Peluh yang mengucur deras di dahi Viola sepertinya menjadi pertanda kalau ada sesuatu yang mengusik hatinya. Rasanya itu bukan karena pengap. Sebab, gedung yang menjadi tempat sakral untuk mengikat janji suci antara ia dengan pangeran pilihannya dibatasi untuk beberapa tamu undangan saja. AC pun bekerja dengan baik.
"Kamu sakit?" tanya Brian yang kini telah sah menjadi suaminya.
"Keringatmu ini ...," tambahnya sambil menghapus bulir-bulir bening di dahi Viola dengan tisu yang tersedia.
"Eeeenggak," kata Viola menggeleng.
Dia malah tampak makin gugup tatkala sepasang mata lentiknya beradu pandang dengan sosok pria yang terus berjalan mendekati panggung.
Viola segera menunduk. Entah apa yang terbersit di benaknya.
Ketika pria yang mengenakan batik coklat bersulam emas itu mendekat, Viola tampak makin salah tingkah. Dia terlihat serba salah mau menatap ke mana. Akhirnya dia mengempaskan bokongnya ke kursi, meninggalkan satu salam dari tamu undangan yang belum sempat menyentuh tangannya.
"Dek!" seru Brian. "Minum dulu!" Tangannya cekatan memberi Viola air minum yang tersedia di samping pelaminan.
Brian lalu tampak berbisik kepada ayahnya yang mendampingi kalian di pelaminan. "Sepertinya Viola kecapaian, perlu istirahat. Sudahi saja resepsinya, Pa."
Viola menatap pada ayah mertuanya yang mengangguk. Matanya mengikuti ayah mertuanya itu yang terlihat menghampiri pembawa acara.
Beberapa saat kemudian terdengar pengumuman dari pembawa acara. "Terima kasih kehadirannya untuk para tamu undangan. Dengan terpaksa kami menyampaikan berita yang kurang enak. Sepertinya mempelai wanita perlu istirahat. Jika keadaannya membaik akan kembali ke pelaminan. Sementara kita tetap melanjutkan acaranya dan kami ucapkan selamat menikmati hidangan, terima kasih."
Adik Viola yang duduk dekat panggung langsung menghampiri. Dia memapah kakaknya itu turun dari panggung.
Pria yang mungkin telah menjadi alasan Viola berkeringat dingin itu terus melangkah mendekat. Beberapa detik kemudian ia tiba di hadapan Viola. Ia tampak sama gugupnya dengan Viola.
Entah sejak kapan sikap pria itu menjadi seperti itu. Mungkin sejak menerima undangan dari Viola dan Brian. Mungkin juga sejak dari rumah tadi. Viola tampak ingin tahu. Namun itu sudah tidak perlu, bahkan tidak boleh lagi.
Viola mencoba menatap mata hitam yang tampak berkilau itu. Dalam hati dia bertanya-tanya. Mungkinkah masih tersisa rasa di dalam sorot mata laki-laki itu? Atau mungkin terpendam penyesalan di balik senyum getirnya?
"Viola... bahkan, pelukan terakhir sebagai tanda perpisahan pun tak kau berikan untukku," Samar-samar telinga Viola mendengar suara lirih dari bibir pria itu saat mereka berpapasan.
Viola terlihat tetap melangkah dengan tegap, sepertinya mencoba menguatkan diri sendiri.
Sesampainya di kamar, dia tiba-tiba lemas dan lunglai seperti tak bertenaga. Ketegarannya barusan tidak tampak lagi, lenyap begitu saja.
"Kakak tidak apa-apa?" Adiknya tampak cemas.
"Enggak apa-apa. Cuma kecapaian saja, kok." Viola berusaha tersenyum.
"Kamu balik lagi ke sana tidak apa-apa. Kakak mau tidur sejenak," lanjutnya kemudian meminta untuk ditinggal sendirian.
"Benaran, Kak? Kakak enggak mau ditemani?" kata adiknya masih terlihat khawatir.
Viola menggeleng sambil tersenyum yang tampak dipaksakan.
Adiknya pun keluar kamar, memberi kesempatan pada kakaknya untuk beristirahat.
Tidak berapa lama kemudian Viola mulai menatap kosong ke dinding kamar.
Tiba-tiba dia tersentak kaget ketika terdengar sebuah lagu dari arah panggung. Tampaknya dia mengenali suara itu.
Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia
Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia
Harusnya kau tahu bahwa cintaku lebih darinya
Harusnya yang kau pilih bukan dia
Tampak mata Viola mulai memerah. Lalu butiran itu pun menyembul dari sudut matanya. Lama kelamaan alirannya makin deras seperti bendungan jebol.
--000--
Penulis: Serly Utami
Editor: Feri Noperman
Siap Pak editor 😁
BalasHapusKasih tau dong kalau masih ada bocornya.
Hapus