Langsung ke konten utama

Kepingan Hati

Bagi Vania, minggu pagi ini sudah tidak sama lagi dengan minggu pagi sebelum-sebelumnya. Tidak ada lagi agenda jalan-jalan ke tempat wisata. Bukan karena ayahnya tidak menawari atau mengajak ke sana, melainkan karena dia sudah tidak berminat lagi dengan hal-hal seperti itu. Jalan-jalan di akhir pekan hanya akan mengingatkannya pada Bunda Karin. Itu hanya akan membuatnya kembali sedih. Hatinya akan semakin perih. Celakanya lagi, tidak ada obatnya sama sekali. Setidaknya, hingga saat ini.

Sudah hampir satu jam dia menatap kosong ke arah catatan-catatan pelajaran di atas meja belajarnya. Tampaknya dia tidak berniat sama sekali untuk membacanya walaupun besok adalah hari pertama ujian semester kedua. Catatan itu makin tidak menarik karena ditulis secara asal-asalan dengan pena bertinta hitam. Huruf-hurufnya tidak jelas sehingga perlu upaya keras untuk memahami kata, frasa, maupun kalimat yang tertulis di sana. Banyak bagian catatan yang terlihat kosong, baik berupa ruang kosong antar kata yang sengaja dikosongkan, kotak kosong, lingkaran kosong, maupun berupa titik-titik panjang. Tanda tanya terlihat di atas beberapa kata, yang sepertinya si pencatat tidak terlalu yakin dengan kata-kata yang ditulisnya itu. Mungkin saja dia salah menyimak penjelasan guru.

Padahal, dua bulan yang lalu, catatan yang bentuknya sangat merusak pemandangan itu belum pernah ada di buku catatannya dan tidak pernah terbayang akan dibuat olehnya. Dia memiliki jiwa seni yang tinggi. Matanya sangat menyukai keindahan. Begitu pun dengan catatan pelajaran sekolah, harus selalu terlihat indah. Oleh karena itu, dia selalu membuat catatan-catatan yang sedap dipandang mata.

Sebelum momen kehilangan menimpanya, dia selalu membuat catatan yang sangat artistik menggunakan pulpen berbagai macam warna. Setiap huruf ditulis dengan sangat rapi serta dengan lekukan bernilai seni. Kata-kata penting ditebalkan atau ditandai dengan sangat menarik. Simbol-simbol cantik dan penuh makna bertebaran melengkapi kata, frasa, atau kalimat. Panah penghubung dibuat dengan berbagai macam warna, bukan hanya untuk menambah keindahan, melainkan juga untuk lebih memudahkan memahami keterkaitan antar bagian yang ada. Dengan begitu, dia tahan berjam-jam membaca dan mempelajari catatan itu setiap malam. Dengan cepat dia mampu menguasainya. Itulah strategi yang mengantarkannya menjadi juara kelas di semester kemarin.

Akan tetapi, melihat penampakan catatan di hadapannya sekarang, perutnya langsung mulas sehingga menjadi malas. Ditambah pula suasana hatinya yang masih saja sakit tak terperih. Semakin dia tidak bersemangat untuk belajar saat ini. Dia pun melemparkan tubuhnya ke tempat tidur. Lebih memilih untuk pasrah. Terserah apa pun yang terjadi esok hari. Terserah seperti apa pun hasil ujian nanti. Dia memilih untuk tidak peduli. Hasil ujian itu tidak akan memiliki arti. Tidak akan mampu menggantikan apa yang sudah hilang dari hati.

Matanya hendak terkatup, sebelum tiba-tiba ponselnya berdering. Dia tersentak kaget lalu langsung duduk di tempat tidur. Dengan malas-malasan diraihnya ponsel yang tergeletak di atas meja belajar. Diperiksanya layar ponsel itu. Sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal. Nomornya aneh karena angka-angka di awalnya jauh berbeda dengan nomor-nomor yang disimpannya di memori ponsel. Mungkin itu nomor operator baru, batinnya.

