Langsung ke konten utama

Antara Aku, Kamu, dan Guillain Barre Sindrome itu

Oleh: Ilva

"Aku tak sanggup lagi mendampingimu. Biarkan aku pulang, merawat anak-anak kita di rumah. Nanti, biar Mamak menggantikan aku di sini."

Tiga kalimat keluar dari lisanku serupa mantra. Membuat air matamu dengan cepat menganak sungai, lalu mengalir membasahi rambutmu yang beberapa hari belum sempat kurapikan.

"Kenapa?" tanyamu pelan, di sela isak tangis yang akhir-akhir ini tidak kusukai.

"Aku sudah lelah. Sudah berapa lama kamu sakit? Hitunglah! Pegawai rumah sakit sampai hafal warna-warna peci yang kupakai bergantian setiap hari."

Kamu terdiam. Wajah cantik yang dulu selalu kupuja, kini pucat bagai warna dinding rumah ketika senja. Kedua tangan dan kakimu juga diam, bahkan sejak empat bulan yang lalu. Tepatnya, sepekan sebelum dokter mengatakan kamu terserang Guillain Barre Sindrome (GBS).

Guillain Barre Sindrome itu membuatmu lumpuh tiba-tiba. Membuat seorang buruh tani sepertiku, pontang-panting mencari uang untuk menutupi biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Sakitmu ini, bukan saja membuatku tak bisa ke sawah lagi, tapi juga menumpuk utang pada setiap orang kaya di kampung kita.

"Ibu Arum, permisi, dokter akan memeriksa," ucap seorang perawat tiba-tiba.

Aku segera berdiri, menggeser kursi yang tadi kududuki. Perawat yang kukenal bernama Meli mendekati ranjang tidurmu, dengan bulpen dan sebuah buku. Dokter Herman tampak sibuk memeriksa bagian kaki dan tangan, menekuk dan meluruskannya bergantian.

Tiga menit kemudian, hanya kita berdua yang berada dalam kamar. Dokter dan perawat tadi sudah pergi, setelah meninggalkan resep obat tambahan untukmu. Juga, meninggalkan pesan untuk sering melatih gerakan tangan dan kakimu.

"Mas, aku barusan buang air besar," katamu.

Dengan enggan, kubantu membersihkan dirimu. Meskipun, kali ini kulakukan agak sedikit kasar. Namun, tak ada kesedihan tergurat pada wajahmu, malah kulihat senyuman di bibirmu.

"Aku akan pulang nanti. Biar Mamak menggantikan aku di sini. Satu pekan ke depan, jangan cari aku," ucapku, sambil mengganti bajumu yang barusan tak sengaja terkena kotoran.

Kamu mengangguk. Hanya itu yang bisa kamu lakukan selain menggelengkan kepala, bicara, minum, dan bernapas. Karena, kamu tak pernah makan lewat mulutmu lagi, tetapi lewat Nasogastric Tube yang dimasukkan ke dalam hidungmu.

Kubenahi bajumu, dari atas hingga ke bawah, memastikan kamu nyaman dan terlihat rapi. Baju rumah sakit warna biru bermotif kotak kecil-kecil itu membuat badanmu terlihat lebih kurus.

***

Sore ini, ketika aku selesai menjemput Mamak. Kondisimu lebih buruk daripada sebelumnya. Dokter bilang, karena ada cairan menumpuk dalam paru-parumu. Sehingga membuatmu kesulitan bernapas. Sekarang, kamu harus memakai masker oksigen yang menutupi mulut sampai hidung.

Waktu beranjak malam, kini tak hanya kita berdua dalam kamar, tetapi ada Mamak yang sekarang sedang tidur di sofa. Mungkin Mamak kelelahan, biarkan saja. Sedangkan aku, duduk di sebelah ranjang tidurmu yang spreinya berwarna abu, sambil menghitung tetesan air infus, satu satu.

Kutangkap gerakan dari mulutmu. Memberi sebuah isyarat kepadaku.

"Mas Firman, enggak jadi pulang?" tanyamu, setelah masker oksigen kulepaskan.

