Langsung ke konten utama

MANTANKU MEDIATORKU

Oleh: Feri Noperman

Hari masih pagi, tapi langit sudah terlihat mendung, sama persis seperti hatiku. Aku bergegas masuk ke mobil untuk pergi ke gedung pengadilan agama. Hari ini jadwal mediasi pertama setelah aku mengajukan gugatan cerai kepada suamiku beberapa minggu yang lalu.

Saat masuk ke ruang mediasi, aku dibuat kaget luar biasa. Jantungku langsung berdegup kencang dan tidak beraturan. 

Wajah mediator yang sedang duduk tenang di ujung meja sana tidak mungkin tidak kukenali. Namanya pun masih terpatri sangat kuat di dalam ingatanku. Jujur kuakui, dia adalah pria paling mengesankan di sepanjang hidupku. Dia adalah pria terbaik yang pernah kukenal.

Dia menatapku dengan tenang.

“Silakan duduk,” katanya ramah sambil tersenyum.

Tidak terlihat ekspresi kekagetan di wajahnya. Sepertinya dia menganggap pertemuan denganku hanyalah hal yang biasa.

Aku pun bertanya-tanya dalam hati. Apakah dia sudah mampu mengubur semua kenangan indah kami sepuluh tahun yang lalu? Tanpa bisa kukendalikan, memoriku pun langsung dipenuhi dengan kenangan indah kami berdua waktu itu.

Nama mediator itu Purnomo. Aku memanggilnya Mas Pur. Dia sangat baik dan sopan. Kami sempat menjalin hubungan serius selama beberapa tahun ketika masih kuliah dulu. Saat itu aku bisa merasakan kalau dia sangat mencintaiku. Dia penuh perhatian. Dia pun selalu berusaha memenuhi semua keinginanku.

Karena kesalahanku, dia pun meninggalkanku. Atau lebih tepatnya akulah yang memaksanya untuk meninggalkanku. Hubungan kami berakhir tragis karena ketidaksabaranku. Aku tidak siap berjuang dari nol dan menderita bersamanya.

Setelah lulus kuliah, dia kesulitan mendapatkan pekerjaan. Tapi dia tetap menyampaikan itikad baiknya. Dia melamarku.

Kalau aku menerima lamarannya pada waktu itu, kuperkirakan kehidupan rumah tangga kami akan sangat memprihatinkan. Dia sangat mencintaiku. Sikapnya pun sangat baik. Tapi menjalani hidup tidak cukup dengan cinta dan sikap baik saja. Dia harus mampu menjamin kesejahteraanku. Saat itu aku merasa dia belum mampu melakukan itu.

Tidak sepantasnya perempuan secantik aku harus menderita gara-gara salah dalam memilih pasangan. Sementara pilihan yang lebih baik masih tersedia di luar sana. Aku pun menolak lamarannya. Beberapa bulan kemudian aku malah menerima lamaran pria lain yang jauh lebih dewasa dan mapan dari segi ekonomi.

Tapi semua tidak selalu sesuai rencana. Pernikahanku kemudian berubah menjadi neraka. Keharmonisan kami hanya bertahan setahun saja. Setelah itu keributan kecil maupun besar mulai mewarnai hari-hariku. Hanya karena aku tidak siap untuk hidup mandiri yang mencegahku berpisah lebih cepat dengannya. Aku tetap bertahan walau harus menderita secara batin.

Pada akhirnya aku menyadari kalau waktu sepuluh tahun yang kujalani bersamanya terlalu lama untuk menenggelamkan diri dalam neraka dunia. Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku harus mengakhiri penderitaanku. Perceraian merupakan keputusan yang paling tepat yang harus kuambil.

Pilihanku untuk bercerai itulah yang mempertemukanku kembali dengan Mas Pur di ruang mediasi ini. Dia duduk dengan tegap dan berwibawa di ujung meja sana. Aku memilih duduk di sebelah kirinya. Sementara suamiku sudah duduk terlebih dahulu di sebelah kanannya tepat di hadapanku.