Panggilan itu diabaikannya saja. dilemparkannya ponsel itu di atas kasur. Kembali dibaringkannya tubuhnya. Namun ponsel itu kembali berdering. Nomor aneh itu muncul lagi. Setelah deringan itu berhenti sekitar satu menit, muncul deringan berikutnya. Dari nomor yang sama. Deringan dan nomor itu muncul lagi berkali-kali hingga tujuh kali. Merasa sangat kesal, dia pun mengangkatnya. Dia berniat hendak mendamprat orang iseng itu.

Setelah dia meletakkan ponsel di dekat telinga dan hendak mengumpat, terdengarlah suara, “Halo! Kamu apa kabar?” Itu suara laki-laki.

Vania mengenali suara itu. Darahnya berdesir. Jantungnya secara tiba-tiba berdetak lebih cepat. Napasnya langsung tertahan di tenggorokan. Dia tak mampu berkata-kata. Niatnya langsung berubah. Tidak mungkin dia mendamprat laki-laki di telepon ini. “Eeeh... ka... ka... kabarku baa.. baa... ik,” katanya tergagap-gagap.

“Sudah lama aku tidak mendengar suaramu,” kata laki-laki di telepon itu melanjutkan.

“Iii...ii... iiiyaa...” balas Vania masih tergagap-gagap.

“Kamu kenapa terdengar gugup begitu? Kamu sedang sakit?” tanya laki-laki itu terdengar khawatir.

“Engg... gaakk... Aaa... aa... ku... aaaku... haaa.. nya...”

“Hanya apa? Kamu sedang buang air besar ya?” tanya laki-laki itu polos. “Tidak sopan tahu, mengangkat telepon di toilet. Baunya sampai ke sini,” lanjutnya lagi sambil tertawa.

“Bukaaan!!!” teriak Vania. “Aku sedang di kamar, mau belajar untuk besok,” lanjutnya terdengar geram. Tiba-tiba suaranya menjadi lebih lancar dan tegas.

“Oh begitu. Berarti aku mengganggumu ya? Maaf kalau begitu. Aku telepon lagi setelah kamu ujian saja ya. Kapan kamu selesai ujian?” Suara laki-laki itu kembali terdengar polos.

Vania malah panik. “Enggak apa-apa. Kamu tidak mengganggu sama sekali. Tidak apa-apa kamu menelepon sekarang. Belajarnya sudah selesai kok. Baru saja selesai sebelum kamu menelepon tadi.”

“Oh begitu. Bagaimana kalau kita pakai panggilan video saja. Aku rindu melihat wajahmu. Sangaaat rinduuu,” kata laki-laki itu terdengar agak iseng.

Vania ingin menjawab, ‘Sama. Aku juga rindu sangat.’ Namun segera diurungkannya. Dia tidak boleh terdengar murahan di telinga laki-laki itu. Namun, dia juga tidak memiliki alasan untuk menolak tawaran panggilan video itu. Justru perasaannya melambung tinggi ke langit ketujuh mendengar usulan itu.

Panggilan diakhiri. Setelah itu muncul panggilan video di layar ponsel Vania. Dia langsung menerimanya. Tampaklah wajah laki-laki di seluruh layar ponselnya. Wajah itu telah sempat menghilang selama beberapa bulan dan membawa seluruh semangat hidup Vania bersamanya. Ribuan pertanyaan bermunculan di benak Vania. Kenapa dia tiba-tiba menghubungi setelah menghilang tanpa jejak selama ini? Tanyanya dalam hati.

“Kamu apa kabar, Bim?” tanya Vania akhirnya memberanikan diri. Sepertinya dia sudah mulai bisa menguasai diri. Gemuruh jantungnya sudah mulai mereda. Napasnya yang sempat tersengal-sengal kembali normal.

Bima tersenyum. “Aku baik-baik saja kok,” jawabnya lembut. “Maaf ya baru menghubungimu sekarang.”

