Langsung ke konten utama

BAB 2 ANTI MAINSTREAM

Setelah menikah, tentu banyak sekali perubahan yang terjadi dalam diriku. Sebagian perubahan itu kulakukan dengan kesadaran sendiri karena memang kuanggap baik untukku. Sebagian lainnya terpaksa kulakukan karena harus mengikuti kemauan istriku. Selain itu ada pula perubahan yang kulakukan antara sadar diri dan keterpaksaan. Salah satunya adalah bangun pagi.

Sangat kusadari kalau bangun pagi itu sangat baik, bukan hanya bagiku melainkan juga bagi orang-orang di sekitarku, terutama istriku. Akan tetapi, aku masih sering kesulitan melakukannya. Kebiasaan buruk bangun kesiangan yang mulai muncul selama kuliah dulu akhirnya berkelanjutan sampai sekarang. Mau tidak mau, setiap pagi istrikulah yang harus membangunkanku secara paksa dengan berbagai cara.

Cara paling sederhana yang sering dilakukannya adalah dengan menepuk atau menggoyangkan tubuhku mulai dari satu sampai dengan sepuluh skala richter. Satu skala richter itu mirip dengan seorang ibu yang sedang menepuk pantat bayinya agar mau tidur. Tapi berkebalikan denganku, tepukan berkekuatan satu skala richter itu digunakannya untuk membangunkanku. Cara itu terkadang berhasil. Tapi lebih sering tidak.

Sementara itu, tepukan atau goyangan sepuluh skala richter mirip seperti seorang tukang kebun yang menggoyang-goyangkan pohon durian agar buahnya runtuh. Tidak jarang terjadi kalau sepuluh skala richter pun ternyata tidak cukup manjur untuk menbangunkanku. Apalagi kalau pada malam harinya aku sempat begadang menonton siaran langsung sepakbola.

Sebagai orang yang sangat disiplin, istriku tidak suka melihatku bangun kesiangan. Dia selalu mencari cara agar itu tidak sampai terjadi. Pada akhirnya dia menemukan cara paling efektif untuk membangunkanku yaitu dengan meminumkan air bekas rebusan pare ke mulutku.

Setiap kali dia tahu akan ada pertandingan sepakbola, dia langsung belanja ke pasar, membeli dua kilo pare lalu merebusnya sebagai menu makan malam kami. Rebusan pare itu dihabiskannya sendiri. Sementara air bekas rebusannya tidak langsung dibuangnya, melainkan dimasukkannya ke dalam botol bekas minuman kemasan.

Upayanya dengan air rebusan pare itu selalu berhasil karena aku memiliki pengalaman traumatis dengan rasa pahit sewaktu kecil. Jangankan diminumkan seperti yang sering dilakukan istriku, terkecap sedikit saja aku langsung tersentak kaget. Detak jantungku langsung meningkat drastis. Sekujur tubuhku langsung panas membara. Aku pernah tidak bisa tidur semalaman gara-gara tercicip pare yang dicampurkannya di dalam sambal petai saat kami makan malam.

Terlepas dari sikap dan perbuatannya yang seringkali tidak berperikemanusiaan seperti itu, menikahinya tetap saja menjadi kesuksesan terbesar dalam hidupku. Dia tetap dan selalu menjadi satu-satunya wanita yang kuinginkan di dunia ini. Kemustahilan untuk mendapatkan cintanya yang sempat kurasakan ketika perpisahan kami setamat SMA dulu pada akhirnya dapat kuatasi. Perjuangan mengatasi kemustahilan itulah yang tertulis di novel perdanaku, M.I.T. Perjuangan itulah yang sedang dipermasalahkan istriku beberapa malam lalu.

Suatu keajaiban yang benar-benar tidak kusangka ketika akhirnya perjalanan nasib mempersatukan kami. Sebagai wujud syukurku, kutananamkan janji dan tekad bulat di dalam hati untuk selalu mengikuti dan mewujudkan semua yang diinginkannya, termasuk bangun pagi.

Dini hari ini, air rebusan pare kembali mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Aku langsung terbangun ketika tetesan air ajaib itu mulai menyentuh lidahku. Tetesan itu menimbulkan efek yang dahsyat, membuatku bermimpi buruk, yaitu dikejar-kejar ribuan pare raksasa. Keringat sebesar butiran jagung langsung bercucuran di wajahku ketika terbangun. Dengan sigap, aku langsung bangkit dari tempat tidur dan berlarian menuju kamar mandi. Sementara istriku terkekeh senang melihat kelakuan anehku. Walau sudah berkumur sampai sepuluh kali, rasa pahit dari air itu masih saja melekat di lidahku.

