Langsung ke konten utama

Di Tepian Asa

"Bagaimana rasanya minggu pertama di sana, honey?” suara manja dan merdu di ponselku sedikit mengurangi kekesalanku hari ini.

Bad week!” kataku dengan ketus. "Tidak satu pun orang-orang di sini yang mengerti obrolanku. Mereka benar-benar ketinggalan zaman. Rasanya orang-orang zaman batu lebih maju daripada mereka."

Sebenarnya aku tidak habis pikir dengan negeri yang katanya gemah ripah loh jenawi ini. Tanda-tanda salah urus begitu vulgar terpampang di depan mata. Teknologi untuk bisnis cepat sekali merambah sampai ke pelosok desa, seperti desa tempatku bertugas sekarang ini. Sementara teknologi untuk dunia pendidikan tidak tahu kapan akan dinikmati anak-anak di sini. Aku tidak bersemangat kalau harus mengajar dengan cara-cara kuno yang masih dipraktikkan para guru di sekolah baruku itu.

Untung saja operator seluler bisa memahami nasibku. Mereka sudah memasang tower komunikasi sebelum aku datang ke sini. Jadi, walaupun terdampar di desa yang sangat terpencil ini, aku masih bisa berkomunikasi dengan Siska, pacarku yang tinggal di kota. Mendengarkan suara manjanya itu bisa sedikit mengurangi kejenuhanku.

“Sabar saja, ya, Sayang! Memang butuh waktu untuk beradaptasi di lingkungan baru.” Siska sedikit memberi semangat. Tidak diragukan lagi kalau dia memang pacarku yang paling baik daripada pacar-pacarku sebelumnya.

“Jangan lupa sama janjimu, ya. Mungkin untuk satu bulan aku bisa bertahan. Tapi kalau seumur hidup, enggak tahulah aku bakal menjadi apa! Aku juga enggak yakin kamu mau ikut tinggal di sini. Semuanya mengenaskan,” kataku mendengus, menunjukkan kalau aku sangat tidak betah berada di sini, sekaligus juga mencoba menakut-nakutinya. Hanya itu cara yang dapat membuatnya segera mengurusi kepindahanku.

“Tenang saja. Aku sudah ngomong sama Papa. Tunggu saja kabar baiknya, okey,” katanya meyakinkan.

“Oke, deh! Aku percaya kamu," balasku sambil sedikit bernapas lega. Janjinya itu mampu menjaga semangat dan harapan hidupku. "Sudah dulu, ya, sayang, ya. Aku sudah mengantuk. Hari ini capek banget. I love U bibeh!

I love U too.”

***

Keesokan harinya, dengan tidak bersemangat aku kembali datang ke sekolah. Aku berkeliling dari satu kelas ke kelas lainnya, mengamati para guru di SD ini mengajar. Aku berhenti di depan kelas satu. Cara guru berjilbab itu mengajar lumayan juga, penuh kelembutan dan berwibawa. Tapi siswanya terlalu bebas. Suasana kelas pun menjadi sangat gaduh. Anak-anaknya berlarian ke sana ke mari. Aku tidak tahan mendengar kebisingan seperti itu. Ternyata ini masalahnya, siswa-siswa itu terlalu banyak bermain. Pantas saja mereka tidak tahu apa-apa ketika kutanya kemarin siang.

“Sepertinya siswa-siswa tersebut sangat menyukaimu?” kataku kepada wanita itu ketika ia baru saja selesai mengajar dan lewat di depanku.

“Terima kasih.” balasnya singkat sambil tersenyum. “Bagaimana rasanya setelah seminggu kamu mengajar di sini?” katanya balik bertanya kepadaku.

“Mengesankan. Mereka sangat antusias belajar. Tampaknya selama ini mereka sudah mendapatkan bimbingan yang berkualitas dari guru berkelas dan juga cantik,” kataku sambil senyum yang dibuat-buat, dan mengarahkan jempolku ke arahnya. Tapi tentu saja itu cuma berbohong. Aku melihat dia sedikit tersipu malu. Dasar! Tidak bisa dipuji sedikit saja.

“Kalau lontong kemarin bagaimana?” tanyanya lagi.

