Langsung ke konten utama

Batal

Tidak seperti biasanya, Adit bangun sangat pagi hari ini. Dia langsung menuju dapur untuk memasak. Bukan untuk sahur, melainkan untuk ibunya yang akan ditinggalkannya seharian penuh.

Setelah selesai salat subuh, dia langsung menghampiri ibunya yang terkulai lemas di tempat tidur.

"Aku pergi sebentar ya, Bu. Ada janji menemui seseorang di bandara," katanya seperti berbisik.

Ibunya tersenyum lalu mengangguk.

"Dia hendak pergi ke luar negeri," tambah Adit.

Ibunya menatap anak semata wayangnya itu dengan berbinar-binar. Dia kembali mengangguk sambil berkata, "Kalau sudah selesai, langsung pulang, ya."

"Iya, Bu. Nanti Adit langsung pulang. Nasi sama lauk untuk sarapan dan makan siang ibu sudah Adit letakkan di meja," balas Adit sambil menunjuk meja di dekat tempat tidur ibunya.

Setelah bersalaman dengan ibunya, Adit beranjak ke depan rumah untuk mengeluarkan sepeda motor. Beberapa menit kemudian dia sudah berada di atas jok motor yang sudah diparkirkannya di halaman depan. Jaket kulit tebal, celana jeans, sepatu kets, sarung tangan kulit, serta helm standard sudah dikenakannya.

Perjalanan yang akan ditempuhnya pagi ini lumayan jauh. Dengan kecepatan sedang, perjalanan untuk sampai ke tujuan dapat ditempuh selama tiga jam. Matahari pagi belum muncul ketika dia mulai melajukan sepeda motor.

Setelah memacu sepeda motor lebih dari dua jam, dia mulai terlihat riang dan lega karena tidak ada hambatan sepanjang perjalanan. 

Namun tiba-tiba dia menginjak pedal rem ketika terlihat seorang ibu sedang berdiri di pinggir jalan sambil melambaikan tangan ke setiap kendaraan yang lewat. Motornya berhenti tepat di depan ibu tersebut.

“Ada apa, Bu?” tanyanya pada si ibu.

“Saya baru saja dijambret, Nak? Mereka mengambil ponsel dan dompet,” jawab si ibu  dengan panik. Wajahnya memerah tampak panik sambil menahan kesal dan amarah.

Adit memarkirkan sepeda motornya di bahu jalan. 

“Mana penjambretnya, Bu?!” katanya sambil menatap si ibu dengan serius. Dari nada suaranya, dia terdengar ikut-ikutan kesal.

“Sudah pergi, Nak. Mereka pakai motor.”

“Ciri-cirinya bagaimana, Bu? Biar saya kejar!” Adit masih tampak emosi.

“Tidak usah, Nak. Tidak bakal ketemu lagi. Mereka sudah pergi sekitar sepuluh menit yang lalu.” Si ibu menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya sekuat tenaga.

Dia lalu melanjutkan, “Ibu pinjam ponselmu saja, ya. Mau menelepon anak Ibu. Minta dijemput.”

Adit langsung bergegas merogoh kantong celana, mengambil ponsel, membuka kunci layarnya, lalu menyerahkannya kepada ibu itu. Sesaat sebelum dia menyerahkannya, tampak pemberitahuan pesan masuk. Wajahnya langsung merona saat membaca nama si pengirim pesan, Calon Makmumku. Dia menunda untuk membuka pesan itu sebab saat ini si ibu lebih membutuhkan ponselnya.

Si Ibu langsung meraih ponsel yang diserahkan Adit. Dengan tangan gemetaran, dia menekan kombinasi nomor di layar ponsel. Saat dia hendak menekan ikon panggil, tiba-tiba sebuah truk roda dua puluh dua yang sedang mendekat membunyikan klakson. Pooooommm!!!!

Genggaman si Ibu langsung mengendur karena kaget. Ponsel itu terlepas dan jatuh ke beton dinding selokan, berguling-guling, lalu masuk ke comberan di pinggir jalan itu.

Adit sebenarnya sempat mengulurkan tangan secepat kilat untuk mencoba menangkap ponsel itu. Tapi luput. Rupanya ponsel itu sedang tidak bernasib baik, sehingga tercelup dengan sempurna ke dalam comberan berwarna hitam pekat itu.

Tanpa pikir panjang, Adit langsung melangkahkan kaki kanannya ke seberang selokan sehingga posisinya mengangkangi selokan. Dia membungkuk lalu mencelupkan tangan ke dalam comberan di bawahnya. Tapi ternyata comberan itu cukup dalam. Dia butuh beberapa menit untuk menemukan ponselnya.

“Bersihkan dengan ini, Nak,” kata si ibu menawarkan selendangnya untuk membersihkan ponsel di tangan Adit. Dari ekspresi wajahnya, tampak dia merasa sangat bersalah.

“Tidak usah, Bu,” kata Adit sambil tersenyum, seperti tidak terjadi apa-apa.

Dia malah mengeluarkan sapu tangannya sendiri dan mengelapkannya ke ponsel yang penuh lumpur hitam itu.

