Setelah menikah, tentu banyak sekali perubahan yang
terjadi dalam diriku. Sebagian perubahan itu kulakukan dengan kesadaran sendiri karena
memang kuanggap baik untukku. Sebagian lainnya terpaksa kulakukan karena harus
mengikuti kemauan istriku. Selain itu ada pula perubahan yang kulakukan antara
sadar diri dan keterpaksaan. Salah satunya adalah bangun pagi.
Sangat kusadari kalau bangun pagi itu sangat baik, bukan
hanya bagiku melainkan juga bagi orang-orang di sekitarku, terutama istriku. Akan
tetapi, aku masih sering kesulitan melakukannya. Kebiasaan buruk bangun kesiangan
yang mulai muncul selama kuliah dulu akhirnya berkelanjutan sampai sekarang.
Mau tidak mau, setiap pagi istrikulah yang harus membangunkanku secara paksa
dengan berbagai cara.
Cara paling sederhana yang sering dilakukannya adalah
dengan menepuk atau menggoyangkan tubuhku mulai dari satu sampai dengan sepuluh
skala richter. Satu skala richter itu mirip dengan seorang ibu yang sedang menepuk
pantat bayinya agar mau tidur. Tapi berkebalikan denganku, tepukan berkekuatan satu
skala richter itu digunakannya untuk membangunkanku. Cara itu terkadang berhasil. Tapi lebih sering
tidak.
Sementara itu, tepukan atau goyangan sepuluh skala
richter mirip seperti seorang tukang kebun yang menggoyang-goyangkan pohon
durian agar buahnya runtuh. Tidak jarang terjadi kalau sepuluh skala richter pun ternyata tidak
cukup manjur untuk menbangunkanku. Apalagi kalau pada malam harinya aku sempat begadang
menonton siaran langsung sepakbola.
Sebagai orang yang sangat disiplin, istriku tidak suka
melihatku bangun kesiangan. Dia selalu mencari cara agar itu tidak sampai
terjadi. Pada akhirnya dia menemukan cara paling efektif untuk membangunkanku yaitu dengan meminumkan air bekas
rebusan pare ke mulutku.
Setiap kali dia tahu akan ada pertandingan sepakbola,
dia langsung belanja ke pasar,
membeli dua kilo pare lalu merebusnya sebagai menu makan malam kami. Rebusan pare itu dihabiskannya sendiri.
Sementara air bekas rebusannya tidak langsung dibuangnya, melainkan
dimasukkannya ke dalam botol bekas minuman kemasan.
Upayanya dengan air rebusan pare itu
selalu berhasil karena aku memiliki pengalaman traumatis dengan rasa pahit sewaktu kecil. Jangankan diminumkan seperti yang sering dilakukan istriku, terkecap
sedikit saja aku langsung tersentak kaget. Detak jantungku langsung meningkat
drastis. Sekujur tubuhku langsung panas membara. Aku pernah tidak bisa tidur
semalaman gara-gara tercicip pare yang dicampurkannya di dalam sambal petai
saat kami makan malam.
Terlepas dari sikap dan perbuatannya yang seringkali
tidak berperikemanusiaan seperti itu, menikahinya tetap saja menjadi kesuksesan
terbesar dalam hidupku. Dia tetap dan selalu menjadi satu-satunya wanita yang
kuinginkan di dunia ini. Kemustahilan untuk mendapatkan cintanya yang sempat kurasakan
ketika perpisahan kami setamat SMA dulu pada akhirnya dapat kuatasi. Perjuangan mengatasi kemustahilan itulah yang
tertulis di novel perdanaku, M.I.T. Perjuangan itulah yang sedang
dipermasalahkan istriku beberapa malam lalu.
Suatu
keajaiban yang benar-benar tidak kusangka ketika akhirnya perjalanan nasib mempersatukan
kami. Sebagai wujud syukurku, kutananamkan janji dan tekad bulat di dalam hati
untuk selalu mengikuti dan mewujudkan semua yang diinginkannya, termasuk bangun
pagi.
Dini hari ini, air rebusan pare kembali mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Aku
langsung terbangun ketika tetesan air
ajaib itu mulai menyentuh lidahku. Tetesan itu menimbulkan
efek yang dahsyat, membuatku bermimpi buruk, yaitu dikejar-kejar ribuan pare
raksasa. Keringat sebesar butiran jagung langsung bercucuran di wajahku ketika terbangun.
Dengan sigap, aku langsung bangkit dari tempat tidur dan berlarian menuju kamar
mandi. Sementara istriku terkekeh senang melihat kelakuan anehku. Walau sudah
berkumur sampai sepuluh kali, rasa pahit dari air itu masih saja melekat di
lidahku.