Harapan istriku sangat sederhana yaitu ingin keluarga kami dipenuhi keberkahan. Caranya sedethana, katanya aku harus rutin menunaikan sholat subuh berjamaah di masjid. Dia ngotot dan melakukan segala upaya membangunkanku sebelum subuh agar aku bisa melakukan itu.

Saat aku berpamitan hendak ke masjid, dia sudah berada di dapur untuk menjerang air dan memasak sarapan pagi. Celemek putih motif bunga-bunga tidak lupa dikenakannya. Walaupun dia sangat sering mengomel membabi buta hingga membuatku tersinggung, dia tetap istri yang sangat bertanggung jawab. Dia melaksanakan semua kewajibannya tanpa mengeluh sama sekali. Memasak adalah rutinitas yang selalu dilakukannya dalam keadaan apa pun, termasuk ketika dia sedang sakit.

Melihat semangatnya memasak seperti itu, kekesalanku atas air rebusan pare yang diteteskannya ke mulutku tadi pun langsung menguap. Penderitaanku akibat rasa pahit itu perlahan-lahan memudar. Komitmennya yang luar biasa itu telah menjadi perekat terbaik yang menjaga ikatan pernikahan kami.

Sudah menjadi rutinitasku, sepulang dari sholat subuh berjamaah, aku langsung menghadap laptop untuk mencicil tulisanku. Batas akhir kontrak penulisan novel yang telah kutandatangani dengan salah satu penerbit mayor beberapa bulan lalu memang masih lama. Tapi tidak ada salahnya kalau kucicil mulai dari sekarang. Apalagi pikiranku sedang sangat terbuka dan jernih. Ide-ide kreatif berbaris sangat panjang di benakku, mengantri untuk segera menjadi bagian dari narasi novelku yang kujamin akan seru dan unik.

Rutinitas lain yang selalu kulakukan semenjak menikah adalah sarapan pagi berdua dengan istriku tepat pukul 06.30. Saat kulirik, jam dinding di depan meja kerjaku sudah hampir menunjukkan jam 06.29. Untuk mencegah istriku berteriak-teriak memanggilku sepagi ini, aku pun segera berdiri dan berjalan cepat ke arah ruang makan. Terlihat sarapan pagi sudah siap di atas meja makan. Nasi goreng yang diwadahi dengan wadah plastik warna merah jambu sudah tersedia di tengah-tengah meja. Di sebelahnya ada semangkuk mentimun yang diiris miring.

Suara kursi makan yang kugeser membuat istriku langsung menoleh sambil memasang ekspresi penuh semangat. Aku baru saja duduk di kursi makan ketika dia melangkah mendekat.

“Kita harus melakukan eksperimen untuk menguji keanehan Abang itu,” katanya mengusulkan sesuatu dengan suara menggebu-gebu.

Rupanya dia benar-benar ingin menindaklanjuti hasil interogasinya beberapa malam yang lalu.

Dia pun ikut duduk di hadapanku, lalu mengambil piring di tengah meja dan mengisinya dengan nasi goreng sebanyak dua centong penuh. Disodorkannya piring berisi nasi goreng itu padaku.

Dengan sigap langsung kuambil sodorannya sambil menanggapi usulannya barusan.

“Tidak usah. Masih banyak aktivitas lain yang lebih penting,” kataku dengan suara lembut dan terdengar bijaksana.

 “Jangan salah, ya! Eksperimen itu sangat penting. Justru penemuan metode eksperimenlah yang membuat peradaban manusia mengalami kemajuan sangat pesat dan drastis seperti yang sedang kita rasakan sekarang ini,” katanya menanggapi dengan suara lantang. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku barusan.

Kutatap matanya dengan lembut sebelum menanggapi.

“Iya. Aku setuju kalau eksperimen itu penting. Tapi maksudku, Kamu tidak perlu melakukan eksperimen padaku. Bisa saja itu hanya kebetulan seperti hipotesis ketigamu kemarin.”

Nada suaraku tetap kujaga serendah mungkin agar tidak menaikkan produksi hormon adrenalinnya. Aku pun mengulangi salah satu hipotesisnya kemarin untuk menunjukkan bahwa ucapannya masih kuingat. Sengaja kulakukan itu agar dia merasa didengarkan dan dihargai.

