Langsung ke konten utama

Cerpen

Batal

Setelah selesai salat subuh, Adit langsung pamit pada ibunya untuk pergi ke bandara.

"Aku pergi sebentar ya, Bu. Ada janji menemui seseorang di bandara," katanya. Dia tidak menjelaskan secara detail siapa seseorang yang dimaksudkannya itu pada ibunya.

Ibunya tersenyum lalu mengangguk tanda mengizinkan.

"Dia hendak pergi ke luar negeri," tambah Adit.

Ibunya yang terkulai lemas di tempat tidur hanya bisa kembali mengangguk. "Kalau sudah selesai, langsung pulang, ya," pinta ibunya.

Baca Selengkapnya....


Mantanku Mediatorku

Hari masih pagi, tapi langit sudah terlihat mendung. Sama persis seperti hatiku. Aku bergegas masuk ke mobil untuk pergi ke gedung pengadilan agama. Hari ini jadwal mediasi pertama setelah aku mengajukan gugatan cerai kepada suamiku beberapa minggu yang lalu.

Aku kaget luar biasa saat masuk ke dalam ruang mediasi. Jantungku langsung berdegup tidak beraturan. Wajah mediator yang sedang duduk tenang di ujung meja sana tidak mungkin tidak kukenali. Namanya pun masih terpatri sangat kuat di dalam ingatanku. Jujur kuakui, dia adalah pria paling mengesankan di sepanjang hidupku. Dia adalah pria terbaik yang pernah kukenal.

Baca Selengkapnya....


Sesal

Laki-laki itu tertegun di kursinya yang menghadap Samudera Hindia. Tatapannya tajam ke horizon di ujung barat sana. Terlihat mentari mulai mendekati peraduannya untuk beristirahat. Angin yang berhembus dari arah samudera mempermainkan rambut lurusnya.

Matanya beralih menatap kosong ke arah buket bunga krisan yang tergeletak di pasir di sampingnya. Momen beberapa jam yang lalu masih terbayang di benaknya. Rencananya buket bunga itu hendak diberikannya kepada seorang perempuan spesial yang telah lama mengisi hatinya, bahkan sejak kecil. Tapi rencana itu berantakan dalam hitungan detik saja.

Baca selengkapnya...

Di Tepian Asa

"Gimana rasanya minggu pertama disana, honey?” suara manja dan merdu di ponselku sedikit mengurangi kekesalanku hari ini.

Bad week!” kataku dengan ketus. "Tidak satu pun orang-orang disini nyambung dengan obrolanku. Mereka benar-benar ketinggalan zaman. Rasanya orang-orang zaman batu lebih maju daripada mereka."

Baca Selanjutnya...


Akhir Sebuah Kebimbangan

Langit di ufuk barat mulai merona jingga. Tidak berapa lama lagi senja akan datang. Berarti, aku mesti beranjak pergi, meninggalkan gundukan pasir yang tadi kubangun untuk membentengi diri dari terjangan ombak. Akh…! Aku mesti kembali ke neraka itu, dengan segala ultimatum dan bentakan-bentakan yang memekakkan telinga.

“Kenapa baru pulang!!!” kata-kata bernada tinggi dan intonasi yang keras langsung menghantam telingaku. Suara itu keluar dari pria menyeramkan di depanku, yang sedang duduk di meja piket asrama. Itulah resikonya jika kakiku terlambat menginjak anyaman kain bekas di depan teras asramaku, yang tak pernah bisa mengeluh diinjak-injak. Nasib kain bekas tersebut tidak jauh berbeda dengan nasibku.

Baca Selanjutnya...

Komentar