Pertemuan pertama mediasi belum begitu menegangkan. Mediatorku yang juga mantanku itu masih menanyakan hal-hal yang bersifat administratif. Dia hanya mengklarifikasi apa yang ada di dalam surat gugatanku. Tapi tetap saja aku tegang sepanjang pertemuan. Aku salah tingkah. Jantungku berdegup tidak beraturan. Sementara suamiku bersikap biasa saja karena dia tidak tahu seperti apa hubunganku dengan mediator itu.

Di dalam ruangan mediasi ini, dua jam serasa dua abad. Aku bernapas lega ketika sesi berakhir. Aku keluar dari ruang mediasi paling belakang.

Mas Pur terlihat sangat profesional. Dia tidak merasa kikuk bertemu lagi denganku. Dia bersikap biasa saja saat menghadapiku. Dia pun tetap ramah seperti dulu. Di depan ruang mediasi, dia sempat menanyakan keadaanku saat ini sambil mengukir senyum indahnya.

“Abi!!!” Tiba-tiba terdengar teriakan anak perempuan kecil yang berlarian mendekat ke arah Mas Pur.

Mas Pur memutar lehernya.

“Eh, Della! Kamu, kok, datang ke sini? Sama Umi, ya? Mana Umi?” Mas Pur langsung jongkok dan memeluk erat anak kecil itu.

Rupanya anak perempuan berseragam TK itu bernama Della. Dari panggilannya, dapat dipastikan kalau dia adalah anak Mas Pur.

“Kita, kan, mau menjemput Abi. Kan, tadi Abi enggak bawa mobil,” jawab Della berbicara dengan ekspresi dan tingkah yang lucu.

“Oh, iya. Terima kasih, ya, Sayang. Bagaimana lombanya tadi?” Mas Pur mengucek-ucek rambut anak gadisnya dengan penuh kasih sayang.

“Seru, Bi! Kami tadi melakukan espermen,” kata Della bercerita penuh semangat.

“Bukan espermen, tapi eksperimen.” Mas Pur meluruskan ucapan anaknya dengan suara lembut.

“Iya. Itu, he he he.” Della terlihat senyum malu-malu.

Beberapa saat kemudian seorang perempuan berpakaian gamis dan berhijab mendekati Mas Pur dan anaknya. Mas Pur langsung berdiri sambil menggendong gadis mungilnya. Perempuan itu menyalami Mas Pur sambil mencium tangannya. Setelah itu, Mas Pur yang mengecup kening perempuan itu.

Hatiku tiba-tiba memanas. Darahku langsung bergejolak. Aku tidak tahan melihat adegan itu. Aku memalingkan muka. Tanpa pamit aku melangkah menjauh.

Namun, rasa penasaran yang luar biasa mendorongku untuk kembali menatap ke arah pasangan romantis itu. Terlihat mereka bertiga sudah melangkah menuju pintu keluar. Anak kecil itu bergelayutan manja di tengah. Kedua tangannya dipegang dengan erat oleh Abi dan Umi yang ada di kiri dan kanannya. Hatiku makin panas. Mungkin ini yang disebut cemburu buta.

Entah kenapa, makin lama kutatap mereka bertiga, perasaanku tiba-tiba berubah. Aku pun ikut merasa bahagia melihat adegan itu. Mereka memang pantas mendapatkan kebahagiaan itu. Sementara aku?

*

Di pertemuan kedua aku masih tidak mampu berkata-kata di depan Mas Pur. Ketika kami berpacaran dulu, aku sering mengkhianatinya, baik yang diketahuinya maupun yang tidak. Aku sering jalan dengan laki-laki lain. Aku menerima begitu saja laki-laki yang main ke kamar kontrakkanku. Belakangan dia tahu semua tindak tandukku itu. Saking baiknya, tetap saja dia memaafkanku. Hubungan kami pun terus berlanjut.

Bagaimanapun, mengingat kelakuanku dulu, rasanya kini dia tidak akan mempercayai begitu saja setiap omonganku. Aku pun memilih diam.

