Langsung ke konten utama

PERGESERAN SAMUDERA BIRU (BLUE OCEAN SHIFT)

Oleh: Feri Noperman

Dari dulu, saya termasuk orang yang tidak setuju dengan sistem persaingan dengan orang lain untuk memperebutkan hal yang sama. Lebih spesifik lagi, saya tidak setuju dengan sistem peringkat di kelas dan di sekolah karena itu bentuk persaingan yang tidak adil dan tidak sehat. Menurut saya "berkompetisi dengan orang lain tidak pernah adil, sebab titik start dan bekal yang dimiliki setiap orang itu berbeda-beda."

Sebenarnya saya termasuk orang yang diuntungkan dengan sistem peringkat di kelas dan di sekolah. Dari SD sampai SMA, saya sering juara kelas bahkan juara umum di sekolah (tapi sekolah pinggiran ya, bukan sekolah favorit, he he). Saya pernah juara 1 di kelas. Beberapa kali juga peringkat 2 dan 3. Saya bahkan pernah juara umum di SMP dan STM.

Tapi tetap saja, keberhasilan saya mewujudkan cita-cita bukan karena status juara umum itu, melainkan berdasarkan upaya lain yang lebih masuk akal yaitu belajar. Walaupun saya juara umum di STM, nyatanya saya gagal masuk kampus teknik (ITB dan Politeknik Unsri). Saya pada akhirnya lulus seleksi masuk perguruan tinggi dua tahun setelah tamat STM karena saya belajar lagi secara mandiri selama dua tahun itu. Saya malah bukan lulus di jurusan teknik, melainkan di pendidikan biologi. Jurusan itu menyimpang jauh dari jurusan waktu STM (jurusan mekanik otomotif).

Makin ke sini saya makin yakin bahwa kalaupun harus bersaing atau berkompetisi, persaingan itu sebaiknya bukan ditujukan kepada orang lain, melainkan kepada diri sendiri. Saya lebih setuju sekaligus menyarankan agar kita "menunjukkan bahwa kita saat ini bisa dan harus lebih baik daripada kita yang sebelumnya." Hal itu bukan hanya membuat kita makin berkembang, tapi juga membuat kita senantiasa bahagia.

Berkompetisi dengan diri sendiri dapat mencegah kita dari perilaku aniaya terhadap orang lain. Berkompetisi dengan diri sendiri artinya tidak begitu memedulikan raihan atau capaian orang lain (tapi tetap mengapresiasi prestasi orang lain), tidak ada keinginan mengalahkan orang lain, serta tidak juga untuk menjadi lebih baik daripada orang lain. Berkompetisi dengan diri sendiri akan mencegah kita berbuat curang atau menghalalkan segala cara demi mengalahkan atau menjadi lebih baik dari orang lain. Kalaupun kemudian kita ikut perlombaan resmi, itu bukan untuk mengalahkan orang lain, tapi untuk mengukur sejauh mana kita telah mengembangkan diri sendiri.

Dalam aktivitas ekonomi, tidak jarang persaingan (kompetisi) dengan orang lain malah berujung pada kerugian diri sendiri dan pihak lain. Contoh kasus, seorang pedagang yang baru berjualan membanting harga produknya untuk melariskan jualannya demi memenangkan persaingan dengan pedagang lain yang juga menjual produk yang sama. Dia juga menjelek-jelekkan pedagang lain dan produknya itu agar konsumen pedagang itu lari ke dagangannya.

Dampaknya tentu saja negatif, baik bagi pedagang baru itu sendiri maupun pedagang lainnya. Karena membanting harga, tentu margin keuntungannya menjadi lebih kecil. Sementara pedagang lain dirugikan karena kehilangan konsumen yang lari kepada pedagang baru tadi. Apakah persaingan seperti itu menghadirkan pemenang? Tidak, kedua-duanya kalah.

Saya tidak bisa membahas terlalu jauh tentang dampak negatif sistem kompetisi yang diciptakan dunia modern sekarang ini. Itu di luar kemampuan saya menguraikannya. Tapi dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa pemikiran saya selama ini ternyata mendapat dukungan dari pakar dunia (saya jadi ge-er, he he).

Beberapa minggu sebelum saya menuliskan ini, saya menemukan sebuah buku di toko buku. Isinya ternyata bersesuaian dengan apa yang saya pikirkan selama ini. Alhamdulillah, ternyata pemikiran saya didukung oleh pakar dunia yang tidak diragukan lagi kepakarannya. Mereka adalah W. Chan Kim dan Rene Mauborgnee.

Mereka telah melakukan riset puluhan tahun di seluruh penjuru dunia tentang sistem persaingan yang ada di dunia modern saat ini. Mereka lalu menuliskan hasil riset itu ke dalam buku Blue Ocean Shift (pergeseran samudera biru). Buku mereka menjadi New York Times best seller, suatu pengakuan best seller internasional.

Di dalam Buku Blue Ocean Shift, Kim dan Mauborgnee menguraikan tentang langkah-langkah mencapai keberhasilan tanpa harus bersaing langsung dengan orang lain. Saya tidak dapat menguraikan secara detail tentang langkah-langkah itu. Tapi intinya, untuk memenangkan persaingan, kita tidak perlu mengalahkan pihak lain. Kita dapat menciptakan dunia baru yang berbeda dengan dunia persaingan selama ini. Itu artinya tidak ada persaingan memperebutkan hal yang sama. Dalam bahasa buku itu disebut dengan "melampaui persaingan."

Pesan buku itu dapat disederhanakan bahwa setiap kita memiliki rezeki masing-masing. Jadi kita tidak perlu bersaing dengan cara mencaplok rezeki orang lain. Kita tidak harus bersaing dengan orang lain agar memperoleh bagian terbesar dari kue yang sama. Selain hal itu membutuhkan perjuangan keras (karena orang lain tidak akan membiarkan begitu saja kita mengambil bagiannya), itu juga merupakan tindakan aniaya yang dilarang agama karena akan mengurangi jatah orang lain. Alih-alih memperebutkan kue yang sama, kita justru bisa membuat kue untuk kita sendiri, yang dapat kita nikmati sendiri, tanpa mengurangi jatah orang lain.

Dunia ini mengandung banyak potensi dan misteri yang bisa menjadi sumber rezeki. Ikhtiar kita sesungguhnya bukan untuk mengalahkan orang lain agar memperoleh bagian rezeki yang lebih besar, melainkan mengenali potensi kita sendiri serta menyibak misteri alam semesta yang bisa dijadikan sebagai sumber rezeki baru bagi kita.

Kunci untuk membuat kue kita sendiri adalah kreativitas. Masing-masing kita dianugerahi dengan potensi kreativitas. Tinggal sejauh mana kita telah berhasil mengenali, mengembangkan, serta memanfaatkan potensi kreativitas tersebut. Kreativitas adalah senjata utama kita untuk membuat kue untuk kita sendiri, tanpa harus mengambil jatah kue orang lain.

Komentar