Raut wajah Vania langsung berubah ceria mendengarkan itu. Entah hilang ke mana semangat hidupnya selama ini. Yang pasti, sekarang semangat hidup itu tiba-tiba muncul kembali tanpa disangka-sangka, lalu meresap masuk ke dalam dirinya, dan menyebar ke setiap sel di seluruh tubuhnya, dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Aku minta maaf ya karena telah mengabaikanmu selama ini, justru ketika kamu sedang menghadapi banyak masalah. Aku benar-benar tidak tahu kalau bunda Karin meninggal dunia,” kata Bima dengan raut penyesalan dan kesedihan menjadi satu di wajahnya.

Vania tidak tahu harus menjawab apa. Dia diam saja sambil menyimak.

“Aku baru tahu semuanya beberapa hari lalu,” lanjut Bima.

Vania mengernyitkan dahi. “Tahu dari siapa?” tanyanya penasaran.

“Dari Tante Miranda,” jawab Bima mantap.

“Hah! Kamu kenal Tante Miranda?!” pekik Vania kaget.

“Kenapa kamu kaget begitu?” timpal Bima heran.

“Kok kamu bisa tahu Tante Miranda?” jawab Vania balik bertanya.

Bima terlihat kesal. “Berarti kamu tidak menyimak waktu aku memberi ole-ole dari Australia?”

Vania senyum malu-malu.

Bima kembali melanjutkan, “Waktu itu aku sempat bercerita kalau aku dan mama baru pulang menghadiri pemakaman teman mama di Australia.”

“Aku lupa bagian itu, he he,” kata Vania terkekeh.

“Itu pemakaman ibunya Tante Miranda!”

“Hah!” Vania kaget lagi, lalu, “Oooohhh... Aku baru mengerti,” katanya malu-malu.

“Tuh kan. Berarti kamu tidak menyimak waktu itu.”

“Iya. Kamu benar. Maaf,” kata Vania dengan wajah memelas penuh rasa bersalah.

“Iya tidak apa-apa,” kata Bima tersenyum menenangkan.

Setelah itu mereka pun mengobrolkan banyak hal. Vania banyak bertanya tentang keadaan di London dengan menggebu-gebu. Bima pun sangat senang menjawabnya. Dengan bangga dia menceritakan pengalaman-pengalaman barunya di sana. Mereka pun sesekali tertawa ceria. Kesedihan Vania lenyap begitu saja.

“Kamu belajar yang rajin ya. Semoga ujianmu besok lancar,” kata Bima sebelum mengakhiri panggilan video itu.

“Terima kasih ya, Bim,” balas Vania sambil terus tersenyum.

“Sama-sama,” kata Bima juga sambil tersenyum. “Dah!”

“Dah!”

Vania memandangi layar ponsel yang sudah berubah hitam itu. Wajah Bima sudah lenyap dari layar itu. Namun di mata Vania, wajah itu masih terpampang jelas di sana. Vania kemudian senyum-senyum sendiri. Dipeluknya ponsel itu dengan erat sambil memejamkan mata. Ketika mata itu terbuka, bola matanya terlihat berbinar-binar.

Ekspresi lesu, sedih, kusut, dan tidak bersemangat yang senantiasa menghiasi wajahnya selama ini tiba-tiba lenyap begitu saja. Itu bisa diibaratkan seperti tanah kering kerontang selama setahun berubah dalam sekejap saat ditimpa hujan sehari. Kemunculan wajah Bima di ponsel itu sudah menjadi guyuran hujan di hati Vania yang nyaris tandus.

Vania segera bangun dari tempat tidur dan kembali duduk di belakang meja belajarnya. Diambilnya kembali kertas-kertas berisi catatan amburadul yang berserakan di lantai kamar. Dibacanya kembali catatan-catatan itu dengan sangat serius dan penuh semangat. Senyum ceria mulai terukir indah di wajahnya.