Harapan istriku sangat sederhana
yaitu ingin keluarga kami dipenuhi keberkahan. Caranya sedethana, katanya aku harus
rutin menunaikan sholat subuh berjamaah di masjid. Dia ngotot dan melakukan
segala upaya membangunkanku sebelum subuh agar aku bisa melakukan itu.
Saat aku berpamitan hendak ke masjid, dia sudah berada di dapur
untuk menjerang air dan memasak sarapan pagi. Celemek putih motif bunga-bunga
tidak lupa dikenakannya. Walaupun dia sangat sering mengomel membabi buta
hingga membuatku tersinggung, dia tetap istri yang sangat bertanggung jawab. Dia
melaksanakan semua kewajibannya tanpa mengeluh sama sekali. Memasak adalah
rutinitas yang selalu dilakukannya dalam keadaan apa pun, termasuk ketika dia
sedang sakit.
Melihat semangatnya memasak seperti itu, kekesalanku atas
air rebusan pare yang diteteskannya ke mulutku tadi pun langsung menguap.
Penderitaanku akibat rasa pahit itu perlahan-lahan memudar. Komitmennya yang
luar biasa itu telah menjadi perekat terbaik yang menjaga ikatan pernikahan
kami.
Sudah menjadi rutinitasku, sepulang dari sholat subuh
berjamaah, aku langsung menghadap laptop untuk mencicil tulisanku. Batas akhir kontrak
penulisan novel yang telah kutandatangani dengan salah satu penerbit mayor
beberapa bulan lalu memang masih lama. Tapi tidak ada salahnya kalau kucicil
mulai dari sekarang. Apalagi pikiranku sedang sangat terbuka dan jernih.
Ide-ide kreatif berbaris sangat panjang di benakku, mengantri untuk segera
menjadi bagian dari narasi novelku yang kujamin akan seru dan unik.
Rutinitas lain yang selalu kulakukan semenjak menikah
adalah sarapan pagi berdua dengan istriku tepat pukul 06.30. Saat kulirik, jam
dinding di depan meja kerjaku sudah hampir menunjukkan jam 06.29. Untuk
mencegah istriku berteriak-teriak memanggilku sepagi ini, aku pun segera
berdiri dan berjalan cepat ke arah ruang makan. Terlihat sarapan pagi sudah
siap di atas meja makan. Nasi goreng yang diwadahi dengan wadah plastik warna
merah jambu sudah tersedia di tengah-tengah meja. Di sebelahnya ada semangkuk
mentimun yang diiris miring.
Suara kursi makan yang kugeser membuat istriku langsung
menoleh sambil memasang ekspresi penuh semangat. Aku baru saja duduk di kursi
makan ketika dia melangkah mendekat.
“Kita harus melakukan eksperimen untuk menguji keanehan
Abang itu,” katanya mengusulkan sesuatu dengan suara menggebu-gebu.
Rupanya dia
benar-benar ingin menindaklanjuti
hasil interogasinya beberapa malam yang lalu.
Dia pun ikut duduk di hadapanku, lalu mengambil piring di
tengah meja dan mengisinya dengan nasi goreng sebanyak dua centong penuh. Disodorkannya
piring berisi nasi goreng itu padaku.
Dengan sigap langsung kuambil sodorannya sambil
menanggapi usulannya barusan.
“Tidak usah. Masih banyak aktivitas lain yang lebih
penting,” kataku dengan suara lembut dan terdengar bijaksana.
“Jangan salah, ya! Eksperimen itu sangat penting.
Justru penemuan metode eksperimenlah yang membuat peradaban manusia mengalami
kemajuan sangat pesat dan drastis seperti yang sedang kita rasakan sekarang
ini,” katanya menanggapi dengan suara lantang. Sepertinya dia
tersinggung dengan ucapanku barusan.
Kutatap matanya dengan lembut sebelum menanggapi.
“Iya. Aku setuju kalau eksperimen itu penting. Tapi
maksudku, Kamu tidak perlu melakukan eksperimen padaku. Bisa saja itu hanya kebetulan
seperti hipotesis ketigamu kemarin.”
Nada suaraku tetap kujaga serendah mungkin agar tidak
menaikkan produksi hormon adrenalinnya. Aku pun mengulangi salah satu
hipotesisnya kemarin untuk menunjukkan bahwa ucapannya masih kuingat. Sengaja kulakukan
itu agar dia merasa didengarkan dan dihargai.
Tapi rupanya tindakanku belum mampu menenangkannya. Dia
langsung balik menatapku dengan tajam lalu kembali berucap,
“Apa yang sedang Abang alami itu merupakan sebuah
fenomena baru yang harus dicari tahu penjelasannya sejelas mungkin. Tidak boleh
hanya sampai pada tahap berhipotesis. Tidak bagus hanya sampai pada tahap menduga-duga
atau berprasangka saja tanpa
dibuktikan kebenaran dibalik itu,” katanya ngotot masih ingin mengeksekusi rencananya.