Tapi rupanya tindakanku belum mampu menenangkannya. Dia langsung balik menatapku dengan tajam lalu kembali berucap,

“Apa yang sedang Abang alami itu merupakan sebuah fenomena baru yang harus dicari tahu penjelasannya sejelas mungkin. Tidak boleh hanya sampai pada tahap berhipotesis. Tidak bagus hanya sampai pada tahap menduga-duga atau berprasangka saja tanpa dibuktikan kebenaran dibalik itu,katanya ngotot masih ingin mengeksekusi rencananya.

Aku menarik napas dalam-dalam. Tatapan kualihkan ke piring yang dipenuhi nasi goreng yang menggunung. Rupanya tadi dia mencampur nasi gorengnya dengan ikan teri dan telur. Dia tidak pernah lupa dengan makanan favoritku. Suasana hatiku pun menjadi campur aduk, antara senang dan kesal. Dengan napas berat, kembali kuarahkan tatapan ke arahnya yang baru saja selesai menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.

“Sepertinya untuk kasusku ini, tidak dicari penjelasannya pun tidak masalah, bukan?!” jawabku lembut, masih belum setuju dengan eksperimen yang ingin dilakukannya.

Entah kenapa, kata eksperimen itu masih berkonotasi negatif di dalam pikiranku. Aku tidak ingin menjadi objek eksperimen, apalagi objek dari eksperimen istriku sendiri. Itu benar-benar akan menurunkan harkat dan martabatku sebagai suami.

“Abang ini benar-benar tidak punya sikap ilmiah sama sekali,” timpalnya dengan suara terdengar lebih sewot.

Aku terdiam sejenak.

“Tapi tidak semua orang harus memiliki sikap ilmiah, bukan?!” balasku kemudian dengan nada tidak kalah sewotnya.

Terus terang, aku tersinggung dengan ucapannya yang mulai menyerang karakterku. Seharusnya kalau dia sudah memutuskan menerima diriku sebagai pasangan hidup, dia tidak hanya menerima kelebihanku, tapi juga menerima kekuranganku. Kuakui kalau pengetahuanku tentang sikap ilmiah itu masih sangat minim. Besar kemungkinan aku memang tidak memiliki sikap itu, persis seperti ucapannya barusan.

Rupanya jawabanku barusan malah membuatnya makin kesal. Dia mendelik ke arahku sambil menggeleng-geleng seperti tidak percaya dengan sikapku.

“Sikap ilmiah penting dimiliki semua orang termasuk Abang dan para anak muda di luar sana. Keterbukaan informasi di internet memang membuat kita dapat memperoleh informasi dengan mudah dan cepat. Tapi itu juga ada kelemahannya. Tidak semua informasi di internet itu benar. Banyak informasi yang tidak benar, atau disebut dengan hoax. Dengan memiliki sikap ilmiah, terutama sikap skeptis dan kritis, anak muda bisa terhindar dari informasi hoax yang seringkali menipu dan menyesatkan serta berdampak buruk bagi kehidupan mereka bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya berceramah panjang lebar.

Ucapannya yang tanpa jeda memicuku untuk ikut menanggapi.

“Tapi metode dan sikap ilmiah itu susah dipelajari dan membosankan,” kataku memberikan sedikit argumen yang dibuat-dibuat karena pada dasarnya aku pun kurang paham. Itu lebih berdasarkan pengalaman pribadiku. Terpaksa kusampaikan itu untuk menunjukkan kalau topik yang sedang dibahasnya dapat kupahami. Kalau omongannya tidak diladeni atau tidak digubris, bukan hanya ceramahnya akan melebar ke mana-mana, tapi bisa-bisa dia ngambek berhari-hari.

“Bagaimanapun metode dan sikap ilmiah tetap penting. Keduanya harus dibekalkan kepada generasi muda, terutama melalui pendidikan formal. Itu seharusnya jadi tujuan utama sistem pendidikan.” Kali ini dia memberikan argumen layaknya pengamat pendidikan. Padahal itu bukan bidangnya. Profesinya memang seorang dosen, tapi bidang keahliannya bukanlah ilmu pendidikan melainkan fisika nuklir.

“Tapi faktanya anak muda tidak menyukai hal-hal formal seperti itu. Mereka lebih suka hal-hal yang mengandung kesenangan. Mereka lebih suka bikin konten Youtube, Instagram, atau TikTok, yang kebanyakan malah tidak berfaedah. Mereka lebih suka main games online, balapan liar, tawuran, dugem di diskotik, atau mengkonsumsi narkoba,” timpalku lagi masih dengan sikap sok tahu.

Tanpa kusadari, aku mulai termakan dengan ajakannya berdebat. Untuk meredakan emosiku yang mulai meninggi, kembali kusendok nasi goreng di piringku dengan kasar lalu menyuapkannya ke mulutku sambil menggerutu. Kupastikan nasi-nasi di mulutku panik luar biasa telah menjadi objek pelampiasan kekesalanku.

