Langsung ke konten utama

Sesal

Laki-laki itu duduk tertegun di kursi plastik yang menghadap ke Samudera Hindia. Tatapannya tajam ke horizon di ujung barat sana. Sang surya sebentar lagi akan beristirahat di peraduannya. Angin yang berhembus lembut dari arah samudera mempermainkan rambut lurusnya.

Matanya beralih menatap kosong ke arah buket bunga krisan yang tergeletak di atas pasir di sampingnya. Momen beberapa jam yang lalu masih terbayang dengan jelas di benaknya. Rencananya buket bunga itu hendak diberikannya kepada seorang perempuan spesial yang telah lama mengisi hatinya, bahkan sejak kecil. Tapi rencana itu berantakan dalam hitungan detik saja.

Masih terngiang di telinganya kata-kata perempuan itu ketika memperkenalkan pacar barunya beberapa jam yang lalu. “Kenalkan ini Ronald, pacarku,” kata perempuan itu. Terpaksa dia menyembunyikan buket bunga di tangan kanannya ke balik jaket untuk menetralkan keadaan. Dia tidak ingin merusak suasana bahagia perempuan itu.

“Hai. Boleh minta waktunya sebentar?” Tiba-tiba seorang perempuan membuyarkan lamunannya.

“Iya. Ada apa?” Laki-laki itu menoleh.

“Aku Rahayu, mahasiswa pascasarjana jurusan psikologi sosial semester akhir. Aku sedang penelitian untuk tesisku. Penelitianku tentang keterkaitan tempat ini dengan suasana hati para pengunjungnya. Apakah kamu bersedia menjadi respondennya?”

Laki-laki itu terlihat mengerutkan dahi, tampak berpikir keras sebelum akhirnya menjawab, “Boleh.”

“Nama kamu siapa?” tanya Rahayu dengan suara tegas tapi lembut.

“Rino.”

"Kamu bersedia mengisi angket?"

Rino tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk.

Rahayu membuka map plastiknya, mengeluarkan sepaket kertas ukuran A4 lalu menyerahkannya pada Rino. Dia juga mengeluarkan pulpen dan memberikannya pada Rino.

Rino langsung menyambut kertas itu. Dia mengamati isinya sekilas, lalu membulati pilihan-pilihan yang tersedia di situ. Setelah selesai, angket itu langsung dikembalikannya pada Rahayu.

"Boleh aku bertanya sedikit lagi?" tanya Rahayu setelah selesai menyimpan angket isian dari Rino ke dalam map plastik.

Tanpa banyak berpikir, Rino kembali mengangguk.

“Kamu ke sini karena patah hati, ya?” tanya Rahayu membuka sesi tanya jawab. Pertanyaan itu agak menohok.

“Kok tahu?” balas Rino terperangah dan terlihat sedikit salah tingkah.

“Bukan tahu, hanya menebak saja berdasarkan fenomena yang sering terjadi selama ini. Aku sering ke sini dan mengamati para pengunjung di sini. Rata-rata mereka sedang patah hati, he he he...”

“Oh. Kukira kamu tukang pembaca pikiran," timpal Rino terlihat lebih tenang.

Dia terdiam sejenak, tampak sedang mempertimbangkan untuk menceritakan pengalamannya barusan atau tidak pada Rahayu. Akhirnya dia memutuskan untuk bercerita. Siapa tahu itu dapat mengurangi kepedihan hatinya. Dia mulai merasa Rahayu dapat dipercaya.

"Oke. Aku akui, aku baru saja patah hati,” katanya sambil mencoba tersenyum, tapi kecut.

Suasana hatinya tidak bisa diubah begitu saja. Bahkan kehadiran perempuan cantik, cerdas, dan sopan seperti Rahayu yang sedang berada di hadapannya sekarang tidak berpengaruh sama sekali.

“Ditolak atau baru saja putus? Maaf, ya, pertanyaannya jadi lancang. Kamu boleh tidak menjawab, kok.”

Rino menggeleng. “Bukan dua-duanya.”

“Lha? Terus apa?” Rahayu tampak mulai penasaran.

“Hanya salah menduga saja.”

“Maksudmu?” Kering Rahayu mulai mengerut. Ini kasus baru. Dia belum pernah menemui responden seperti Rino ini.

Rino tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir keras. Akhirnya dia kembali bersuara.

“Aku pikir kami memiliki perasaan yang sama. Dia sering menceritakan apa pun padaku, termasuk masalah, kepedihan, dan penderitaannya. Belakangan ini aku juga merasa dia lebih perhatian daripada sebelum-sebelumnya. Tapi ternyata aku salah. Perhatian itu tidak berarti apa-apa. Itu bukanlah pertanda dia memiliki perasaan istimewa padaku,” katanya kemudian.

