Langsung ke konten utama

Akhir Sebuah Kebimbangan

Langit di ufuk barat mulai merona jingga. Tidak berapa lama lagi senja akan datang. Berarti, aku mesti beranjak pergi, meninggalkan gundukan pasir yang tadi kubangun untuk membentengi diri dari hempasan ombak. Akh…! Aku mesti kembali ke neraka itu, dengan segala ultimatum dan bentakan-bentakan yang memekakkan telinga.

“Kenapa baru pulang!!!” kata-kata bernada tinggi dan intonasi yang keras langsung menghantam telingaku. Suara itu keluar dari pria menyeramkan di depanku, yang sedang duduk di meja piket asrama. Itulah risikonya jika kakiku terlambat menginjak anyaman kain bekas di depan teras asramaku, yang tak pernah bisa mengeluh diinjak-injak. Nasib kain bekas itu tidak jauh berbeda dengan nasibku.

“Kamu merasa hebat yah?! Sudah berapa kali kamu melakukan pelanggaran ini?! Kenapa diam saja?!” Suara bernada tinggi dan kasar tersebut terus menerus menghujani telingaku.

Tiba-tiba rentetan pertanyaan tersebut menghilang dari telingaku. Aku seolah terbang. Aku melihat kumpulan bintang-bintang mengelilingiku. Awan berwarna-warni pun berarak sambil tersenyum ke arahku. Setelah itu hening. Kosong. Gelap.

***

“Kepalamu masih pusing?” Sebuah pertanyaan kembali singgah di telingaku. Tapi kali ini berbeda dari sebelumnya. Bedanya sangat kontras, seperti langit dan bumi. Nada suaranya sangat merdu, jauh lebih enak didengar dibanding suara sebelumnya.

Aku di mana? Sebuah pertanyaan terlintas di benakku. Aku berusaha mengeluarkannya melalui bibirku. Tapi tidak bisa. Aku tidak memiliki tenaga sedikit pun. Bahkan untuk menggerakkan pelupuk mataku sedikit saja, aku tidak mampu.

“Oke! Kamu istirahat saja dulu, ya!” Suara itu kembali terdengar.

Ini bukan pertama kali aku mendengar suara merdu itu. Tapi, sama seperti sebelumnya, aku tidak mampu melihat wajahnya. Padahal aku sangat ingin. Mataku seolah digelayuti pemberat ribuan ton. 

Akh! Pada akhirnya aku hanya bisa mengeluh. Tapi hanya di dalam hati. Setelah itu, aku tak tahu lagi.

***

“Bangun!!! bangun!!! bangun!!!” Suara yang sangat akrab kudengar setiap pagi, menggema di telingaku, yang dihiasi pula dengan suara pintu yang digedor-gedor.

Aku mencoba membuka mataku. Sukses! aku bisa melakukannya. Aku mencoba menggerakkan tanganku. Lagi-lagi sukses. Sesaat kemudian aku sudah duduk di tepian tempat tidur. Tapi badanku masih lemas. Aku mencoba mengingat yang kualami kemarin sore hingga pagi ini. Memoriku buntu.

Jam setengah delapan pagi aku sudah berpakaian rapi, siap melakukan aktivitas rutinku sehari-hari. Kuliah. Itulah satu-satunya alasan aku berada di asrama ini.

***

Jam empat sore aktivitas kuliah pun selesai. Aku ragu melangkahkan kakiku, apakah ke gundukan pasir kemarin sore, atau ke neraka itu. Aku malah memilih melangkah ke arah lain.

“Kamu bersabar saja dulu. Lagian kamu yang membuat masalah dengan melanggar peraturan.”

Aku menyesal memilih arah ini. Bukan kesejukan yang kurasakan, melainkan kata-kata yang nadanya tidak jauh berbeda seperti sepuluh tahun yang lalu. Kata-kata yang menghakimi dan menyalahkan. Aku tidak sama lagi dengan sepuluh tahun yang lalu. Aku sudah dewasa. Aku tidak butuh lagi nasehat murahan seperti itu. Paman Toha sama saja dengan orang tuaku, tidak pernah peduli dengan pemikiran dan perasaanku.

“Aku pulang!” kataku ketus sambil meninggalkan rumahnya.