***

Keesokan harinya, Vania tampak jauh lebih bersemangat untuk berangkat ke sekolah. Dia sempat berpapasan dengan Miranda ketika hendak mengambil handuk yang masih dijemur di teras samping. Lalu dia bertemu lagi dengan perempuan itu di meja makan. Dia tidak menyadari kalau mata Miranda terus mengawasinya dari tadi.

Di meja makan itu, Miranda terlihat lega melihat Vania pagi ini. Dia merasa sangat bahagia akhirnya bisa melihat senyuman di bibir gadis itu. Dia masih tidak tahu penyebabnya apa. Baginya kini, dia tidak perlu tahu semua hal yang membuat Vania sedih dan tidak bersemangat. Yang terpenting adalah dia bisa melakukan sesuatu untuk bisa melihat gadis itu kembali tersenyum. Seperti pagi ini.

Selesai sarapan, Vania langsung pamit kepada ayahnya dan juga Miranda. Diliriknya perempuan itu sebentar sebelum meninggalkan meja makan. Dia langsung memalingkan wajah ketika Miranda balas menatap. Saat dia keluar rumah, taksi online sudah menunggu di depan pintu pagar. Dia masuk. Taksi berangkat. Dia tiba di sekolah masih sangat pagi. Tidak satu pun terlihat orang selain penjaga sekolah dan satpam di gerbang. Dia memang berharap menjadi orang pertama yang tiba di sekolah pagi ini.

Rupanya dugaannya keliru. Dia bukanlah orang pertama yang datang. Saat dia melewati pintu kelas, sudah ada perempuan lain di dalam kelas, sedang duduk sambil membaca buku catatan. Perempuan itu duduk tepat di sebelah kursinya. “Berarti dia adalah ....” bisiknya pada diri sendiri.

Perempuan itu mengangkat wajah dan menatap ke arah Vania. Tidak salah lagi. Itu adalah...

“Siska?!!!” teriak Vania panik.

“Vania?!!!” balas Siska tidak kalah paniknya.

Vania langsung menghambur ke arah Siska yang telah berdiri dari kursinya. Dipeluknya erat-erat perempuan itu sambil menangis sesenggukan. “Kenapa kamu menghilang tanpa kabar?” tanyanya dengan perasaan campur aduk antara senang, marah, kesal, dan benci menjadi satu.

“Maaf,” jawab Siska singkat.

Mereka saling melepaskan pelukan. Vania menarik napas dalam-dalam sambil terus menatap Siska. Begitu pun dengan Siska, tampak gugup. Mereka berdiam diri sejenak untuk menenangkan diri sambil mengusap air mata masing-masing.

“Kita belajar dulu, ya. Nanti selesai ujian, aku ceritakan apa yang telah terjadi,” usul Siska.

“Benar kamu mau menceritakan semuanya?!” tanya Vania lagi memastikan dengan sorot mata tajam ke arah mata Siska.

“Aku janji,” balas Siska sambil mengangkat tangan dan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah secara bersamaan. Dia pun tersenyum.

Tidak berapa lama kemudian siswa-siswa lain pun mulai berdatangan dan masuk ke kelas. Hampir semuanya menatap heran ke arah Vania dan Siska yang sudah berada di dalam kelas dan sangat fokus membaca buku di tangan masing-masing. Karena selama ini mereka selalu bersikap cuek, tidak satu pun siswa-siswa itu menegur mereka berdua.

Ujian hari itu hanya dua mata pelajaran. Waktu ujian untuk sesi pagi selesai sebelum tengah hari. Setelah waktu ujian habis, hampir semua siswa langsung pulang, kecuali Vania dan Siska. Mereka memutuskan untuk mengobrol di taman belakang kelas seperti kemarin-kemarin. Banyak sekali pertanyaan yang ingin diajukan Vania pada Siska. Begitu juga dengan Siska, banyak sekali cerita ajaib yang ingin disampaikannya pada Vania.

“Kenapa kamu tiba-tiba menghilang?” tanya Vania dengan nada kesal bercampur marah.