"Mungkin besok. Kata Mamak tadi, anak-anak dititipkan di rumah Bulik Rumi. Besok pagi sekalian kujemput mereka."

"Maaf, ya, Mas. Aku merepotkanmu."

Ah, kenapa kamu selalu begitu. Meminta maaf untuk hal-hal yang jelas bukan salahmu. Memang benar, kamu tak bisa lagi melakukan banyak hal karena lumpuh. Tapi, siapa yang ingin menjadi lumpuh? Pasti tidak ada orang yang menginginkannya, termasuk kamu.

"Tak apa, jangan kamu pikirkan," ucapku sambil mengelus lengan kirimu. Kulihat punggung tanganmu menghitam dan sedikit bengkak. Entah sudah berapa kali jarum infus menancap bergantian di situ.

Napasmu mulai tersengal, segera kupasang masker oksigen berwarna biru itu. Beberapa saat kemudian, napasmu kembali tenang. Matamu mulai memejam. Mungkin efek samping dari obat yang kamu minum, membuatmu tak kuat menahan kantuk.

Aku menyandarkan kepalaku di tepi ranjang. Berharap bisa segera tidur juga. Lalu, bermimpi tentang kesembuhanmu. Dokter bilang, penyakitmu ini sulit disembuhkan. Penyakit langka yang jarang ada. Hanya orang-orang spesial, yang dipilih untuk menanggungnya.

***

Azan subuh berkumandang. Aku pergi ke masjid di dalam kompleks rumah sakit. Sedangkan Mamak, salat subuh di kamar, menemanimu.

Sepulang dari masjid, kulakukan kegiatan seperti biasanya. Mengelap seluruh badanmu dengan air hangat, lalu mengganti bajumu. Setelah itu, membantumu bersikat gigi dan berkumur.

Pukul 07.00 aku membantumu makan bubur, memasukkan setengah gelas bubur ke dalam selang yang terpasang di hidungmu. Sejak pertama kali kamu masuk rumah sakit, hanya bubur seperti itu yang menjadi makananmu.

"Aku jadi pulang. Mungkin satu pekan nanti enggak ke sini."

"Kenapa lama?" Matamu menatapku tak berkedip. Mata yang dulu membuatku jatuh cinta. Sepasang mata cantik, dengan bulunya yang lentik.

"Aku lelah dan bosan di sini, hingga rasanya hampir gila."

Ah, keluar lagi kata-kata mantra dari lisanku. Kupastikan setelah ini matamu berkaca-kaca. Menahan air mata yang mati-matian kamu jaga agar tidak berjatuhan.

Benar saja, sepasang linang sudah luruh dari matamu, melewati pipi, lalu membasahi anak-anak rambut di dekat telinga.

"Mas, bisa tolong terapi tangan dan kakiku sebentar," ucapmu kemudian.

"Nanti saja sama Mamak. Aku tak sabar ingin pulang, bertemu anak-anak," ucapku, tanpa pernah kutahu bahwa mungkin saja keinginanmu bertemu anak-anak jauh lebih besar ketimbang aku.

Kamu mengangguk, lalu tersenyum, selalu begitu. Kamu seorang wanita yang tabahnya selalu utuh, hampir tak pernah mengeluh. Karena itu pula, kita telah berhasil menjalani tiga tahun pernikahan tanpa gaduh.

Memberikan terapi dengan menggerak-gerakkan badan, kaki dan tanganmu sudah lama tak kulakukan, padahal kamu selalu meminta, tapi tak pernah kuberikan. Mungkin, aku sudah benar benar bosan. Jadi, biarkan aku pulang. Mungkin setelah kembali ke sini nanti, aku bisa bersemangat lagi.

Semoga, sepekan lagi kamu akan diizinkan pulang. Biasanya begitu, bukan? Paling lama, kamu menginap di rumah sakit hanya dua pekan saja. Tapi, tidak sampai sepekan di rumah, kita akan kembali lagi. Kamu dan rumah sakit itu serupa sepasang kekasih, tak bisa berpisah dalam waktu yang lama. Mungkin sebenarnya juga serupa kita, jika saja aku tidak merasa hampir gila.