Terdengar suara omelan di belakangku. Istrinya sama saja. Ikut-ikutan menyalahkanku. Jangan menjadi orang yang kufur nikmat, kata mereka hampir bersamaan.

Aku tidak menggubrisnya. Langkah kaki pun semakin kupercepat. Tidak ada pilihan lain. Aku kembali ke arah neraka itu dengan sangat berat hati.

***

“Kamu seharusnya bersyukur. Tidak semua orang bisa mendapatkan seperti yang kamu dapatkan saat ini. Cobalah kamu memikirkan orang-orang di sekelilingmu. Banyak di antara mereka untuk sekolah saja tidak mampu. Apalagi sampai kuliah dibiayai pemerintah sepertimu. Masa depanmu cerah.” Suara Akhmad terdengar sayup-sayup di telepon seluler bututku.

“Tapi aku tidak pernah menginginkan semuanya. Ini keinginan orang tuaku,” ujarku sedikit protes.

“Maksud orang tuamu baik. Mereka ingin kamu menjadi orang sukses,” katanya menambahkan, masih dengan suara tenang.

“Tapi aku tidak sanggup menjalaninya! Aku punya keinginan lain. Aku cuma ingin bebas menentukan pilihan hidupku sendiri!” timpalku dengan nada tinggi, masih saja membela diri.

“Aku mengerti. Tapi apakah kamu yakin, pilihanmu itu tepat dan menjamin masa depanmu? Apakah kamu yakin kalau dirimu tidak hanya mengikuti nafsu?” balasnya menanggapi dengan nada suara yang tetap datar, tidak terpengaruh oleh nada tinggiku.

Aku menyerah. Dia jauh lebih dewasa dibandingkan usianya.  Walaupun usia kami setara, tapi pemikirannya jauh lebih dewasa dibandingkan aku. Sungguh. Terkadang aku iri kepadanya. Dia memang tidak melanjutkan kuliah, hanya tamat SMA. Namun sekarang dia sudah mandiri dengan membuka usaha sendiri dan cukup sukses.

“Coba kamu jangan banyak ulah lagi. Mulailah belajar mematuhi peraturan. Aku yakin peraturan dibuat untuk kebaikan, bukan untuk mengekang. Mulailah belajar mencintai peraturan tersebut. Aku yakin kamu akan merasa jauh lebih tenang.” Itulah kata-kata terakhir yang kudengar sebelum HP kututup.

Aku juga yakin kalau peraturan dibuat demi kebaikan. Tapi yang aku tidak setuju adalah cara mereka menegakkan peraturan tersebut. Mereka sewenang-wenang, tidak menghargai hak asasi orang lain. 

Akh! Percuma aku mengeluh dan mengumpat dalam hati, tidak akan mengubah keadaan. Mereka semua telah berkomplot. Sedang aku seorang diri.

“Besok kita akan mengadakan acara bhakti sosial. Bagi yang ingin mendonorkan darahnya, silakan datang ke posko yang ada di depan asrama.” Tiba-tiba terdengar suara seorang cewek sedang berbicara dengan pengeras suara di depan asrama.

Setahuku dia cewek asrama sebelah. Cuma itu yang aku tahu. 

Aku tersentak, tidak hanya itu yang kutahu. Aku merasa suara itu tidak asing lagi di telingaku. Suara itu pernah kudengar sebelumnya. Sungguh khas. Tapi kapan dan di mana? Aku tidak mampu mengingat. Entah kenapa, belakangan ini memoriku sering error dan buntu.

***

“Menurutku, kamu ikuti saja kata hatimu. Kalau kamu merasa tersiksa, ya, tinggalkan saja duniamu itu. Dunia ini luas, Sob! Hidup ini untuk mencari ketenangan. Kalau kamu merasa enggak pernah tenang, untuk apa bersikeras bertahan. Lagian kamu sudah besar. Seharusnya kamu sudah bisa menentukan jalan hidupmu sendiri. Sampai kapan kamu mau diatur-atur terus. Yang tahu dirimu, ya kamu sendiri, bukan orang lain, termasuk orang tuamu.” Begitulah tanggapan Dody yang bernada provokatif.