“Enak sekali. Tapi kalau ada yang lain, boleh juga,” jawabku kembali berbohong. Jujur saja, aku tidak terbiasa sarapan seperti itu. Perutku kemarin langsung berdemo ria dan memberontak setelah mendapat kunjungan makanan aneh itu. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Terpaksa lambungku harus berdamai dengan makanan memprihatinkan itu.

Guru wanita itu pun pamit ingin ke kantor. Senyum lebarnya mencoba membuatku terpesona. Tapi tidak mempan sama sekali. 

Aku pun mempersilakannya. Mataku sempat menatap punggungnya. Langkahnya anggun sekaligus penuh percaya diri. Namanya Halimah. Hanya itu yang kutahu. Dan aku memang cuma ingin tahu itu. Tidak lebih.

***

Hari-hariku di desa ini berjalan begitu lamban. Matahari seolah enggan melintasi kepalaku. Menurut kalender, baru dua bulan. Tapi aku merasakan seolah sudah dua milenium.

“Sayaaaang! Sudah dua bulan. Kok belum ada kabarnya?” kataku merajuk kepada Siska ketika dia kembali menelepon.

“Kata Papa, banyak orang yang mengusulkan hal yang sama. Jadi, belum bisa diproses cepat. Tapi Papa janji bisa diurus kok. Kamu sabar dulu, ya.” jawabnya dengan suara tenang dan lembut. Nada suaranya itu mengisyaratkan kalau dia sudah berubah menjadi jauh lebih dewasa.

Satu-satunya alasan kenapa aku menerima ditempatkan dan bertahan di sini, ya, karena dia. Katanya waktu itu coba dulu tinggal beberapa bulan. Nanti papanya bisa mengurus kepindahanku ke kota. Papanya merupakan salah satu pejabat penting dan punya pengaruh di Dinas Pendidikan Provinsi. Pasti beliau bisa mengusahakan.

***

“Kamu baru bisa pindah di akhir semester,” akhirnya kata-kata yang sangat tidak kusukai harus kudengar darinya beberapa minggu kemudian.

"Hah!!!" teriakku kaget. Kepalaku langsung berdenyut-denyut. Kekesalan mulai meluap-luap di dadaku. Bagaimanapun, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

"Mau bagaimana lagi. Kata papa, sekarang data sudah terintegrasi semua. Sulit untuk mengubahnya begitu saja," tegasnya memberikan alasan kenapa urusan kepindahanku belum juga selesai.

"Ya sudah. Enggak apa-apa," balasku pasrah. 

Tak apalah menunggu setengah tahun lagi. Itu masih lebih baik dibandingkan tidak pindah sama sekali. Kalau aku melarikan diri dari sini, tidak ada jaminan untuk masa depanku. Saat ini mencari pekerjaan sangat susah, apalagi jika harus banting stir, tidak sesuai dengan keahlian. Aku sudah terlanjur kuliah di fakultas keguruan. Mau tidak mau aku harus menerima nasib menjadi guru.

***

Enam bulan berlalu sudah. Aku mesti melaluinya dengan tertatih-tatih, seperti seorang musafir yang sedang melintasi gurun pasir tanpa membawa bekal air minum sedikit pun. Sangat beruntung aku masih hidup.

Hari ini, hari terakhir ujian semester untuk siswa SD. Berarti besok sampai dua minggu ke depan sekolah libur. Aku bisa kembali ke kota. 

Aku memutuskan tidak memberitahukan kepulanganku kepada Siska karena ingin membuat kejutan untuknya, sebagai bukti bahwa aku sangat mencintainya.

Perjalanan selama enam jam mesti kutempuh untuk kembali ke kota. Kendaraan yang kutumpangi jauh sekali jika ingin dikatakan layak. Di barisan kursi yang aku duduki ada lima orang termasuk aku. Sebenarnya kursi ini hanya cukup untuk tiga orang. Tapi karena banyak penumpang yang mau ke kota, terpaksa aku mesti berbagi tempat duduk dengan mereka.

Penderitaanku sepanjang perjalanan pun terasa sangat lama. Tapi tidak apa-apa, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, malah mati kemudian. He he he… enggaklah, aku masih ingin hidup seribu tahun lagi. Sebentar lagi semua impianku akan terwujud.

“Selamat datang duniaku!!!” kataku histeris ketika baru saja turun di terminal di kota asalku. 