Siska hanya mampu menunduk dan meringis ketakutan. “Ceritanya panjang,” jawabnya singkat.

“Oke. Sekarang ceritakan padaku. Kalau cerita itu cukup masuk akal, aku akan memaafkanmu seperti waktu itu. Tapi, kalau tidak masuk akal, bohong, dan mengada-ada, aku tidak akan memaafkanmu. Aku akan membencimu selamanya. Ingat ya, selamaaannyaa!!“ teriak Vania bernada mengancam. Sebenarnya ancaman itu hanya main-main. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia tidak akan pernah rela kehilangan Siska lagi.

Namun Siska menanggapinya lain. Dia tampak sangat kaget dengan ancaman itu. Bahkan dia tak mampu berkata-kata lagi untuk memulai penjelasannya. Ancaman itu terdengar sangat serius di telinganya. Dia pun ketakutan.

“Kenapa bengong?” tanya Vania menatap mata Siska.

“Kesalahanku benar-benar besar, ya, hingga membuatmu sangat marah seperti itu?” tanya Siska polos dan tampak masih ketakutan

“Enggak.. enggak... maksudku...” Vania jadi tergagap melihat Siska menanggapi dengan sangat serius ancamannya tadi. “Ucapanku tadi hanya bercanda,” katanya sambil memamerkan gigi.

“Hah! Kamu benar-benar membuatku takut,” balas Siska juga memamerkan giginya.

“Coba kamu ceritakan apa yang terjadi padamu hingga tiba-tiba menghilang satu bulan lebih.” Kali ini Vania berbicara lebih pelan dan lebih lembut, takut Siska beranggapan lain.

Siska tampak berpikir keras, memilih kata-kata yang pas untuk disampaikan pada Vania. “Kemarin itu aku memutuskan untuk berhenti sekolah karena harus bekerja,” katanya memulai cerita. Tapi itu tidak dilanjutkannya.

Vania sudah siap untuk menyimak dengan serius. Dia berjanji di dalam hati untuk tidak menginterupsi Siska. Namun setelah beberapa menit menunggu, Siska tidak juga melanjutkan ceritanya, dia pun memutuskan untuk kembali bertanya, “kenapa?”

Siska tampak bingung. Kejadian yang perlu diceritakannya sangat banyak walaupun itu semua terjadi dalam waktu singkat. Pada akhirnya dia menceritakan saja semua yang terlintas di ingatannya. Ceritanya persis seperti yang disampaikannya pada Miranda. Kedua orang tuanya meninggal mendadak karena wabah virus. Menyusul setelah itu calon suaminya juga meninggal. Dia dan saudaranya yang empat orang itu diusir pemilik kontrakan. Kakaknya kemudian menginap di tempat kos temannya untuk menyelesaikan skripsi. Sementara dia sendiri dan ketiga adiknya memilih tinggal di bawah jembatan layang. Tidak lupa dia menyebutkan nama Rodi sebagai pahlawan penyelamatnya waktu itu.

Tanpa terasa wajah Vania dipenuhi air mata yang mengalir deras bagaikan air terjun. Ditatapnya wajah Siska yang terlihat teduh, seperti tanpa beban. Keperihan hidup perempuan itu disikapinya jauh lebih bijaksana. Vania malu pada diri sendiri. Selama ini dia telah bersikap kekanak-kanakan. Padahal kehilangan yang dialaminya tidak seberapa dibandingkan kehilangan yang dialami Siska. Perempuan itu hampir kehilangan segala-galanya, namun tetap tampak tegar dan bersemangat menjalani hidup. Sementara dirinya?

“Ceritanya belum selesai. Itu belum menjawab kenapa aku bisa kembali bersekolah dan kembali bertemu denganmu,” sambung Siska.

Vania memutar badan lalu langsung memeluk tubuh sahabatnya itu dengan erat. Dia kembali sesenggukan. “Jangan diceritakan sekarang. Kita pulang dulu. Kamu ikut denganku ke rumah ya. Kita perlu camilan agar kamu lebih lancar berbicara,” bisik Vania di telinga Siska.