“Maaf, ya, Nak. Ibu tidak sengaja menjatuhkannya,” ujar si ibu lagi sambil menatap nanar ke arah Adit. Dia tampak makin merasa bersalah melihat ponsel itu mati.

Berkali-kali Adit mencoba menghidupkannya kembali, tapi tetap tidak bisa. “Tidak apa-apa, Bu,” katanya sopan. Senyumnya masih terkembang walaupun ponselnya ternyata mati total, tidak bisa dinyalakan lagi.

“Terus bagaimana dengan ponselmu?” Nada khawatir masih terasa dari suara si ibu.

“Nanti bisa diservis kok, Bu.” Dari nada suaranya, tampaknya Adit masih berusaha menenangkan si ibu.

“Sekarang saya antar saja Ibu pulang, ya,” lanjutnya malah menawarkan diri.

“Ibu kok malah jadi merepotkan begini, ya?” Si Ibu tampak makin malu dan sungkan.

“Tidak, kok, Bu. Tidak merepotkan sama sekali." Adit kembali tersenyum. "Mari naik, Bu.”

Ibu itu tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya naik ke jok belakang motor Adit. 

Adit pun melajukan motornya sesuai arah yang ditunjukkan si ibu. Dia harus memutar arah karena rumah si ibu berlawanan dengan arah tujuannya semula.

Rupanya Ibu itu cukup cerewet. Sepanjang perjalanan dia terus berbicara, termasuk melampiaskan kekesalannya kepada para penjambret itu. Dia juga tidak sungkan menanyakan status Adit. Dengan wajah yang tampak sedikit terpaksa Adit menjawab kalau dia belum menikah.

Hampir setengah jam perjalanan yang harus mereka tempuh hingga sampai ke rumah si ibu. Itu karena mereka harus melewati beberapa lampu merah.

“Terima kasih banyak, ya, Nak. Kamu baik sekali. Semoga Nak Adit mendapat jodoh perempuan baik juga, ya,” kata si ibu sedikit menggoda ketika mereka sudah sampai di tujuan.

“Sama-sama, Bu. Terima kasih juga atas doa Ibu,” balas Adit sambil kembali tersenyum.

"Kamu mau ke mana setelah ini, Nak? Tidak masuk dulu?" si Ibu menawari Adit dengan ramah.

Tiba-tiba Adit tersentak kaget. "Astaghfirullahal adzim. Saya ada janji mau menemui seseorang, Bu. Lain kali saja. Terima kasih banyak atas tawarannya."

Matanya langsung melirik jam tangan. Pukul 08.50. Dia berusaha menghidupkan kembali ponsel. Tapi sia-sia. Ponselnya belum begitu canggih, tidak anti air. Air comberan tadi telah membunuhnya tanpa berperasaan sama sekali.

Si ibu hanya bengong memperhatikan kelakuan Adit yang tiba-tiba berubah panik.

“Saya pamit dulu, ya, Bu,” kata Adit masih terlihat sangat panik. 

Dia langsung memutar arah motor. Tidak menunggu lama, dia sudah memacu sepeda motor itu dengan kecepatan maksimal.

Jam dinding di atas pintu keberangkatan bandara menunjukkan pukul 09.21 ketika dia tiba. Sambil berlarian ke arah pintu, matanya menyapu seluruh penjuru mata angin seperti sedang mencari seseorang. Tatapan dan juga langkahnya baru terhenti ketika mengarah ke punggung seorang perempuan muda di balik dinding kaca di dalam ruang check-in.

Perempuan itu tampak sedang mengobrol dengan perempuan lain yang berusia jauh lebih tua. Mungkin itu ibunya. Mereka tampak sedang menunggu seseorang laki-laki yang sedang melakukan check-in.

Adit langsung berlarian menuju ujung antrean yang mengular menuju pintu masuk ruang check-in. Antrean itu menghambatnya untuk cepat-cepat masuk ke sana. Sambil mengantre, matanya tidak lepas dari perempuan itu. Mungkin dalam hati, dia berharap perempuan itu menoleh ke arahnya seperti yang sering terjadi di drama Korea atau sinetron di stasiun televisi ikan terbang.

Giliran Adit pun tiba.

“Tiketnya mana, Mas?” tanya petugas pemeriksa tiket di pintu masuk sambil menghentikan langkah Adit.

“Maaf, Pak. Saya bukan penumpang, hanya ingin menemui seseorang di dalam,” jawab Adit terengah-engah sambil menunjuk perempuan di dalam sana. Nada bicaranya terdengar sangat sopan. Sepertinya dia sangat berharap petugas itu mengizinkannya masuk.

“Maaf, Mas. Selain penumpang dilarang masuk.”

“Sebentar saja, Pak. Saya hanya ingin menemui dia sebentar.”

“Maaf, Mas, ya. Ini peraturan. Silakan keluar dari antrean. Di belakang Mas sudah banyak yang menunggu.”

Adit tidak mendebat. Dia pun tidak melakukan perlawanan. Dengan raut wajah kecewa, dia langsung menjauh dari antrean. Sementara perempuan itu bersama kedua orang tuanya sudah melangkah menjauh menuju tangga eskalator yang mengarah ke ruang tunggu keberangkatan.

