Langsung ke konten utama

Novel S.I.P (sekuel novel M.I.T)

SINOPSIS

Adipura sudah memutuskan untuk menjadi penulis novel profesional. Alasannya sederhana, hanya keterampilan itu yang benar-benar dikuasainya serta sesuai dengan pendidikannya yang terakhir. Setelah menikah, dia harus mencari nafkah bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kabar baiknya, penghasilan sebagai penulis novel lumayan menjanjikan, cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya. Dengan catatan, mereka harus hidup dalam kesederhanaan. 

Namun keanehan yang dimilikinya membuatnya harus meninggalkan profesi menulis. Keanehan itu juga membuatnya harus kembali berpetualang. Bukan hanya untuk menyelamatkan rumah tangganya, melainkan juga untuk menyelamatkan dunia!!!

BAB 1

BUKAN LAKI-LAKI BIASA?

“Kapan sebenarnya Abang menulis novel ini?” suara istriku tiba-tiba terdengar dari samping kananku.

Aku pun langsung menoleh ke sumber suara. Rupanya dia sudah berdiri di sampingku sambil menatap tajam ke arahku. Tangannya terjulur, menyodorkan novel yang barusan disebutnya. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mengenali novel itu. Judulnya M.I.T, novel perdanaku yang kutulis secara tidak terencana dan tidak disengaja beberapa tahun lalu. Kenapa novel itu kemudian menjadi best seller, aku pun tak tahu, dan tak pernah tahu.

Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya, melainkan kembali menatap ke televisi layar datar yang tertempel di dinding ruang keluarga tepat di hadapanku. Salah satu stasiun TV swasta sedang menayangkan film laga lawas yang diperankan oleh aktor kesukaanku, Sylvester Stallone. Adegan laga yang sedang berlangsung sangat seru sehingga sayang untuk dilewatkan. Aku masih penasaran dengan akhir pertarungan antara tokoh protagonis yang diperankan Stallone dan tokoh antagonisnya yang aku tidak tahu nama aslinya siapa.

“Geser!” kata istriku dengan nada tinggi sambil menepuk pundakku.

Aku pun terlonjak kaget. Tanpa menoleh ke arahnya, kugeser pantatku hingga mentok ke tepi kiri sofa. Dari suara berderit dan gelombang naik turun yang terasa pada permukaan sofa, aku tahu kalau dia sudah duduk di sebelah kananku.

“Kapan sebenarnya Abang menulis novel M.I.T ini?!” teriaknya mengulang pertanyaan tadi.

“Hah?! Apa?!” tanyaku gelagapan sambil menoleh ke arahnya sebentar, lalu kembali menatap ke layar televisi.

“Kapan sebenarnya Abang menulis novel ini?!” tanyanya untuk ketiga kalinya dengan nada suara semakin meninggi.

Adegan laga di film pun berakhir. Sama seperti film-film lainnya, jagoan pada film itu berhasil mengalahkan semua penjahatnya termasuk bos besarnya. Film itu berakhir bahagia bagi orang-orang baik dengan kemenangan berada di pihak mereka. Dengan begitu, aku pun bisa fokus menanggapi pertanyaan istriku.

Kumiringkan badanku menghadap ke arahnya seraya menatap tajam matanya lalu berucap, “untuk apa kamu menanyakan itu?”

“Eitss! Jawab dulu pertanyaan Tari!” timpalnya masih dengan nada suara tinggi. Raut mukanya mulai memerah pertanda kalau dia mulai kesal karena dari tadi kuabaikan.

