantra. Membuat air matamu dengan cepat menganak sungai, lalu mengalir membasahi rambutmu yang beberapa hari belum sempat kurapikan.

Akhir Sebuah Kebimbangan

Langit di ufuk barat mulai merona jingga. Tidak berapa lama lagi senja akan datang. Berarti, aku mesti beranjak pergi, meninggalkan gundukan pasir yang tadi kubangun untuk membentengi diri dari hempasan ombak. Akh…! Aku mesti kembali ke neraka itu, dengan segala ultimatum dan bentakan-bentakan yang memekakkan telinga. “Kenapa baru pulang!!!” kata-kata bernada tinggi dan intonasi yang keras langsung menghantam telingaku. Suara itu keluar dari pria menyeramkan di depanku, yang sedang duduk di meja piket asrama. Itulah risikonya jika kakiku terlambat menginjak anyaman kain bekas di depan teras asramaku, yang tak pernah bisa mengeluh diinjak-injak. Nasib kain bekas itu tidak jauh berbeda dengan nasibku.

Di Tepian Asa

"Bagaimana rasanya minggu pertama di sana, honey ?” suara manja dan merdu di ponselku sedikit mengurangi kekesalanku hari ini. “ Bad week !” kataku dengan ketus. "Tidak satu pun orang-orang di sini yang mengerti obrolanku. Mereka benar-benar ketinggalan zaman. Rasanya orang-orang zaman batu lebih maju daripada mereka." Sebenarnya aku tidak habis pikir dengan negeri yang katanya gemah ripah loh jenawi ini. Tanda-tanda salah urus begitu vulgar terpampang di depan mata. Teknologi untuk bisnis cepat sekali merambah sampai ke pelosok desa, seperti desa tempatku bertugas sekarang ini. Sementara teknologi untuk dunia pendidikan tidak tahu kapan akan dinikmati anak-anak di sini. Aku tidak bersemangat kalau harus mengajar dengan cara-cara kuno yang masih dipraktikkan para guru di sekolah baruku itu.