Baru enam bulan kutinggalkan, banyak sekali perubahan pada wajah kota ini, tidak seperti desa yang kutinggali selama enam bulan kemarin. Orang kota memang orang yang dinamis, selalu ingin berubah menjadi lebih baik. Aku seperti benar-benar ketinggalan zaman tinggal di desa.

Aku tidak langsung menuju rumah orang tuaku, melainkan menuju toko souvenir untuk membeli hadiah untuk Siska. Setelah itu, langsung kulangkahkan kaki menuju ke rumahnya. Aku ingin cepat-cepat memberikan kejutan untuknya. Kerinduan yang kupendam sudah berton-ton beratnya.

Aku sudah biasa masuk rumahnya tanpa pamit. Seperti biasa, rumahnya terasa sunyi dan lengang. Kedua orang tuanya sibuk bekerja dan berbisnis. Ayahnya adalah pejabat di dinas pendidikan. Sementara ibunya sibuk menjalankan bisnis MLM. Siska masih seperti dulu, kesepian. Dia anak rumahan, yang lebih senang menghabiskan waktu dengan main games atau menulis dibandingkan pergi ke Mall atau berdisko ria di diskotek. Itulah yang membuatku sangat mencintainya. Walaupun orang kota, dia tidak terlalu terpengaruh dengan arus kehidupan kota yang negatif.

Kulangkahkan kaki sepelan mungkin agar tidak bersuara. Langkahku langsung menuju kamarnya. 

Terlihat pintu kamar sedikit terbuka. Suara musik melankolis terdengar sayup-sayup dari celah pintu itu. 

Aku mengintip. Siska sedang menari. Tapi dia tidak sendirian...! Ada seseorang yang sedang mendekapnya...! 

Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Darahku langsung memanas. Otot-ototku menegang. Aku pun melebarkan celah pintu. Terlihat dua wajah. Sangat dekat. Bukan hanya dekat. Menyatu. Pada bagian bibir. Siska sedang…

Jgeeer!!! Suara pintu menghantam dinding kamarnya. Mereka berdua kaget. Saling melepaskan dekapan masing-masing. Mereka langsung saling menjauh. 

“Doni???” Mereka mengucapkan namaku berbarengan. Kompak sekali.

“Jo???” kataku kaget luar biasa. 

Hanya itu kata-kata yang mampu kuucapkan. Setelah itu, aku tidak tahu di mana saja bogem mentahku mendarat di tubuh sahabat karibku itu. Bukan itu saja, kakiku ikut bermain. Jo yang sudah tergeletak di lantai tidak melakukan perlawanan sama sekali. Mungkin itu karena dia merasa bersalah. Dia hanya mencoba melindungi bagian tubuhnya yang vital dengan kedua tangannya. Sementara Siska menjerit-jerit memintaku berhenti.

Setelah puas melampiaskan amarah, aku pun berhenti. Aku sempat menoleh sekilas ke arah Siska sebelum meninggalkan kamar sambil membanting pintu. Aku berlari dan berlari. Tidak tahu arah yang dituju, aku terus berlari.

Menjelang malam, tanpa mampu kuingat bagaimana caranya, aku telah berada di sebuah cafe langgananku.

“Hai Don! Elo ke mana saja?" Bimo, bartender, yang pertama kali menyambutku.

"Elo seperti ditelan bumi, Bro." Romeo, pelanggan kafe paling setia, ikut-ikutan menyapa.

"Wajah Elo kusut amat. Amat saja enggak kusut.” Satria yang selalu berlomba dengan Romeo untuk datang paling cepat ke kafe, mengamatiku agak lebih teliti.

Hampir semua pelayan dan pelanggan kafe yang jumlahnya belasan orang itu menyapaku. Mereka semua mengenalku. Tapi aku tidak menghiraukan mereka sama sekali. Pikiranku masih dipenuhi dengan ketidakpercayaan akan apa yang baru saja kualami. Siska dan Jo telah menghianatiku!

Aku duduk di kursi dekat meja kasir tepat di depan Erwin, lalu memberi kode padanya. Sudah lama aku tidak minum-minum, terutama semenjak tinggal di desa. Sepertinya malam ini momen yang tepat untukku mengulang lagi kebiasaanku itu. Dia langsung menyiapkan pesananku hampir dalam hitungan detik.