Sementara itu, suamiku yang biasanya pendiam berubah menjadi banyak berbicara. Dia menceritakan semua yang terjadi selama ini secara detail. Dia mengakui semua kesalahannya. Dia mengakui kalau sering marah luar biasa kepadaku. Dia pun mengakui pernah melakukan kekerasan fisik, salah satunya menampar pipiku. Perlakuannya itulah yang kemudian menjadi alasanku mengajukan gugatan cerai.

Tapi dia juga berdalih dan membela diri. Dia sering naik pitam karena tuntutanku yang berlebihan, terlalu mengada-ada, dan tidak pernah ada habisnya. Dia mengaku selalu berupaya memenuhi semua itu. Katanya, aku malah sering tidak menghargai dan tidak pernah puas. Katanya, aku tidak pandai bersyukur.

Mas Pur balik menatapku, ingin mengklarifikasi kebenaran semua pernyataan dari suamiku.

Aku balik menatapnya sebentar. Tapi aku kalah. Aku tidak mampu menatapnya. Dia terlalu berwibawa. Entah kenapa, tatapannya itu meluluhkan semua egoku. Aku tak mampu bersuara. Entah siapa yang mengendalikan kepalaku, tiba-tiba aku mengangguk sebagai bentuk pembenaran atas semua yang diucapkan suamiku itu.

“Ada yang ingin kamu sampaikan? Kalau kamu mau membela diri juga boleh. Nanti kita upayakan titik temunya,” tanya Mas Pur memberi kesempatan padaku.

Aku terpaku. Lagi-lagi kepalaku seperti tak mampu kukendalikan. Aku menggeleng.

*

Dua minggu kemudian aku kembali datang untuk menghadiri mediasi yang ketiga. Suamiku pun juga tidak pernah absen. Bahkan seperti biasa, dia datang lebih dulu.

Mas Pur menanyakan perkembangan komunikasi kami berdua. Suamiku mengerutkan keningnya, tanda pasrah dan menyerah. Aku tidak bersuara, tapi tetap bertekad bulat dengan keputusanku. Ketika Mas Pur menanyakan apakah aku akan melanjutkan gugatanku, aku mengangguk.

Setelah dua pertemuan sebelumnya lebih banyak mendengarkan, kali ini Mas Pur mulai aktif berbicara.

“Maaf, ya, kalau apa yang akan saya sampaikan nanti terkesan menggurui. Sebenarnya bukan itu maksud saya,” katanya mengawali dengan sangat sopan.

Dia pun mulai menyampaikan sesuatu. Dia berbicara jauh lebih banyak daripada pertemuan sebelumnya.

Aku mengangguk tanpa berani menatapnya.

Suamiku pun terlihat mengangguk-anggukkan kepala sambil menyimak dengan khidmat.

Mas Pur terus melanjutkan. “Ketidaknyamanan dalam suatu hubungan salah satunya disebabkan oleh ketidakpuasan. Ketidakpuasan itu sendiri sering kali disebabkan oleh terlalu banyaknya keinginan. Makin banyak keinginan, makin sulit pula untuk mewujudkannya. Makin banyak keinginan yang tidak terwujud, makin seringlah kita mengalami ketidakpuasan.”

Sepertinya dia sedang menyindirku. Tapi entah kenapa aku menerima saja sindirannya itu. Aku benar-benar tidak kuasa untuk membantah omongannya. Aku terpaku.

“Saya ada sedikit nasehat yang mungkin bisa memperbaiki hubungan kalian berdua. Coba kalian sedikit mengubah sikap, dari banyak menuntut menjadi banyak memberi. Coba kurangi keinginan untuk mendapatkan semua yang diinginkan dengan cara menuntut pasangan untuk memenuhinya. Coba ganti dengan lebih banyak memberi kepada pasangan, termasuk memberi perhatian. Sementara itu, pihak yang diberi, coba banyak-banyaklah bersyukur dan berterima kasih atas semua bentuk pemberian itu, termasuk pemberian yang kecil dan sederhana sekal pun. Mudah-mudahan itu bisa menjadi perekat hubungan,” kata Mas Pur memberi wejangan kepada kami.