Siska mengangguk. Dia pun ikut menangis.

Mereka pun meninggalkan taman belakang sekolah itu. Sambil berjalan ke arah gerbang, Vania memesan taksi melalui aplikasi. Saat mereka sampai di depan gerbang, taksi yang dipesan tadi sudah menunggu. Sebuah mobil minibus warna hitam sudah parkir tepat di sisi kiri jalan tepat di depan gerbang. Sopir itu menurunkan kaca depan sebelah kiri, meneriakkan nama Vania yang bernada pertanyaan. Vania mengangguk. Tanpa banyak bersuara, mereka berdua masuk dan duduk di kursi baris belakang.

Taksi meluncur pelan menuju rumah Vania. Sepanjang perjalanan tidak ada yang bersuara. Si sopir yang terlihat berusia tiga puluhan itu juga tidak banyak tanya. Dia fokus menatap ke arah jalanan yang lebih sering macet dibandingkan lancar.

***

Saat mereka tiba, rumah tampak sepi. Widya belum pulang dari sekolah. Sementara si pengasuh ikut tertidur di sebelah dedek bayi yang diasuhnya. Terlihat bekas makanan yang belum sempat dibereskan di sebelahnya. Vania langsung mengajak Siska ke ruang makan. Di atas meja sudah tersedia menu makan siang. Tanpa banyak berkata-kata, mereka langsung makan dengan lahap.

Setelah makan, Vania mengajak Siska ke kamar. Dia duduk di kepala dipan. Sementara Siska dengan malu-malu memilih duduk di kursi belajar. Di situ mereka kembali bercerita. Kali ini Vania memulainya dengan menanyakan kejadian yang membuat Siska akhirnya dapat kembali bersekolah.

“Tante Miranda telah mengangkatku menjadi anak,” jawab Siska pelan.

“Hah!” Ekspresi keterkejutan luar biasa langsung tampak di wajah Vania. “Maksudmu tante Miranda yang sering ke rumahku? Yang pernah kuceritakan padamu dulu?” tanyanya masih dengan raut wajah tidak percaya.

“Aku, kan, belum pernah bertemu dengan Tantemu itu. Jadi aku kurang tahu persis apakah Tante Miranda yang membantuku juga merupakan Tante Miranda yang kau maksudkan,” balas Siska dengan ekspresi keraguan.

Vania langsung menyalakan ponselnya, membuka galeri, menggeser layar hingga menemukan foto Miranda. “Seperti ini wajahnya?” tanyanya sambil menunjukkan foto itu pada Siska.

Siska menganggukkan kepala.

“Apa yang telah dilakukannya padamu?” selidik Vania.

“Tante Miranda menjadikanku sebagai anak angkat,” jawab Siska mempertegas apa yang telah diucapkannya sebelumnya.

“Iya. Terus apa lagi yang telah dilakukannya?” Vania makin penasaran.

“Dia mengajakku tinggal di apartemennya. Aku diberi kamar sendiri. Pagi tadi aku ikut mobilnya untuk berangkat ke sekolah. Karena Tante Miranda berangkat sangat dini, aku terpaksa datang ke sekolah juga sangat pagi. Makanya kamu tadi tidak jadi orang pertama yang tiba ke sekolah, he he.” Siska terkekeh.

Keterkejutan Vania belum usai. Cerita Siska sulit untuk dipercaya. Tapi sampai sejauh ini, sahabatnya itu tidak pernah berbohong. Apa yang keluar dari mulutnya selalu berupa fakta atau kebenaran.

Siska melanjutkan ceritanya. “Tante Miranda juga telah mengusulkan kakakku sebagai penerima beasiswa dari yayasan perusahaan QDC. Karena prestasi kakakku lumayan bagus, Tante Miranda juga menawari beasiswa untuk melanjutkan pendidikan magister. Setelah tamat nanti, Tante Miranda juga menjanjikan pekerjaan untuk kakakku di QDC.”

