Vania melirik sebentar jam dinding ruang tamu. Hampir pukul sepuluh malam. Matanya tidak lepas dari pintu depan, masih menantikan Bunda Karin pulang. Tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah depan rumah. Dengan bergegas dia membukakan pintu. Rupanya itu bukan bunda Karin yang sedang dinantinya. Dia pun langsung kecewa.
Ratmi yang baru saja turun dari taksi online langsung berlari kecil mendekati teras lalu menyapa Vania. “Hai, Sayang.”
“Hai, Tante,” balas Vania dengan suara pelan dan terkesan ogah-ogahan. Diamatinya wajah Ratmi sebelum mempersilakannya masuk.
Vania melangkah masuk lebih dulu. Ratmi mengekor di belakangnya. Mereka lalu duduk di kursi tamu.
Tanpa berbasa-basi, Ratmi langsung menyampaikan maksudnya. “Tante dapat amanah dari papamu. Dia dan Bunda Karin belum bisa pulang. Jadi Tante diminta menemanimu di rumah.”
“Memangnya Papa sama Bunda lagi di mana dan ada pekerjaan apa, Tante?” Tatapan penuh selidik Vania tajam menyorot mata Ratmi.
“Tante belum tahu pasti.” Ratmi terlihat kikuk dan cemas.
Vania langsung menanggapi, “Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Tante? Vania yakin Tante tahu apa yang terjadi. Kalau Papa sama Bunda pulang telat, mereka selalu memberitahu Vania secara langsung, tidak pernah meminta tolong atau menyuruh orang lain.”
Melihat tatapan polos Vania, Ratmi pun menyerah. Dia tidak tega membohongi gadis itu. Dia pun menceritakan apa sebenarnya yang sedang terjadi.
“Aku mau ke rumah sakit! Sekarang!” teriak Vania sambil menangis terisak. “Kalau Tante tidak mau mengantar, aku bisa naik taksi!”
“Tapi pesan papamu, biar kamu di rumah saja. Nanti kamu akan dikabari perkembangan bundamu.” Ratmi mulai panik dan serba salah.
“Enggak mau, Tante! Vania harus ke rumah sakit. Vania harus melihat kondisi Bunda secara langsung,” jawab Vania tetap bersikeras. Dia pun berdiri dan melangkah ke kamarnya. Mungkin ingin berganti pakaian sekadarnya.
“Baiklah. Biar Tante antar.” Akhirnya Ratmi menyerah membujuk Vania.
Dia tidak dapat menghalangi gadis itu yang bersikeras ingin ke rumah sakit. Karena tidak mungkin membiarkan Vania naik taksi sendirian malam-malam begini, dia pun memutuskan untuk menemani Vania ke rumah sakit.
“Vania memberi tahu Widya dulu. Tidak mungkin dia ditinggal sendirian di rumah,” kata Vania lagi sambil berjalan bergegas menuju kamar adiknya.
Ratmi mengangguk. Dia langsung membuka ponsel dan memesan taksi online.
Beberapa menit kemudian Vania dan Widya muncul. Mereka tidak terlihat berganti pakaian. Vania masih mengenakan pakaian tidurnya tadi. Sepertinya dia pun tidak menyuruh adiknya itu berganti pakaian karena adiknya pun masih mengenakan pakaian tidur.
Widya bukan tipe orang yang cepat panik seperti kakaknya. Dia menganggap apa yang sedang dialami bunda Karin bukan masalah serius. Mereka tidak harus menjenguk langsung ke rumah sakit. Baginya, pesan papanya yang sempat diucapkan tante Ratmi tadi itu lebih masuk akal.
Melihat Widya seperti ogah-ogahan, Vania langsung memegang pergelangan tangan adiknya itu lalu menariknya ke luar rumah. “Kita berangkat, Tante,” katanya dengan langkah tergesa-gesa sambil terus memegangi pergelangan tangan adiknya.
Ratmi langsung berdiri dan ikut melangkah ke luar. "Kunci dulu pintu itu,” katanya mengingatkan Vania.
Vania segera mengambil kunci yang masih menempel di belakang pintu, memindahkannya ke bagian depan lalu menutupkan pintu itu. Dia memutar kunci itu sampai terdengar bunyi ceklek.
Mereka bertiga bergegas menuju mobil taksi online yang sudah menunggu di depan rumah. Ratmi duduk di dekat sopir. Sementara Vania dan Widya duduk di kursi belakang sopir. Beberapa saat kemudian MPV itu bergerak, menuju ke rumah sakit.
Di perjalanan, Ratmi sempat menelepon Miranda menanyakan ruang tempat Karin dirawat. Miranda menyebut ruang operasi sebelum panggilan itu kemudian ditutup.
Taksi berhenti tepat di depan lobi rumah sakit. Mereka bertiga bergegas turun dan berjalan cepat menuju ruang operasi seperti yang disebutkan Miranda tadi.