Aku menarik napas dalam-dalam. Tatapan kualihkan ke
piring yang dipenuhi nasi goreng yang menggunung. Rupanya tadi dia mencampur
nasi gorengnya dengan ikan teri dan telur. Dia tidak pernah lupa dengan makanan
favoritku. Suasana hatiku pun menjadi campur aduk, antara senang dan kesal. Dengan napas
berat, kembali kuarahkan tatapan ke arahnya yang baru saja selesai menyendokkan
nasi goreng ke mulutnya.
“Sepertinya untuk kasusku ini, tidak dicari
penjelasannya pun tidak masalah, bukan?!” jawabku lembut, masih belum setuju dengan eksperimen yang ingin
dilakukannya.
Entah kenapa, kata eksperimen itu masih berkonotasi negatif di dalam
pikiranku. Aku tidak ingin menjadi objek eksperimen, apalagi objek dari eksperimen
istriku sendiri. Itu benar-benar akan menurunkan harkat dan martabatku sebagai
suami.
“Abang ini benar-benar tidak punya sikap ilmiah sama
sekali,” timpalnya dengan suara terdengar lebih sewot.
Aku terdiam sejenak.
“Tapi tidak semua orang harus memiliki sikap ilmiah, bukan?!” balasku kemudian dengan
nada tidak kalah sewotnya.
Terus terang, aku tersinggung dengan ucapannya yang mulai
menyerang karakterku. Seharusnya kalau dia sudah memutuskan menerima diriku
sebagai pasangan hidup, dia tidak hanya menerima kelebihanku, tapi juga
menerima kekuranganku. Kuakui kalau pengetahuanku tentang sikap ilmiah itu masih
sangat minim. Besar kemungkinan aku memang tidak memiliki sikap itu, persis
seperti ucapannya barusan.
Rupanya
jawabanku barusan malah membuatnya makin kesal. Dia mendelik ke arahku sambil
menggeleng-geleng seperti tidak percaya dengan sikapku.
“Sikap ilmiah penting dimiliki semua orang termasuk Abang
dan para anak muda di luar sana. Keterbukaan informasi di internet memang
membuat kita dapat memperoleh informasi dengan mudah dan cepat. Tapi itu juga
ada kelemahannya. Tidak semua informasi di internet itu benar. Banyak informasi
yang tidak benar, atau disebut dengan hoax.
Dengan memiliki sikap ilmiah, terutama sikap skeptis dan kritis, anak muda bisa
terhindar dari informasi hoax yang
seringkali menipu dan menyesatkan serta berdampak buruk bagi kehidupan mereka
bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya berceramah panjang lebar.
Ucapannya yang tanpa jeda memicuku untuk ikut
menanggapi.
“Tapi metode dan sikap ilmiah itu susah dipelajari dan
membosankan,” kataku memberikan sedikit argumen yang dibuat-dibuat karena pada
dasarnya aku pun kurang paham. Itu
lebih berdasarkan pengalaman pribadiku. Terpaksa kusampaikan
itu untuk menunjukkan kalau topik yang sedang dibahasnya dapat kupahami. Kalau
omongannya tidak diladeni atau tidak digubris, bukan hanya ceramahnya akan melebar
ke mana-mana, tapi bisa-bisa dia ngambek berhari-hari.
“Bagaimanapun metode dan sikap ilmiah tetap penting. Keduanya
harus dibekalkan kepada generasi muda, terutama melalui pendidikan formal. Itu
seharusnya jadi tujuan utama sistem pendidikan.” Kali ini dia memberikan
argumen layaknya pengamat pendidikan. Padahal itu bukan bidangnya. Profesinya memang seorang dosen, tapi bidang
keahliannya bukanlah ilmu pendidikan melainkan fisika nuklir.
“Tapi faktanya anak muda tidak menyukai hal-hal formal
seperti itu. Mereka lebih suka hal-hal yang mengandung kesenangan. Mereka lebih
suka bikin konten Youtube, Instagram, atau TikTok, yang kebanyakan malah tidak
berfaedah. Mereka lebih suka main games
online, balapan liar, tawuran, dugem di diskotik, atau mengkonsumsi narkoba,”
timpalku lagi masih dengan sikap sok tahu.
Tanpa kusadari, aku mulai termakan dengan ajakannya
berdebat. Untuk meredakan emosiku yang mulai meninggi, kembali kusendok nasi
goreng di piringku dengan kasar lalu menyuapkannya ke mulutku sambil menggerutu.