Aku terkesiap mendengar ucapannya barusan. Kutatap tampangnya yang amburadul itu. Sulit dipercaya dia bisa mengeluarkan kata-kata yang cukup bijak seperti itu. Dia masih saja terkekeh sambil menghisap rokok di jepitan jari tangan kanannya. Dia tidak peduli walau tidak mendapat tanggapan dariku.

Setelah kupikirkan, pendapatnya banyak benarnya. Selama ini aku terlalu sering ragu dan hanya menurut. Sampai-sampai aku tidak berani menentukan jalan hidupku sendiri. Seharusnya aku tidak lagi diatur orang lain, termasuk oleh orang tuaku.

“Gue punya saran, Kamu ikuti lagi saja seleksi penerimaan mahasiswa baru tahun ini. Kamu pilih jurusan yang benar-benar kamu inginkan. Tapi untuk sekarang, kamu jalani saja duniamu saat ini. Siapa tahu, seiring bergulirnya waktu, kamu berubah pikiran. Kamu jadi mencintai duniamu yang sekarang.”

Walaupun tampangnya seperti preman, tetapi pemikiran Dody kayak filsuf, bijak banget. Aku jadi malu pada diri sendiri, karena sampai saat ini aku belum bisa mengambil keputusan untuk diriku sendiri, tidak seperti Akhmad dan Dody.

Sepertinya saran Dody perlu dipertimbangkan. Sudah waktunya aku memutuskan sendiri jalan hidupku. Tapi seleksi penerimaan mahasiswa baru dua bulan lagi. Berarti selama dua bulan aku mesti bertahan di neraka itu.

Menjelang waktu ashar, aku pun berpamitan. Langkahku masih gontai ketika meninggalkan kosan Dody.

***

Dua bulan seperti dua abad. Waktu terasa sangat lama. Entah kenapa, semenjak aku menginjakkan kaki di asrama ini, waktu seolah-olah tidak pernah bersahabat. Waktu serasa enggan bergerak. Ia sepertinya memusuhiku. Padahal, apa salahku.

Tapi akhirnya dua bulan berlalu juga. Aku memutuskan ikut seleksi masuk PT. Program studi yang kupilih adalah Teknik Informatika. Uang pendaftarannya kusisihkan dari beasiswa bulan kemarin.

Sebulan kemudian. Saptahadi Prasetya. Itulah salah satu nama yang tercantum di koran pengumuman kelulusan seleksi. Itu namaku. Aku memeriksa nomor ujiannya. Benar. Sama dengan nomor ujianku. Aku memeriksa jurusannya. Teknik Informatika. Sesuai dengan jurusan yang aku tulis tempo hari ketika pendaftaran.

Aku mengucap syukur berkali-kali. Akhirnya jalanku untuk meninggalkan neraka ini terbuka lebar. Tantanganku sekarang, meyakinkan kedua orang tuaku bahwa jalan yang kupilih adalah jalan terbaik untukku. Aku berharap mereka bisa mengerti.

Untuk pertama kali aku membantah orang tuaku. Aku memutuskan untuk meninggalkan asrama beserta segala macam fasilitasnya bukan tanpa alasan. Aku ingin menjadi ahli komputer, terutama yang berhubungan dengan teknik informatika. Cita-cita terbesarku sedari kecil adalah ingin membuat film animasi. Sedari kecil aku senang sekali menggambar. Bahkan aku pernah membuat serial komik. Teman-teman banyak memuji karyaku itu. Dan aku menikmati kegiatanku.

Aku tahu, selama ini orang tuaku bukan tidak mampu membiayai kuliahku. Orang tuaku punya jabatan yang lumayan di pemerintahan daerah. Kakak-kakakku yang menjadi pengusaha mendapatkan banyak proyek berkat orang tuaku. Mereka ingin memperlakukanku sama seperti kakak-kakakku, mengikuti kemauan mereka. Tapi aku tidak suka itu.

Sepertinya aku masuk ke neraka ini juga karena pengaruh jabatan orang tuaku. Tapi, mereka menempatkanku di neraka ini cuma karena alasan prestise saja, bukan karena melihat potensiku. Mereka cuma ingin merasa bangga mempunyai anak yang kuliah berikatan dinas. Kuliah yang dibiayai pemerintah. Kuliah yang menjadi rebutan banyak orang.