***

Sudah dua hari aku di rumah. Bersama dua balita kita. Aku bahagia. Mengajak mereka mandi di sungai pada siang hari. Lalu, sorenya bermain pasir di tepi pantai. Aku tak pernah menanyakan bagaimana kabarmu di sana. Aku merasa merdeka, tidak lagi direpotkan dengan membersihkanmu setiap pagi dan sore, atau membantumu makan tiga kali sehari lewat sonde.

Ada Mamak yang menemanimu di sana, pasti kamu baik-baik saja. Mamak pasti lebih telaten merawat anak perempuannya sendiri.

Tiba-tiba ponselku berdering. Kutekan tombol “terima”, lalu menempelkan ponsel di telinga.

"Bapak Firman, kami dari rumah sakit, memberitahukan bahwa Bu Arum baru saja meninggal dunia."
Lidahku kelu. Benarkah kamu pergi secepat itu? Aku berharap panggilan itu hanya telepon iseng dari seorang penipu. Segera saja ponsel kumasukkan ke saku baju. Anak-anak kutitipkan ke rumah tetangga. Kemudian, aku gegas ke rumah sakit mengendarai sepeda motor Shogun tua.

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju kamarmu. Badanmu masih hangat, masih ada sisa-sisa keringat. Akan tetapi, kamu tidak lagi bernapas. “Maaf, aku tak mendampingimu tadi ketika ajal menjemput,“ gumamku. Kucium kening dan pipimu bergantian. Lalu, kulantunkan doa-doa memohon ampunan.

Kulihat Mamak masih tergugu. Menangisi kepergianmu.

Aku tergesa menuju kantor perawat, kebetulan di sana ada dokter yang biasanya merawatmu. Sebuah tanya menggangguku, bukankah kemarin lusa kamu baik-baik saja? Yah, meski dengan masker oksigen menutup hidung dan mulutmu.

"Dokter, bagaimana kejadiannya sampai istri saya seperti ini?" tanyaku kepada dokter Herman.

"Bu Arum mengalami gagal napas. Hal ini disebabkan cairan yang menumpuk dalam paru-parunya. Bapak tahu kenapa bisa ada tumpukan cairan dalam paru-parunya?"

Aku menggeleng. Kubuka mulutku hendak bertanya, tetapi dokter di depanku itu sudah menjawabnya lebih dulu.

"Hal itu terjadi karena Bu Arum tidak banyak bergerak beberapa lama. Sehingga cairan itu sampai menumpuk."

Aku merasa seolah-olah terjun dari tebing paling tinggi, lalu jatuh mengenai tumpukan batu karang di bawahnya. Hancur. Mengetahui kenyataan bahwa akulah yang menyebabkan kamu gagal napas pagi tadi.

Berkelebat kejadian beberapa pekan terakhir dalam kepalaku. Ketika aku tidak lagi membantu menggerakkan kaki, tangan, dan badanmu. Sehingga kamu hanya berbaring terus menerus berminggu-minggu. Padahal sebelumnya aku paling bersemangat melakukan hal itu.

Jadi, bagaimana kelak aku akan mengisahkanmu kepada anak-anak kita?

Penulis: Ilva

akun facebook penulis: https://web.facebook.com/ilva.zumaroh

____________

Guillani Barre Sindrome (GBS) : penyakit auto imun yang menyerang syaraf tulang belakang

Nasogastric Tube (NGT) : selang yang dimasukkan lewat hidung sampai lambung, untuk membantu memasukkan makanan, disebut juga sebagai Sonde.

Baca juga: 

Taman nan Indah

Di Tepian Asa

Akhir Sebuah Kebimbangan

Perempuan Kamis

Tak Sengaja Selingkuh

Belajar Ikhlas

Godaan

Komentar

  1. Keren Maa sya Allah, larut saya dalam ceritanya 💚

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tampilan Blognya juga keren kan? Hehe.. maksa..

      Hapus
  2. khadijahbarabai@gmail.com10 Februari 2021 pukul 02.29

    Closingnya mantap

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulisan Mbak Ilva memang semakin keren Buk...
      Hayuuk Buk ikut meramaikan Blog ini.. hehe

      Hapus

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.