Mentari kembali membelalakkan matanya padaku. Sepertinya dia tidak menyangka kalau aku berani meladeninya berdebat sepagi ini.

“Justru itu menjadi tugas Abang. Dalam menulis cerita, Abang harus ikut mendidik para pembaca bukan sekedar menyajikan hiburan. Metode dan sikap ilmiah bisa diselipkan dalam cerita-cerita yang Abang tulis. Tulislah metode dan sikap ilmiah itu secara menyenangkan dan elegan agar masuk ke pikiran anak muda yang menggemari novel Abang. Itulah sebenarnya hakikat dari menulis novel, menyampaikan nilai-nilai kebaikan sehingga dapat membuat pembaca menjadi lebih cerdas dan berakhlak lebih baik,” balasnya dengan suara ketus.

Aku tersentak. Ceramahnya tidak akan berhenti kalau terus kuladeni. Kubungkam mulutku sekuat tenaga untuk tidak lagi meladeninya. Aku harus mencegah lidahku agar tidak lagi memproduksi kata-kata. Sebagai gantinya, kuangguk-anggukkan kepalaku sambil berusaha tersenyum agar dia tidak makin naik pitam. Menahan diri adalah pilihan paling bijak agar dia segera mengakhiri ceramahnya itu sehingga aku bisa segera menikmati nasi goreng di hadapanku.

Sayangnya, bukannya diam, dia malah terus nyerocos tanpa jeda, melebar ke mana-mana.

“Kalau mau dianggap penulis fenomenal, Abang harus bisa memunculkan sesuatu yang berbeda, tidak sama dengan arus utama yang sedang berkembang sekarang. Abang seharusnya bersikap anti mainstream. Tulislah sesuatu yang berbeda dengan tulisan pada umumnya. Menyelipkan sikap ilmiah dalam novel Abang adalah bentuk dari anti mainstream itu,lanjutnya lagi.

Rupanya, meladeni argumennya atau mendiamkannya, sama-sama tidak menyelesaikan masalah. Kalau dibiarkan, ceramahnya tentang metode ilmiah itu tidak akan selesai sampai sore. Satu-satunya cara adalah mengiyakan argumennya yang terakhir dengan cara selembut dan seromantis mungkin.

“Iya, Sayang. Akan kuikuti saranmu yang luar biasa itu. Terima kasih, ya, sudah sangat peduli dengan profesi menulisku. Kamu makin manis saja kalau sedang peduli seperti itu. Rasa sayangku pun memuai tak terhingga sampai-sampai tidak muat lagi di hatiku. He he.”

Mentari mengangkat wajah dan langsung menatapku seolah tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Ekspresinya mendadak berubah drastis. Kulit mukanya langsung berubah bersemu merah. Senyum indah terukir di bibirnya yang merah merona. Dia menghentikan tangan kanannya yang sedang memegang sendok berisi nasi. Dia mematung sambil menatapku takjub.  

“Semangat, ya, Sayang, ya!” katanya dengan suara penuh semangat.

Tiba-tiba dia berdiri dan membungkuk ke arahku. Kedua tangannya bergerak cepat melewati permukaan meja makan lalu mendarat di pipi kanan dan kiriku. Dia mencubit kedua pipiku dengan gemas.

Waduh. Dikiranya aku adalah bayi mungilnya yang menggemaskan. Aku pura-pura meringis kesakitan.

Kami bertatapan cukup lama sambil saling melempar senyum. Senyumku kali ini benar-benar tulus. Selera makanku muncul kembali secara tiba-tiba. Sambil menatap wajah manisnya, kukunyah nasi goreng di mulutku. Entah kenapa sekarang rasanya begitu nikmat. Setiap bumbu yang ada di dalamnya dapat ditangkap sel-sel reseptor di lidahku sehingga menimbulkan sensasi kenikmatan luar biasa. Masakannya menjadi lezat berkali-kali lipat.

Tanganku terulur mengusap punggung tangannya yang masih menempel di pipiku. Kalau dihadapi dengan tepat dan bijak, istriku benar-benar menjadi bidadari surga, yang tidak hanya menyenangkan mata dari menatap kecantikannya, tetapi juga menyejukkan jiwa dari perhatiannya yang luar biasa. Rasa syukur pun kuucapkan berkali-kali karena pagi ini mampu meredam emosinya. Dampak positifnya langsung terasa. Perasaan positifnya langsung memancar tak terkira hingga pada akhirnya membuatku merasa berbunga-bunga.

Komentar