Kenapa aku jadi menjelekkan orang tuaku seperti ini?! Dasar anak durhaka. Tapi kenyataannya memang seperti itu. Ya Tuhan, ampuni dosaku karena telah menjadi anak durhaka.

Aku bukan kufur nikmat. Aku cuma ingin menjadi seperti yang kuinginkan. Aku sadar tidak baik jika aku terus bertahan di asrama ini. Aku takut hanya akan mencoreng dunia pendidikan, karena aku tidak yakin bisa menjadi guru profesional, seperti yang didoktrinkan oleh dosen-dosenku.

Aku tidak cocok menjadi guru. Sebab aku bercita-cita menjadi orang kaya. Aku bukanlah tipe orang yang peduli dengan orang lain. Aku bukanlah tipe orang pengabdi. Aku adalah orang yang individualis dan egois. Aku adalah seorang yang temperamental, gampang marah. Hmm, sepertinya begitu banyak alasan ketika tidak menyukai sesuatu.

Kepada guru-guruku yang selama ini telah berkorban untuk menjadikan aku seperti sekarang, aku minta maaf, aku bukannya tidak menghormati profesi kalian. Aku tidak bisa meneruskan perjuangan kalian di jalur yang sama. Tapi aku tetap akan berjuang. Hanya saja mungkin tidak seperti jalan yang telah kalian lalui. Doakan saja semoga aku tetap bisa menjadi orang sukses. Sehingga aku tidak perlu menjadi pengangguran yang memberatkan masyarakat dan pemerintah. Kalau bisa, aku tetap ingin menjadi orang yang kalian banggakan.

***

Aku sedang berdiri di depan asrama dengan menenteng dua buah tas besar ketika tiba-tiba terdengar suara di belakangku, “Sapta!!!”

Aku menoleh. Aku pun dibuatnya bingung. Dari mana dia tahu namaku. Aku tidak pernah mengenalkan diri kepadanya. Tapi suaranya itu sangat khas, cukup sering kudengar. Oh ya, aku sedikit ingat, dia dan teman-temannya sering mengadakan kegiatan bakti sosial.

“Ada apa?” balasku ogah-ogahan ketika dia mulai mendekat.

“Maaf kalau pertanyaanku lancang. Jadi kamu benar-benar ingin meninggalkan asrama?” tanyanya padaku dengan suara yang lembut dan sopan. Tingkahnya sedikit grogi.

Aku tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu, karena kami tidak saling mengenal. Tapi, setelah kuperhatikan, ternyata dia manis juga. Kenapa wajah semanis ini bisa luput dari perhatianku selama ini. 

Akh, langkahku jadi sedikit berat meninggalkan asrama ini. Kenapa aku tidak mengenalnya lebih dekat sebelumnya. Siapa tahu aku jadi mencintai asrama ini. 

Bagaimanapun, keputusanku sudah bulat, aku akan kuliah di Teknik Informatika. Itu artinya aku harus meninggalkan asrama ini. Orang tuaku sudah setuju membiayai kuliahku, walaupun mesti berdebat sengit sebelum akhirnya mereka meng-iya-kan.

“Iya” jawabku singkat. Jawaban yang mengecewakan, karena dia mesti menunggu lama hanya untuk mendengar jawaban sesingkat itu.

Kami sama-sama berdiam diri.

“Nama kamu siapa? Kok tahu namaku?” tanyaku mencoba mencairkan kebekuan, melihat dia mulai salah tingkah.

“Dini, aku anak ekstrakurikuler Palang Merah. Aku yang sering mendapat tugas merawatmu ketika kamu pingsan kemarin-kemarin,” jawabnya memperkenalkan diri.

Aku tersentak. Jadi, suara merdu yang sering aku dengar sayup-sayup ketika aku pingsan selama ini, suara cewek manis ini. “Jadi…” Aku tidak tahu harus mengucapkan kata-kata apa.

Dia cuma menunduk sambil tersipu malu, sehingga rona wajahnya yang memerah semakin membuatnya bertambah manis. Ternyata selama ini, ada surga di sekitarku. Tapi aku saja yang menutup diri dan terlalu berpikiran negatif, sehingga semuanya seolah-olah menjadi neraka.