“Hah?! Sudah sejauh itu?!” Vania makin kaget. “Kenapa Tante Miranda melakukan itu semua?” tanyanya lagi.

Siska menggeleng karena tidak tahu persis alasan dibalik kebaikan-kebaikan Tante Miranda itu.

Mereka saling berdiam diri cukup lama.

Vania kemudian terpikir sesuatu. “Besok-besok, ketika kau ikut Tante Miranda berangkat ke sekolah, jangan dulu langsung ke sekolah. Ikut saja dulu ke rumahku. Tante Mira setiap pagi ke rumahku. Setelah itu baru kita berangkat sama-sama ke sekolah,” kata Vania antusias dan bersemangat. “Kenapa coba kamu pagi-pagi sudah berada di sekolah. Nanti orang-orang malah menyangka kamu itu arwah siswa penasaran yang mati bunuh diri karena putus cinta, he he,” katanya panjang lebar dengan ekspresi penuh keceriaan.

“Aku mah ikut Tante Miranda saja, Van,” timpal Siska.

“Nanti biar aku yang memberi tahu Tante Miranda,” kata Vania masih bersemangat.

“Baiklah.” Siska mengangguk.

“Bagaimana dengan kakak dan adik-adikmu?” tanya Vania lagi, masih juga penasaran.

“Sementara ini mereka tinggal di kontrakan. Aku pernah berkunjung ke sana. Kontrakannya bagus dan sangat nyaman. Ada AC-nya. Dapurnya keren dan bersih. Kamar mandinya juga tidak jauh beda dengan kamar mandi di apartemen Tante Miranda. Tante Miranda sudah membayar uang kontrakan itu selama setahun ke depan.” Siska bercerita sambil senyum-senyum sendiri. Dia seperti baru saja memasuki negeri dongeng. Entah lewat mana, dia tidak tahu. Apakah lewat pintu ke mana saja Doraemon, atau stasiun bawah tanah di kota London seperti di film Harry Potter.

“Sungguh? Kamu tidak bohong? Kamu tidak sedang mengarang cerita ini, bukan?” Vania masih saja terkaget-kaget.. Ternyata kejutan dari Siska belum berakhir.

“Buat apa aku bohong, Van. Justru sekarang aku merasa tidak enak hati menerima kebaikan Tante Miranda yang sungguh luar biasa dan sangat ajaib itu. Sampai sekarang aku pun aku masih menganggapnya sebagai sebuah mimpi. Tapi tidak mungkin kan aku bermimpi berhari-hari dan tidak bangun-bangun?” balas Siska raut wajah sangat serius.

“Dia tidak punya permintaan sama sekali padamu? Katakanlah balasan atas apa yang telah dilakukannya itu. Ada tidak yang seperti itu?” Vania masih berusaha menyelidiki. Tindakan Miranda itu benar-benar di luar dugaan dan hampir tidak masuk akal baginya. Di zaman sekarang, hampir mustahil menemukan orang sebaik itu. Terutama orang-orang yang dikenalnya. Mayoritas orang-orang yang dikenalnya lebih suka nyinyir dan mengolok-olok terutama teman sekelasnya.

Siska terlihat berpikir keras, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. “Ada sih satu. Tapi katanya jangan diceritakan kepada siapa pun tentang permintaan itu, termasuk padamu.”

Tidak habis-habisnya Vania dibuat kaget oleh Siska. “Benarkah?! Sebesar apa rahasia permintaan itu sehingga tidak boleh diceritakan pada siapa pun?!” tanyanya lagi menyelidik. Rasa penasarannya tidak habis-habis.

“Bukan rahasia besar. Hanya saja aku sudah mengiyakan dan berjanji untuk tidak menceritakannya pada siapa pun,” jawab Siska sambil menunduk. Dia terlihat tidak berani menatap Vania.

“Termasuk padaku? Sahabat baikmu ini?” desak Vania.