Kupastikan nasi-nasi di mulutku panik luar biasa telah menjadi objek
pelampiasan kekesalanku.
Mentari kembali
membelalakkan matanya padaku. Sepertinya dia tidak
menyangka kalau aku berani meladeninya berdebat sepagi ini.
“Justru itu menjadi tugas Abang. Dalam menulis cerita, Abang
harus ikut mendidik para pembaca bukan sekedar menyajikan hiburan. Metode dan
sikap ilmiah bisa diselipkan dalam cerita-cerita yang Abang tulis. Tulislah
metode dan sikap ilmiah itu secara menyenangkan dan elegan agar masuk ke
pikiran anak muda yang menggemari novel Abang. Itulah sebenarnya hakikat dari
menulis novel, menyampaikan nilai-nilai kebaikan sehingga dapat membuat pembaca
menjadi lebih cerdas dan berakhlak lebih baik,” balasnya dengan suara ketus.
Aku tersentak. Ceramahnya tidak akan berhenti kalau
terus kuladeni. Kubungkam mulutku sekuat tenaga untuk tidak lagi meladeninya.
Aku harus mencegah lidahku agar tidak lagi memproduksi kata-kata. Sebagai
gantinya, kuangguk-anggukkan kepalaku sambil berusaha tersenyum agar dia tidak
makin naik pitam. Menahan diri adalah pilihan paling bijak agar dia segera mengakhiri
ceramahnya itu sehingga aku bisa segera menikmati nasi goreng di hadapanku.
Sayangnya, bukannya diam, dia malah terus nyerocos tanpa jeda, melebar ke
mana-mana.
“Kalau mau dianggap penulis fenomenal, Abang harus bisa
memunculkan sesuatu yang berbeda, tidak sama dengan arus utama yang sedang
berkembang sekarang. Abang seharusnya bersikap anti mainstream. Tulislah sesuatu yang berbeda dengan tulisan pada
umumnya. Menyelipkan sikap ilmiah dalam novel Abang adalah bentuk dari anti mainstream itu,” lanjutnya lagi.
Rupanya, meladeni argumennya atau mendiamkannya,
sama-sama tidak menyelesaikan masalah. Kalau dibiarkan, ceramahnya tentang
metode ilmiah itu tidak akan selesai sampai sore. Satu-satunya cara adalah mengiyakan
argumennya yang terakhir dengan cara selembut dan seromantis mungkin.
“Iya, Sayang. Akan kuikuti saranmu yang luar biasa itu. Terima
kasih, ya, sudah sangat peduli dengan profesi menulisku. Kamu makin manis saja
kalau sedang peduli seperti itu. Rasa sayangku pun memuai tak terhingga
sampai-sampai tidak muat lagi di hatiku. He he.”
Mentari mengangkat wajah dan langsung menatapku seolah
tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Ekspresinya mendadak berubah
drastis. Kulit mukanya langsung berubah bersemu merah. Senyum indah terukir di
bibirnya yang merah merona. Dia menghentikan tangan kanannya yang sedang
memegang sendok berisi nasi. Dia mematung sambil menatapku takjub.
“Semangat, ya, Sayang, ya!” katanya dengan suara penuh
semangat.
Tiba-tiba dia berdiri dan membungkuk ke arahku. Kedua
tangannya bergerak cepat melewati permukaan meja makan lalu mendarat di pipi
kanan dan kiriku. Dia mencubit kedua pipiku dengan gemas.
Waduh. Dikiranya aku adalah bayi
mungilnya yang menggemaskan. Aku pura-pura meringis
kesakitan.
Kami bertatapan cukup lama sambil saling melempar senyum.
Senyumku kali ini benar-benar tulus. Selera makanku muncul kembali secara
tiba-tiba. Sambil menatap wajah manisnya, kukunyah nasi goreng di mulutku.
Entah kenapa sekarang rasanya begitu nikmat. Setiap bumbu yang ada di dalamnya
dapat ditangkap sel-sel reseptor di lidahku sehingga menimbulkan sensasi
kenikmatan luar biasa. Masakannya menjadi lezat berkali-kali lipat.
Tanganku terulur mengusap punggung tangannya yang masih
menempel di pipiku. Kalau dihadapi dengan tepat dan bijak, istriku benar-benar
menjadi bidadari surga, yang tidak hanya menyenangkan mata dari menatap
kecantikannya, tetapi juga menyejukkan jiwa dari perhatiannya yang luar biasa.
Rasa syukur pun kuucapkan berkali-kali karena pagi ini mampu meredam emosinya.
Dampak positifnya langsung terasa. Perasaan positifnya langsung memancar tak
terkira hingga pada akhirnya membuatku merasa berbunga-bunga.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.