“Oh, maaf. Aku lupa mengucapkan terima kasih.” kataku gelagapan karena terlalu sibuk dengan pikiranku.

“Enggak pa-pa.” Dia tersenyum geli melihatku salah tingkah.

Kuedarkan pandangan ke sekitar untuk menghilangkan grogi. Akan tetapi, justru terlihat kerumunan cewek-cewek sedang menatap kami sambil tersenyum. Tampaknya mereka teman-temannya Dini. Grogiku bukannya hilang, malah semakin parah. Sial! Kenapa kepergianku jadi sedramatis ini.

“Oh, ya, aku harus pergi. Boleh tahu nomor ponselmu?” kataku spontan karena melihat mobil yang menjemputku sudah datang. Tumben aku seberani ini dengan cewek. Sebelumnya aku tidak pernah minta nomor telepon cewek.

Dini tersenyum, tanpa menolak, dia langsung menyebutkan nomornya.

Ketika aku mengambil ponsel dari saku celana untuk mencatat nomornya, sebuah benda ikut terambil. Sebuah untaian gelang yang kuanyam sendiri di waktu suntuk. Rencananya gelang tersebut akan kuberikan kepada adik perempuanku.

“Ini untukmu, sebagai bentuk ucapan terima kasihku karena telah merepotkanmu selama ini,” kataku polos sambil menyerahkan gelang itu kepadanya.

Dia menerimanya tanpa berkata apa pun.

Sebelum membalikkan badan, aku sempat melihat matanya berkaca-kaca. Sebutir air mata tidak dapat ditahannya jatuh ke bumi. 

Akh, aku merasakan sesuatu. Rasa yang menyejukkan sekaligus menyakitkan. Apakah telah tumbuh rasa di antara kami? Aku tidak tahu, karena semuanya berlalu begitu cepat, hanya beberapa menit. Setelah ini pun kami harus berpisah. Mungkinkah?

***

Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku. 

Aku tersentak kaget. Lamunanku buyar. 

Dia mendekapku dari belakang. “Sayaang…! Lagi memikirkan apa, sih? Kayaknya serius banget, sampai segitu kagetnya.” tanyanya masih mendekapku erat. Dari suara khasnya, dia istriku.

“Aku sedang mengingat masa lalu. Ternyata aku telah mengambil keputusan yang tepat. Jika saja dulu aku tidak pernah berani memutuskan jalan hidupku, mungkin aku belum menemukan kebahagiaan seperti sekarang. Mungkin juga kamu enggak bakalan mengidolakan aku, dan menjadikan aku sebagai Arjuna pilihanmu. He he he.” jawabku sambil menggodanya.

“Ih! GR-an amat, sih! Aku dulu suka sama kamu cuma karena musibah!” balasnya sambil melepaskan dekapan.

Aku memutar tubuh, mengucek-ucek rambutnya dan mengecup keningnya. “Kamu tambah manis saja kalo merajuk seperti itu.” 

Istriku kembali mendekapku dengan kencang. Dia menyembunyikan wajahnya yang semakin merona merah jambu di dadaku.

Dulu, aku tidak pernah membayangkan dapat mewujudkan cita-citaku secepat ini. Kini aku bekerja di perusahaan pemrograman software komputer. Aku dipercaya sebagai salah satu manajer. Aku juga membuka usaha rental dan servis komputer. Lumayan. Dari hasil kerja kerasku, aku telah mampu membeli rumah dan sebuah mobil. Yang terpenting, aku mencintai pekerjaanku yang sekarang. Itulah yang membuatku bahagia.

Aku juga sudah dikaruniai seorang anak. Umurnya dua tahun. Tentunya dari istriku yang sangat aku cintai, Dini. Guru SD di kota ini.

Terima kasih Tuhan, Engkau telah menganugerahkan kepadaku keberanian untuk memilih dan memutuskan. Semoga jalan yang kupilih ini adalah jalan yang lurus, jalan yang Engkau ridai. Engkau telah menganugerahkan aku dan keluargaku nikmat yang begitu besar. Karena itu, jadikanlah kami termasuk golongan orang-orang yang bersyukur.

*TAMAT*

Penulis: Feri Noperman

Baca pula:

Taman nan Indah

Di Tepian Asa

Komentar