“Iya. Termasuk padamu, Van.” Siska menjawab pelan. Tapi suaranya itu terdengar mantap dan penuh keyakinan seakan tidak akan pernah tergoyahkan bahkan oleh angin badai terdahsyat atau tsunami terbesar sekalipun.

“Bagaimana kalau kau ceritakan saja padaku. Lalu aku juga akan menjaga rahasia itu. Jadi Tante Miranda tidak akan pernah tahu kalau kau pernah memberitahuku,” bujuk Vania dengan suara yang lebih lembut dan agak terdengar mengiba.

“Tapi...” Suara Siska tercekat di tenggorokan.

“Kenapa? Kau tidak mempercayaiku?” tanya Vania lagi dengan tatapan tajam.

Siska memberanikan diri menatap balik ke arah Vania. “Bukan itu. Kalau aku menceritakannya padamu, berarti aku sudah ingkar janji. Katamu dulu, kalau mau menjadi orang yang benar-benar baik, jangan pernah mengingkari janji. Kamu juga begitu kan? Tidak pernah mengingkari ikrarmu pada bunda Karin?”

“Iya, sih. Tapi ini, kan, ceritanya lain,” balas Vania.

Vania tertegun cukup lama, tampak berpikir keras. “Ya sudah. Aku tidak boleh memaksamu dan aku tidak akan memaksamu, sekarang atau pun nanti,” ucapnya kemudian.

“Terima kasih, ya, sudah bisa memahami kondisiku,” balas Siska dengan mata berbinar-binar.

Setelah saling berdiam diri cukup lama, tiba-tiba Vania kembali bersuara, “Tapi boleh aku tahu sedikit petunjuk tentang permintaan Tante Miranda itu?”

“Maksudmu?” Siska menatap kaget ke arah Vania. Dia tampak kembali ketakutan.

Vania balas menatap mata sahabatnya itu. “Apakah permintaannya itu ada kaitannya denganku?”

“Aku tidak bisa mengatakannya, Van.” Raut ketakutan kembali muncul di wajah Siska.

“Kau tidak mengatakannya. Cukup menjawab dengan mengangguk atau menggeleng,” kata Vania. Dia kemudian terdiam sebentar. “Kuulangi sekali lagi pertanyaanku. Apakah permintaan Tante Miranda itu ada kaitannya denganku?”

Siska tampak ragu. Dia tertegun cukup lama. Nampak raut kebimbangan di wajahnya. Namun pada akhirnya dia memberanikan diri untuk mengangguk sambil berucap, “Sudah ya. Itu saja yang bisa kulakukan.”

“Oke, oke! Sudah. Terima kasih ya, Sis,” balas Vania sambil mengukir senyum indah.

Setelah itu Vania terlihat merenung. Dia sangat tidak menyangka Miranda sudah berbuat sejauh itu. Tante Miranda pasti melakukan semuanya demi diriku, katanya dalam hati. Sebenarnya dia memiliki insting yang tajam tentang ketulusan seseorang. Insting itulah yang dirasakannya pada Bunda Karin dulu. Kini dia juga merasakan hal yang sama pada Tante Miranda. Mantan bos ayahnya itu telah memberikan perhatian dan kepedulian yang tulus padanya dan keluarganya beberapa minggu ini. Hanya saja, Vania masih bingung bagaimana dia harus bersikap pada perempuan itu. Apalagi setelah semua yang telah dilakukannya ini.

Apakah perempuan itu benar-benar merasa sangat bersalah hingga sampai bertindak luar bisa seperti ini, tanya Vania dalam hati. Dia menyadari sepenuh hati kalau Miranda sudah sangat berjasa baginya karena telah menghadirkan kembali kepingan-kepingan di hatinya yang sempat menghilang selama ini. Tapi tetap saja masih ada satu kepingan lagi yang tidak akan pernah mampu dikembalikan oleh Miranda. Kepingan itu adalah Bunda Karin.

(Bagian 47 dari Novel Kepingan Ketiga)

Komentar

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.