***

Aku tidak tahu pasti berapa hari aku menghabiskan waktu di kafe. Namun, bukannya bertambah tenang, kepalaku malah semakin pusing. Saat aku mulai kembali sadar, Joko mendekatiku. Dia membawaku ke kamarnya yang berada di belakang kafe. 

Dia banyak bercerita. Salah satu ceritanya yang sangat berkesan bagiku adalah kalau desa merupakan tempat yang tepat untuk menenangkan diri. Banyak orang kota yang mencari ketenangan di desanya. Dan itu berhasil. Kebanyakan dari mereka pada akhirnya membangun tempat tinggal di desa. Mungkin itu juga akan berhasil padaku. Dunia terkadang aneh, orang kota mau pergi ke desa. Sebaliknya orang desa mau pergi ke kota.

Dengan langkah sedikit sempoyongan, aku meninggalkan kamarnya. Sebuah taksi online langsung mengantarku ke rumah orang tuaku. 

Ketika aku datang, kedua orang tuaku sedang berada di rumah. Aku sempat menyalami dan mencium tangan mereka. Tanpa menghiraukan ceramah dan pertanyaan mereka, aku pun langsung cabut dari rumah. Aku tidak tahan mendengar nada bicara mereka yang selalu merendahkan dan menyalahkan.

Di depan teras rumah, aku berpapasan dengan Ani, adik perempuanku. 

“Kakakku sayang, kapan sampai? Mana hadiah untukku,” katanya langsung menggelayut manja di tanganku.

“Kakak baik-baik saja. Kakak mau kembali ke desa sekarang. Kamu belajar yang rajin, ya,” balasku masih sempat bersikap seperti seorang kakak yang bijak.

“Lo, kok mau balik lagi? Kita, kan, belum sempat belanja di Mall. Sekarang lagi ada diskon, loh!” Dia merayuku. Dasar anak bungsu, manjanya luar biasa.

"Oh, yah, Kak. Tadi Ani ketemu Mbak Siska. Ia titip surat untuk Kakak,” lanjutnya sambil mempermainkan sebuah amplop di tangan kanannya. Dia terkekeh, mencoba menggodaku.

Aku merebut amplop itu secara kasar dan memasukkannya ke kantong celana. Beberapa lembar uang lima puluh ribuan kukeluarkan dari dompet dan kuserahkan padanya. 

Dia masih melonjak-lonjak kegirangan saat kutinggalkan.

***

Aku sedang duduk terdiam di beranda rumah, baru saja selesai membaca surat Siska, ketika suara deritan lantai kayu mengagetkanku.

“Assalamu’alaikum," suara Halimah terdengar merdu. Seperti biasa, dia datang membawa keranjang makanan.

“Wa’alaikum salam.,” timpalku. Tidak seperti biasanya, kali ini aku tergoda untuk membalas salamnya.

Halimah meletakkan keranjang makanan di atas meja. Awalnya dia ingin langsung pulang. Tapi aku mencegahnya. Dia pun duduk di kursi setelah kupersilahkan.

"Kenapa kamu terlihat kusut begitu?" tanyanya kemudian memulai pembicaraan. Tampaknya dia tidak tahan kudiamkan.

“Impian dan harapanku… semua musnah sudah. Tidak ada gunanya lagi aku hidup.” Akhirnya aku bersuara. 

Tanpa diminta, aku pun menceritakan apa yang barusan kualami. Entah kenapa aku begitu terbuka kepadanya. Sepertinya aku sedang butuh tempat untuk bercerita dan berbagi. Dia menyimak dengan penuh khidmat.

Setelah cukup lama saling berdiam diri, akhirnya Halimah kembali memecah kesunyian. “Tidak selamanya impian dan harapan dapat kita wujudkan. Ketika sebuah impian atau harapan tidak terwujud, bukan berarti hidup pun berakhir. Kita masih bisa membuat impian dan harapan baru. Karena harapan dan impian yang baru masih tersedia untuk kita. Tinggal dimunculkan saja.”

Aku tidak memberikan tanggapan. Tatapanku masih kosong ke arah jalan setapak di depan rumah. Sesekali aku melirik ke arahnya.