Aku pun tersadar. Haram hukumnya mengabaikannya begitu saja. Lebih haram lagi kalau menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan pula. Dia kembali menunjukkan kebiasaannya yang sering membuatku kesal. Kemauannya harus dituruti terlebih dahulu, barulah dia bersedia menuruti kemauan orang lain. Pertanyaannya harus dijawab dulu, barulah dia akan menjawab pertanyaan yang kuajukan. Sifatnya itu sebenarnya sudah kuketahui sejak lama karena kami sudah berteman sejak lahir. Bedanya, dulu aku menyukai semua hal tentang dirinya. Tapi entah kenapa sejak kami menikah, aku mulai merasa terintimidasi dengan sifatnya yang ingin menang sendiri itu. Aku sangat tertekan. Tidak ada cara lain dalam menghadapinya selain menjawab pertanyaannya.

“Rasanya itu sudah pernah kuceritakan sebelumnya. Novel itu ditulis ketika aku sedang kuliah sastra di Surabaya, sebelum berangkat ke Amerika. Itu di halaman depannya ada tahun penerbitannya. Kenapa kamu repot-repot menanyakan itu?” kataku menjawab pertanyaannya dengan nada bicara yang mulai kesal.

“Kenapa isinya mirip dengan perjalanan hidup Abang yang sesungguhnya di dunia nyata seperti yang Abang ceritakan di meja makan tadi?” tanyanya dengan tatapan penuh selidik. Ketidaksabaran untuk segera tahu penjelasannya terpancar sangat jelas di wajahnya.

“Lha! Mana kutahu!” jawabku agak judes, makin kesal dengan pertanyaannya yang tidak penting itu. Apalagi dia mengajukannya sambil marah-marah pula.

Walaupun agak cuek, sebenarnya otakku langsung menanggapi pertanyaannya itu. Memoriku langsung menerawang ke momen ketika aku sedang mencari judul yang tepat untuk novel yang sekarang ada di tangannya. Novel itu sangat istimewa sehingga kuberi judul M.I.T, yang merupakan singkatan dari namanya, Mentari Indah Temaram. M.I.T juga singkatan tempat dia menempuh pendidikan magisternya, yaitu Massachusetts Institute of Technology yang berada di Amerika Serikat sana. Sayangnya, pendidikan doktoralnya yang juga ditempuh di sana tidak selesai gara-gara insiden dengan Anti Modern, sebuah organisasi teroris global yang sangat berbahaya. Hingga kini istriku masih trauma dengan organisasi itu.

“Hayo ceritakan! Kenapa ceritanya bisa mirip seperti itu?!” teriak istriku lagi, langsung membuyarkan lamunanku.

“Memangnya isi novel perdanaku itu mirip dengan petualanganku yang sesungguhnya ke Amerika, ya?” tanyaku polos. Mulai penasaran dengan keganjilan itu.

Dia balik menatapku dengan tatapan kesal tingkat dewa. Tiba-tiba aku melihat ubun-ubunnya mulai mengeluarkan api. Dua tanduk merah mencuat dari atas jidatnya. “Hadoohh..!!! Abang ini bagaimana, sih?! Kok enggak sadar dengan kemiripan antara tulisan dengan perjalanan hidup sendiri. Jangan-jangan bukan Abang yang menulis novel itu?” teriaknya penuh emosi.

“Maaf, Sayang. Aku dulu menulis, ya, menulis saja. Setelah tulisannya jadi, aku tidak pernah memikirkannya lagi. Bahkan setelah tulisan itu menjadi novel best seller pun, aku tidak pernah membacanya lagi. He he he!” Kupamerkan gigi-gigiku, mencoba menetralisir keadaan walaupun aku tahu itu tidak akan berhasil.

Kuberitahu sedikit. Kata maaf merupakan kata yang paling sering kuucapkan semenjak kami menikah. Sebaliknya, kata itu merupakan kata yang sangat jarang bahkan hampir tidak pernah kudengar dari mulutnya. Mungkin memang benar isu yang banyak beredar selama ini bahwa perempuan, terutama istri, selalu benar.

“Isi novel Abang itu persis sama dengan cerita tentang petualangan Abang mengejarku ke Amerika!” Dia mengeraskan suaranya ketika menyebut kata mengejarku, seolah-olah ingin menegaskan kalau aku benar-benar tergila-gila padanya. Padahal... memang iya, sih.