Sepertinya Adit tidak kehabisan akal. Dia langsung melangkah mendekati dinding kaca. “Adelia!!!” teriaknya memanggil perempuan itu.

Tapi perempuan itu yang ternyata bernama Adelia tidak merespon. Dia tidak menoleh sedikit pun. Dinding kaca serta kebisingan di dalam ruangan itu telah memudarkan teriakan Adit.

Menyadari teriakannya itu tidak berguna sama sekali, Adit lalu beranjak mendekati salah satu petugas yang sedang memainkan ponsel. Petugas itu berdiri tepat di sebelah kanan pintu keberangkatan.

“Bisa pinjam ponselnya sebentar, Pak?” kata Adit pada petugas itu dengan suara yang sedikit bergetar. Dia tampak malu-malu bercampur takut.

Petugas itu mengangkat kepala lalu menatap curiga ke arah Adit. “Ada apa?!"

“Mau menelepon seseorang di dalam sebentar. Itu orangnya yang sedang naik tangga eskalator. Yang baju biru rok putih,” jawab Adit menjelaskan sambil menunjuk perempuan bernama Adelia yang kini makin menjauh.

Setelah tampak berpikir sejenak, petugas itu akhirnya meminjamkan ponselnya.

Adit tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia langsung menekan nomor di ponsel yang barusan dipinjamnya.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya terdengar jawaban. Suara seorang perempuan. Nampak wajahnya langsung berbinar. Senyumnya pun langsung terkembang.

“Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif” terdengar suara samar dari ponsel yang kini telah diletakkannya di dekat telinga.

Ekspresinya pun langsung berubah. Wajahnya langsung pucat pasi dan tegang. Mulutnya menganga seolah tidak percaya.

Ditatapnya punggung perempuan itu terakhir kalinya sebelum menghilang di belokan ke kanan di ujung sana.

Dia berjalan gontai ke arah bangku panjang di depan ruang check-in lalu menghempaskan pantatnya di bangku itu. Dia tampak tertegun sambil menatap ke arah parkiran bandara. Raut penyesalan mulai tampak di wajahnya. Ada saja halangan yang membuatnya harus mengubur mimpi menemui kekasih hatinya untuk terakhir kalinya.

Pikirannya langsung menerawang ke mana-mana. Setelah ini, mungkin lima tahun lagi mereka akan bertemu. Dia tidak dapat membayangkan apakah waktu lima tahun itu tetap membuatnya sabar menunggu.

Mengingat besarnya rasa cintanya pada Adelia, besar kemungkinan dia bisa sabar menunggu selama itu. Tapi bagaimana dengan Adelia? Apakah dia juga bersedia menunggu selama itu? Bagaimana kalau dia bertemu dengan laki-laki lain yang jauh lebih baik di negeri nun jauh di sana?

Dia hanya bisa mengucek-ucek rambut dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Pupus sudah harapannya. Perjalanannya pagi ini menjadi sia-sia. Dia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat.

Sekiranya tadi dia sempat bertemu Adelia, mungkin kejadiannya akan berbeda. Mungkin saja perempuan itu berubah pikiran, urung ikut orang tuanya pindah ke luar negeri. 

Tapi ternyata takdir berkata lain. Sebuah skenario tiba-tiba terjadi untuk mencegahnya bertemu gadis itu.

Beberapa saat kemudian dia tiba-tiba tersentak kaget. Seseorang tiba-tiba memegang pundaknya dari belakang. Dia pun langsung memutar kepala, ingin mencari tahu siapa yang iseng mengagetkannya. 

Ketika terlihat wajah perempuan yang barusan menyentuh pundaknya, dia pun makin kaget.

“Adelia?” katanya terperangah.

Perempuan itu yang ternyata Adelia langsung tersenyum lebar.

“Kamu tidak jadi berangkat?”

Adelia mengangguk sambil tetap tersenyum.

“Kenapa kamu tahu aku di sini?” tanya Adit masih tampak terkejut.

Adelia duduk di sebelah Adit. 

“Tadi ada barang ketinggalan di tempat check in. Saat aku kembali ke situ, aku sempat melihatmu sepintas dari balik kaca,” jawabnya lembut.

“Lalu?”

“Aku langsung menemui orang tuaku dan memberitahu mereka kalau aku tidak jadi ikut pindah ke Amerika.”

“Lalu bagaimana tanggapan mereka?”

“Mereka menyerahkan keputusan untuk ikut atau tidak padaku. Jadi tidak masalah.”

“Ooh.”

“Aku akan tetap melanjutkan kuliah di sini. Aku akan tinggal dengan nenek.”

Adit menoleh, menatap Adelia dari samping. Terlihat mata perempuan itu berbinar-binar.

“Aku tidak kuat berpisah denganmu,” kata Adelia seperti berbisik dengan raut wajah malu-malu.

Aku lebih tidak kuat lagi, kata Adit dalam hati.

-- Selesai --

Komentar

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.