“Kok kamu tahu kalau dia tidak memiliki perasaan istimewa?”

“Karena dia baru saja memilih laki-laki lain.”

“Maksudmu?”

“Tadi dia telah mengenalkan pacarnya itu padaku.”

“Ooh. Maaf, ya.”

“Tidak masalah.”

Raut kesedihan langsung terpancar di wajah Rino. Dia kembali menatap ke laut lepas. Sang surya sebentar lagi tenggelam.

Mereka terdiam cukup lama.

Melihat ekspresi Rino makin kusut, Rahayu merasa segan untuk bertanya lebih jauh. Dia pun memutuskan mengakhiri sesi wawancaranya.

“Karena kamu sudah berkenan menjadi respondenku, kamu boleh mengajukan permintaan sebagai bentuk ucapan terima kasihku,” katanya menawarkan imbalan atas kesediaan Rino.

“Permintaannya boleh apa saja?”

“Tidak juga. Sejauh aku bisa memenuhinya saja, he he he,” jawab Rahayu sambil terkekeh. Sepertinya dia juga takut kalau Rino mengajukan permintaan yang aneh-aneh.

“Oh. Begitu.”

Suasana hening beberapa detik.

Rino memungut kembali buket bunga yang tadi tergeletak di pasir.

“Boleh minta tolong simpankan buket bunga ini untukku?” katanya sambil mengulurkan buket bunga itu ke arah Rahayu.

“Ehm.” Rahayu tampak ragu sebelum akhirnya menerima buket bunga itu.

“Ini saja?” tanyanya.

“Iya. Itu saja.”

“Oke. Tidak masalah. Akan kusimpan.”

***

“Rinooo! Kamu ada waktu, kan?! Aku mau ketemu denganmu!” Suara perempuan terdengar nyaring di ponsel Rino. Nada suaranya terdengar cemas bercampur kesal.

“Boleh. Kapan?” jawab Rino tenang.

“Kalau malam ini bagaimana?”

“Ehm. Sebentar. Aku memeriksa tanggal dulu.”

Rino langsung menatap kalender di dinding kamarnya.

“Nah! Boleh, boleh. Pas banget. Aku juga mau bertemu denganmu. Ada hal penting yang ingin kusampaikan,” lanjutnya.

“Oke. Di tempat biasa, ya. Waktunya juga seperti biasa.”

“Oke.” 

Setelah menutup panggilan telepon dari perempuan itu, Rino menulis pesan singkat.

***

“Kamu kenapa lagi?” Pertanyaan standar itu langsung keluar dari bibir Rino setelah dia berhadapan dengan perempuan yang meneleponnya tadi siang.

“Ternyata Ronald sama saja!” Perempuan di hadapan Rino menjawab hampir seperti berteriak penuh kemarahan.

“Kenapa dengan Ronald? Dia selingkuh juga?” tanya Rino lagi tampak mulai panik.

“Enggak!” Perempuan itu masih juga ketus dan judes.

“Lha? Terus kenapa? Kelihatannya dia baik, kok. Kamu juga tidak pernah menceritakan keburukan-keburukannya seperti pacarmu yang sudah-sudah.”

“Justru itu. Dia terlalu baik. Sampai-sampai aku tidak menyadari kalau dia sudah beristri!” teriak perempuan itu histeris.

“Hah! Dari mana kamu tahu?” tanya Rino makin terlihat panik.

“Istrinya yang mendatangiku dan mendampratku habis-habisan,” jawab perempuan itu dengan nada suara langsung berubah drastis.

Tangisannya pun langsung pecah.

“Waduh! Kok bisa seperti itu, sih?!”

Perempuan itu tidak menjawab. Dia masih saja terisak seperti menyesali nasib buruk yang sering menimpanya, terutama berkaitan dengan pria.

Mereka berdua sama-sama terdiam.

Si perempuan masih terus terisak-isak.

Sementara Rino sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia tampak bingung mau melakukan apa. Dia tidak bisa lagi seperti dulu, leluasa menghibur dan memenangkan perempuan itu.

Perempuan itu menghapus air matanya yang tersisa dengan tisu. Setelah hening cukup lama, dia akhirnya membuka kembali percakapan. “Rino. Setelah semua yang kita lalui, akhirnya aku menyadari satu hal. Ternyata aku telah banyak melakukan kesalahan. Aku terus berusaha mencari hal-hal yang berharga di luar sana. Padahal hal-hal berharga itu sudah dianugerahkan di dekatku. Hanya saja aku sering tidak menghargainya. Ternyata kamu....”