Aku hanya melongo pertanda takjub karena memang baru menyadari fakta luar biasa itu. “Iya ya???” kataku kembali memamerkan raut wajah lugu.

“Tari jadi bingung, sebenarnya Abang tadi itu menceritakan petualangan hidup Abang yang sesungguhnya atau malah menceritakan isi novel itu?” Kali ini suaranya lebih pelan. Nada bicaranya seperti sedang bertanya kepada diri sendiri. Tapi menurutku dia sedang bertanya padaku. Dia adalah tipe orang yang tidak pernah puas kalau sesuatu itu masih samar-samar atau remang-remang. Makanya dia selalu saja bertanya atau mempertanyakan segala sesuatu. Mungkin itu yang mendorongnya menjadi seorang ilmuan, ingin menguak semua misteri dengan mengajukan pertanyaan yang tidak ada habis-habisnya, lalu mencari tahu dan menyelidiki jawabannya.

Aku pun kemudian tersadar. Pertanyaannya harus dijawab, terlepas apakah jawabannya sesuai atau tidak dengan keinginannya. “Oohh... cerita pas makan malam tadi, ya. Itu benar-benar pengalamanku, bukan cerita fiktif dalam novel. Aku masih waras, loh! Masih bisa membedakan antara pengalaman hidup dengan imajinasi di dalam novel,” kataku akhirnya menjawab pertanyaannya dengan santai.

“Lalu kenapa cerita pengalaman Abang itu persis sama dengan isi novel M.I.T?! Padahal kata Abang novel itu terbit lebih dulu baru kemudian Abang mengalami perjalanan luar biasa itu.” Rasa penasarannya masih saja membara.

“Kok bisa sama, ya?” Aku pun mulai bingung menyadari keanehan itu. Kalau aku melakukan perjalanan terlebih dahulu, baru kemudian hasilnya dituliskan menjadi novel, itu sudah lumrah dan masuk akal. Tapi ini terbalik. Aku menulis novel terlebih dahulu, baru kemudian perjalanan hidupku sama persis dengan isi novel itu. Ini benar-benar tidak masuk akal. Berarti aku seperti menuliskan takdirku sendiri?

Istriku mengubah posisi duduknya. Dia memiringkan tubuh menghadap ke arahku. “Nah itu!!! Jangan-jangan Abang ini keturunan Mama Lorry?” katanya sambil mengangkat tangan lalu mencubit pipiku.

“Siapa itu Mama Lorry?” Lagi-lagi aku terkejut. Setiap kali kami mengobrol, aku selalu mendengar hal baru darinya.

“Haiyaah... makin lama makin susah saja ngomong sama Abang, nih! Susah nyambungnya. Mama Lorry itu emak-emak yang mengaku bisa meramal masa depan itu, loh! Sampai-sampai banyak artis yang minta diramal olehnya.” Istriku terlihat makin sewot.

Darahku langsung berdesir mendengar ucapannya barusan. Aku tersinggung berat. Sering sekali mulutnya mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan. Bagaimanapun aku tidak langsung menanggapi karena tahu hanya akan memanaskan suasana. Kutarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Kualihkan tatapanku ke langit-langit, berharap dapat menurunkan emosiku.

Setelah terdiam sejenak, aku pun memamerkan gigiku yang kurang pantas dipamerkan untuk menyembunyikan ketersinggunganku tadi. Merespon dengan candaan biasanya berhasil menetralisir ketegangan antara kami berdua.

“Kapan-kapan aku mau juga diramal oleh Mama Lorry, ah! Siapa tahu dia dapat meramal nasib novelku yang akan segera terbit,” kataku bercanda.

“Eiitss!!! Dilarang mengalihkan topik pembicaraan! Pembahasan tentang isi novel Abang tadi belum selesai.” Dia menggoyang-goyangkan telunjuknya di depan mukaku.