Dia terdengar sangat berwibawa. Mungkin berbagai tantangan dan kesulitan yang dihadapinya dalam hidup telah membuatnya menjadi bijaksana.

Suamiku tidak terlihat menolak atau membantah sama sekali. Dia mengangguk angguk tanda mengiyakan. Dia menatapku seolah-olah akulah yang harus banyak mendengarkan wejangan itu.

Aku sebenarnya ingin membantah dan membela diri. Tapi karena Mas Pur hadir di situ, aku hanya bisa bungkam.

“Oh ya. Itu sebenarnya bukan sekedar nasehat, tapi apa yang saya dan istri praktikkan dalam pernikahan kami selama sepuluh tahun ini. Alhamdulillah, itu bisa menjaga pernikahan kami tetap langgeng sampai saat ini. Kami juga sering bertengkar seperti banyak pasangan lainnya. Tapi itu hanya sebentar. Alhamdulillah, kami bisa mengatasinya karena kami saling mengingatkan untuk saling bersyukur atas apa yang saling kami berikan. Kami juga terus berlatih untuk tidak saling menuntut lebih dari pasangan. Ternyata itu benar-benar manjur,” tambah Mas Pur tampak sedikit malu-malu ketika menyampaikan itu.

*

Seminggu kemudian aku mengambil keputusan yang sangat penting dalam hidupku. Kuurungkan niatku menggugat suamiku. Surat gugatan perceraian yang kuajukan ke pengadilan kutarik kembali.

Petugas pengadilan menyalamiku, mengukir senyum, lalu mengucapkan selamat. Dia memberitahuku kalau apa yang kulakukan jarang terjadi. Biasanya gugatan cerai selalu berakhir dengan perceraian di sidang pengadilan.

Saat aku keluar dari gedung pengadilan, terlihat suamiku sedang berdiri di dekat pintu mobil di lapangan parkir. Beberapa menit yang lalu aku telah memberitahunya akan mencabut surat gugatan cerai. Dia juga memberitahuku akan menjemputku di gedung pengadilan. Rupanya dia tahu kalau tadi aku datang ke sini naik taksi online.

Aku menatapnya dari kejauhan. Dia tersenyum ke arahku.

Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Senyumnya itu begitu indah. Kalau diperhatikan dengan seksama, dia jauh lebih ganteng dibandingkan dengan Mas Pur. Pekerjaannya pun tidak kalah mentereng dibandingkan dengan pekerjaan mantanku itu.

Di awal-awal pernikahan, suamiku itu penuh perhatian. Itulah alasan kenapa aku memilihnya untuk menjadi pendampingku. Dia mampu memenuhi semua kebutuhan dan keinginanku. Tapi entah kenapa makin lama dia berubah menjadi temperamental dan pemarah. Mungkin Mas Pur benar. Kesalahan bukan pada suamiku. Tapi ada pada diriku. Aku kurang pandai bersyukur. Aku tidak mampu mengendalikan keinginan sehingga selalu merasa kurang.

Aku hampir saja melakukan kesalahan besar. Aku hampir saja melepaskan berlian terindah dan paling berharga itu dari genggamanku. Berlian itu kembali tersenyum ke arahku yang kemudian menumbuhkan tekad baru. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesabarannya. Sudah waktunya aku memperbaiki diri untuk menjaga semua anugerah ini.

TAMAT

Baca juga:

Sesal

Komentar

  1. Jadi terharu saya membaca nya. Pelajaran buat saya, syukuri lah pa yang kita punya karena dengan kita bersyukur akan membuat hidup kita lebih bermakna. 👍

    BalasHapus
  2. MasyaAllah sangat mengesankan bahasanya mudah dicerna dan sangat menginspirasi ceritanya.

    BalasHapus
  3. MasyaAllah luar biasa....ada kata2 yg membuat hati ini malu....sebagai istri atau manusia yg kurang bersyukur....

    BalasHapus
  4. Subhanallah.inspiratif sekali ini bapak.terima kasih sudah menulis cerpen dengna begitu banyak motivasi hidup

    BalasHapus
  5. Inspiratif banget. .

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.