Halimah menatapku dan meneruskan ceritanya “Dulu aku juga pernah punya mimpi dan harapan yang tinggi. Bahkan, tiga tahun yang lalu, aku hampir bisa mewujudkannya. Tapi sebuah musibah merenggut semuanya."

Aku masih diam. Tapi tetap mendengarkan.

“Aku bercita-cita kuliah di luar negeri.” Dia menyebutkan impian dan harapannya. “Setamat dari SMA, aku diterima di salah satu kampus terbaik di pulau Jawa. Kuliahku berjalan lancar. Menjelang wisuda, aku ikut tes beasiswa untuk kuliah ke Amerika. Aku berhasil lolos. Cita-citaku untuk kuliah di luar negeri hampir bisa kuwujudkan. Yang lebih menggembirakan, Pacarku juga lolos di Amerika di kota yang sama. Berarti kami benar-benar tidak terpisahkan. Romeo-Juliet mewujudkan impian di negeri paman Sam. Begitulah khayalanku menjelang keberangkatan.” 

Dia terdiam sejenak. Matanya mulai berkaca-kaca.

Beberapa menit kemudian, dia kembali bercerita “Tapi... Menjelang keberangkatanku, Ibuku sakit keras di desa. Aku mesti memilih, berangkat ke Amerika atau merawat ibuku. Di desa, Ibu kesepian. Ayah menikah lagi. Adik-adikku masih kecil. Pacarku menyuruhku tetap berangkat. Inilah saat yang menentukan masa depanku. Tapi aku memutuskan lain. Aku memilih merawat ibuku dan melupakan beasiswa itu.” 

Air mata mulai menyembul di sudut matanya. Masa lalunya itu tampaknya sangat menyakitkan. 

Sementara aku hanya bisa bengong mendengar kisahnya itu.

“Hampir dua tahun aku merawat ibuku, sampai beasiswa yang ditawarkan padaku kadaluarsa. Pada akhirnya ibuku pun tidak tertolong. Ia meninggal dunia setelah hampir dua tahun terbaring di tempat tidur.” Dia terus bercerita sambil terisak-isak. Air matanya semakin mengalir deras. 

“Sekarang aku harus tinggal lebih lama di desa ini untuk merawat dan menyekolahkan adik-adikku,” lanjutnya.

Lha?! Aku yang sedang menghadapi masalah, kenapa dia yang menangis. Aku tidak habis pikir.

“Aku juga sempat berpikir seperti yang sedang kamu pikirkan sekarang. Untuk apa lagi aku hidup?” katanya terus bercerita.

Aku tetap diam. Perlahan tapi pasti, aku mulai merasakan semangatku muncul kembali. Ternyata aku bukan satu-satunya orang yang menderita di dunia ini.

“Beruntung aku punya teman-teman yang baik. Aku ikut pengajian di desa ini. Dari pengajian tersebut aku mendapat semangat baru. Aku punya impian dan harapan yang baru. Aku dikenalkan dengan ajaran-ajaran agama." 

Wajahnya kembali tampak ceria dan bersemangat.

"Kita hidup ternyata sudah direncanakan Allah. Kita sudah diberi tahu oleh Allah untuk apa kita hidup, melalui Al Qur’an yang disampaikan lewat perantaraan Nabi Muhammad SAW.” ujarnya melanjutkan dengan menceritakan sesuatu yang terasa sangat asing bagiku.

“Kini aku merasa jauh lebih baik. Dan aku sangat mencintai duniaku yang sekarang. Kini aku bertekad akan membantu anak-anak di sini mewujudkan cita-cita mereka,” tambahnya dengan penuh semangat menunjukkan komitmennya terhadap profesinya yang sekarang, sebagai seorang guru. 

Tangisannya barusan berubah menjadi sebuah senyuman. Senyuman yang begitu indah.

Aku menatap wajah Halimah. Ternyata dia lumayan cantik. Kulit wajahnya kuning langsat dan mulus. Hidungnya agak mancung sedikit. Dagunya tirus. 

Wajah yang teduh dan murah senyum ini, ternyata pernah juga melewati penderitaan yang begitu berat. Entah kenapa, kini wajah itu makin terlihat indah,. Wajahnya penuh cahaya. Bukan hanya cerita dan pesan-pesannya yang membuat kesejukan di hatiku, pancaran aura dari rona wajahnya menimbulkan kesejukan yang lain.