“Lha! Aku juga tidak tahu kenapa bisa sama seperti itu?” jawabku putus asa.

Setelah tampak berpikir keras, dia pun berkata, “Paling tidak ada tiga hipotesis untuk menjawab keanehan Abang itu. Pertama, Abang bisa membaca masa depan. Abang tahu apa yang akan dihadapi di masa depan.”

Ciri khasnya langsung keluar, mencoba menjelaskan segala hal dengan mengajukan dugaan sementara atau bahasa kerennya merumuskan hipotesis.

“Oke. Terus?” Aku manggut-manggut sambil menatapnya serius, mencoba memberi dukungan.

“Hipotesis kedua, Abang bisa mengendalikan masa depan. Tulisan Abang itu seperti transkrip sutradara yang dapat mengendalikan jalan cerita sebuah film,” tambahnya lagi menjelaskan dengan menggebu-gebu tanpa menatapku sama sekali. Dia seperti sibuk berpikir sendiri.

“Mungkin saja,” kataku menanggapinya dengan serius untuk meredakan emosinya yang tadi sempat meledak.

“Hipotesis ketiga, kesamaan itu hanyalah sebuah kebetulan yang sangat jarang terjadi. Walaupun jarang, kebetulan seperti itu tetap saja mungkin terjadi seperti yang diprediksi oleh teori quantum,” katanya kali ini dengan suara yang lebih tenang. Dia lalu menatapku sangat dalam.

“Sepertinya, jawaban yang paling masuk akal adalah hipotesis terakhir,” timpalku dengan mimik wajah serius, mencoba memberikan argumen agar pikirannya tidak menerawang jauh ke mana-mana.

Aku pun menatapnya serius sambil menyimak hasil analisisnya yang luar biasa itu. Kemampuannya itu tidak mengagetkanku. Keistimewaannya memang terletak pada logika matematikanya yang luar biasa. Itulah sebabnya kampus sekelas MIT pun tertarik kepadanya tempo hari sehingga memberinya beasiswa pendidikan penuh dari S1 sampai S3.

“Tapi tetap saja hipotesis itu bukan jawaban yang sebenarnya. Itu harus dibuktikan,” katanya kembali menggebu-gebu.

What!!!” Aku kembali dibuatnya kaget. Ternyata hipotesis itu belum menyelesaikan masalah malam ini. Apalah yang ingin dilakukannya kali ini. Seperti biasanya, aku tak pernah tahu apa yang sedang direncanakannya. Dia selalu sulit ditebak.

Kuberitahu rahasia lainnya rumah tangga kami. Ada dua kepala rumah tangga di sini. Secara formal, akulah yang bertindak sebagai kepala rumah tangga. Namun, secara faktual, Mentarilah yang menjalankan peran itu. Dia serba bisa. Dia cepat mengenali masalah, akar penyebabnya, menganalisis semua informasi dan situasi, menarik kesimpulan berupa solusi-solusi, dan berakhir dengan sebuah keputusan yang cerdas dan bijaksana. Aku selalu ketinggalan beberapa langkah dalam setiap tahapan itu. Bahkan aku sering mentok di satu atau dua tahap saja, tidak pernah bermuara pada keputusan.

Karena sudah akrab semenjak kecil, dia tidak pernah sungkan sama sekali untuk mengajukan keputusan terbaik yang telah diperolehnya, yang mau tak mau harus kuakui kecanggihannya. Sangat sering terjadi, usulannyalah yang menjadi keputusan akhir yang harus dipatuhi dan dijalani bersama. Kali ini pun, walau dengan berat hati, aku kembali harus mengikuti keputusannya, membuktikan hipotesisnya itu. Entah bagaimana dia akan membuktikannya, aku tidak tahu.


******

Penulis: Feri Noperman

_________________________________________________________________

Baca juga:

Novel M.I.T

Novel Memilih Kebahagiaan (Sinopsis)

Novel PUISI & CINTA

Novel DARI RINDU KEPADA KENANG

Komentar