Perempuan itu berhenti mendadak karena tiba-tiba suara perempuan lain menginterupsi.

“Hai, Sayang!” kata perempuan lain itu. Ternyata suara itu milik Rahayu yang baru saja datang.

Rino menoleh dan langsung tersenyum lebar. “Eh, Sayang. Kamu sudah sampai. Tidak susah mencari tempat ini? Undangannya kamu bawa?”

“Tidak susah, kok. Aku sudah beberapa kali ke sini. Ini undangannya juga aku bawa,” jawab Rahayu sambil memperlihatkan undangan yang dipegangnya.

“Siapa, No? Kok memanggilnya sudah mesra begitu?” Perempuan itu tampak heran dan terkejut.

“Oh, ya. Ini tunanganku. Kami mau memberikan undangan untukmu. Kami akan menikah bulan depan.”

“Hah?!!! Kok aku baru tahu?!!! Kenapa kamu tidak pernah cerita??!!!”

“Lha?! Aku pernah beberapa kali mengajakmu bertemu, ingin memperkenalkan dia sekaligus menceritakan rencana kami. Tapi kamu menolak terus, he he he,” kata Rino sambil memamerkan gigi putih dan rapinya.

Perempuan itu membelalakkan mata.

"Semenjak kamu dekat dengan Ronald, pesanku hanya sekali kamu balas. Itu pun hanya memberi tahu kalau pacarmu agak cemburuan. Aku jadi tidak enak dan tidak berani lagi menghubungimu,” lanjut Rino sambil memasang tampang polos dan lugu seolah memang tidak membuat kesalahan.

Perempuan itu menarik napas dalam. Suaranya tercekat di tenggorokan. Dia tidak menyangkal semua itu, karena dia memang pernah meminta Rino untuk mengurangi interaksi mereka untuk menjaga perasaan Ronald.

“Oh ya. Ini Sintia. Teman terbaikku sedari kecil yang pernah kuceritakan ke kamu,” kata Rino mengenalkan perempuan itu kepada Rahayu.

“Kamu tidak bohong, Sayang. Ternyata dia memang cantik,” timpal Rahayu sambil menatap Sintia dengan senyum indah.

“Lha iyalah. Orang ganteng selalu dikelilingi perempuan-perempuan cantik. He he he,” timpal Rino sambil terkekeh.

“Ish! Keluar narsisnya.” Rahayu sedikit merengut tapi tampaknya hanya dibuat-buat.

Dia lalu mengulurkan tangannya ke arah Sintia, mengubah ekspresi merengutnya tadi dengan senyuman yang indah.

“Kenalkan. Aku Rahayu,” katanya lembut ke arah Sintia.

Sintia tidak langsung menyambut uluran itu. Ekspresinya langsung kembali terlihat judes. Matanya menatap Rahayu dengan tajam. Setelah terdiam beberapa saat tanpa berkedip, tiba-tiba dia berdiri dari kursi dan berlari meninggalkan Rino dan Rahayu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

-- TAMAT --

Komentar

  1. Wah bagus ceritanya, endingnya yang tidak terduga, mantap pak πŸ˜‚πŸ‘πŸ‘ Semoga selalu bisa membuat karya-karya bagus yang lainnya.

    BalasHapus
  2. Cerita yang menarik πŸ‘
    mantappp endingnya penyesalan selalu datang belakangan 😁

    BalasHapus
  3. Oh, kasian SintiaπŸ˜₯
    Setimpal sih.

    BalasHapus
  4. Oh, kasian SintiaπŸ˜₯
    Setimpal sih.

    BalasHapus
  5. Menginspirasi sekali pak, banyak pelajaran di balik cerita ini. Makasii pakπŸ™πŸ‘

    BalasHapus
  6. Wow ceritanya menarik, saya dulu ya suka buat cerpen sampai punya beberapa halaman tetapi sekarang keteteran ,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lanjutkan lagi saja. Menulis itu banyak manfaatnya kok, meningkatkan keterampilan berpikir, meningkatkan kreativitas, menata pikiran agar lebih runtut, bahkan bisa menjadi profesi yang menghasilkan uang.

      Hapus
  7. Bagus pak bisa dijadikan pelajaran bagar tidak mudah percaya dengan orang yang terlihat begitu baik pak hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, sekarang harus kritis, karena banyak penipuan, he he...

      Hapus

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.