Agama. Sebuah kata yang membuat wajah yang teduh dan tampak lemah itu mampu tegar dan bertahan hidup. Sedangkan aku???

***

Untuk Doni,

Sebelumnya aku minta maaf. Aku menulis surat ini karena aku yakin kamu tidak akan mau menemuiku lagi. Aku tahu, kamu sangat kecewa denganku.

Aku ingin jujur. Aku mencintai Jonathan, dari dulu. Dia baik dan perhatian. Dia tahu bagaimana caranya memperlakukan wanita.

Selama ini, aku merasa tersiksa pacaran denganmu. Kamu egois. Selalu minta diperhatikan, namun tidak pernah memperhatikan. Kamu tidak pernah mengerti kebutuhanku, perasaanku. Aku pikir, setelah tinggal di desa kamu bisa berubah. Tapi kenyataannya tidak. Aku malah jadi berpikir kalo kamu hanya ingin memanfaatkan aku demi kepentinganmu. Sebenarnya kamu tidak pernah mencintaiku, bukan?!

Aku juga minta maaf telah membohongimu. Aku enggak pernah ngomong apa pun sama Papa tentang keinginanmu pindah ke kota. Jadi Papa enggak pernah mengurus kepindahanmu.

Aku hanya berharap kamu bisa merelakan aku hidup bahagia. Dengan Jo. Ia tulus mencintaiku. Jangan pernah membenci kami.

Aku juga berharap kamu bisa menemukan penggantiku yang lebih baik.

Sekali lagi aku minta maaf.

Siska

Aku kembali membaca surat Siska. Ending kisahku dengannya sudah jelas, tidak ada harapan lagi. Aku langsung merobek-robek surat tersebut dan menaburkannya ke jurang di hadapanku. Biarlah kertas-kertas itu bertaburan ke mana-mana, tak tentu arah. Terbawa arus sang bayu yang semakin liar. Seperti harapanku… yang telah terbang entah ke mana?

Aku berniat menyusul robekan-robekan kertas tadi, terbang mengikuti arus sang bayu, ke tempat yang tak dikenali, tidak untuk kembali, sebelum tiba-tiba terngiang kata-kata "Harapan dan impian baru masih tersedia untuk kita."

Aku tidak mengerti kenapa kata-kata itu terus terngiang-ngiang di benakku. Tapi aku masih tetap meragukan kebenaran kata-kata itu. Beberapa detik kemudian terbersit bayangan wanita yang mendengungkan kata-kata itu.

Apakah wanita itu harapan dan impian baruku? 

Tidak. Aku tidak boleh terlalu berharap. Aku baru ingin menumbuhkan harapan baru. Aku baru mau memulai langkah baru. Itu pun kalau aku masih bisa mengangkat kaki dan melangkah.

Aku mengurungkan niatku menyusul robekan kertas tadi. Kubalikkan badanku dan melangkah kembali ke rumah.

***

Pengabdian dan pencarian tanpa henti. Itulah tujuan hidup yang kini kuikrarkan. Aku telah merenungkannya cukup lama. Belajar dari semua pengalaman yang pernah aku lalui. Belajar dari orang-orang yang aku kagumi. Terutama tokoh yang dikenalkan istriku, Rasulullah SAW, seorang tokoh paling besar dan paling berpengaruh sepanjang zaman. Aku memutuskan untuk mengabdikan diri di desa ini, untuk menjadikan anak-anak di desa ini sebagai pencuri. Pencuri perhatian dunia dengan prestasi.

Aku sadar perjuanganku akan berat. Tapi aku punya penyemangat. Aku punya sumber inspirasi. Aku punya cinta. Aku mencintai pekerjaanku. Aku mencintai desa ini. Aku mencintai istriku, Halimah. Tapi aku masih sedang mencari cinta hakiki, dari Zat Yang Menciptakan Cinta, Allah. Itulah mimpi dan harapan baru yang sedang kutuju.

*SELESAI*

Penulis: Feri Noperman

________________________________________________________

Baca pula:

Akhir Sebuah Kebimbangan

Komentar