Ratmi belum pernah mendatangi rumah sakit ini sehingga dia memutuskan bertanya ke bagian informasi. Petugas itu memberitahukan kalau ruang operasi berada di lantai dua tepat di atas mereka sedang berdiri. Petugas itu juga menunjukkan tangga untuk naik ke lantai dua.
Vania langsung berlari menuju tangga yang ditunjukkan petugas itu. Ratmi memegangi Widya yang tampak tidak begitu bersemangat. Mereka berdua hanya berjalan, tapi sedikit lebih cepat dibandingkan berjalan biasanya.
Saat Vania tiba di ruang operasi, dia tidak melihat siapa pun di situ. Tidak ada ayahnya. Hanya ada seorang perawat yang kemudian lewat di depannya. Vania pun langsung menanyakan pasien bernama Karin yang sedang dioperasi. Si perawat menjawab kalau pasien dengan nama itu sudah di bawah ke ruang ICU. Si perawat juga menunjukkan di mana ruang itu. Tanpa pikir panjang, Vania langsung berlarian menuju arah yang ditunjuk si perawat.
Di perempatan lorong, Vania berbelok ke kiri seperti arahan perawat tadi. Agak di ujung lorong, dia langsung melihat ayahnya berdiri sambil menyandarkan punggung ke dinding. Dia yakin itu ruang yang dimaksud perawat tadi.
Arvin langsung menoleh ketika Vania mendekat. Dia memeluk putrinya itu dengan sangat erat. Sebenarnya dia sempat kaget Vania tiba-tiba muncul. Tapi dia tidak perlu memikirkan itu. Ada hal lain yang lebih penting yang harus dipikirkan sekarang. Bagaimana caranya agar Karin kembali siuman.
Setelah ayahnya melepaskan pelukan, Vania menoleh ke arah ruangan. “Itu Bunda, Pa?” tanyanya ketika melihat seorang perempuan sedang terbaring di dalam ruangan yang berbatas kaca transparan dengan tempatnya berada.
Ayahnya menganggukkan kepala.
“Apa yang terjadi, Pa?” tanya Vania dengan suara pelan dan bergetar.
Arvin menatap mata putrinya lekat-lekat. Dia seperti sedang menimbang-nimbang untuk menceritakan semuanya atau tidak. Akhirnya dia pun bersuara, “Bundamu terjatuh di tangga restoran dan mengalami pendarahan hebat. Dia sempat sadar sebentar lalu tim dokter langsung mengoperasinya untuk menyelamatkan bayi di dalam kandungannya. Setelah operasi, bundamu pingsan. Sampai sekarang belum juga siuman. Tapi alhamdulillah bayinya selamat. Sekarang sedang ditempatkan di tabung.”
Vania langsung menangis histeris setelah mendapat cerita ayahnya itu. Arvin pun kemudian sibuk menenangkannya dengan berbagai cara. Setelah agak tenang, Vania mengedarkan pandangan di sekelilingnya. Semua orang di situ dikenalinya. Miranda yang sudah lama tidak bertemu duduk di bangku panjang sambil sesekali mengelap pipinya yang berurai air mata. Dia sempat menyukai dan akrab dengan Miranda sebelum perempuan itu memutuskan pindah ke Australia. Vania belum tahu persis kenapa Miranda berada di sini.
Tatapan Vania terhenti ketika beradu tatap dengan Angela yang sedari tadi tidak bergerak berdiri sambil bersandar ke dinding. Angela terlihat sempat balik menatap sebentar ke arah Vania sebelum mengalihkan pandangan ke arah lain. Vania merasa mengenal wajah perempuan itu. Dia merasa pernah melihatnya. Namun dia belum begitu yakin di mana pernah melihat wajah itu. Rasanya bukan bertemu secara langsung. Darahnya langsung bergolak ketika teringat video ayahnya yang viral beberapa bulan lalu. Perempuan itulah yang sedang bersama ayahnya di dalam video itu.
Hampir tengah malam ketika Arvin meminta semua yang ada di situ untuk beristirahat. Miranda memilih tidur di bangku panjang di depan ruang ICU. Vania tertidur selonjoran di bangku panjang lainnya sambil berbantal paha ayahnya. Sementara Arvin sendiri tidur dalam posisi duduk sambil membelai rambut putrinya. Angela dan Ratmi pamit pulang dan berjanji akan datang kembali esok pagi. Arvin meminta tolong Ratmi untuk mengajak Widya menginap di rumahnya.
Vania masih tertidur pulas di bangku panjang sewaktu Angela, Ratmi, dan Widya datang kembali ke ruang ICU keesokan paginya. Arvin dan Miranda sedang berada di dalam ruangan di samping ranjang Karin. Baru saja denyut jantung Karin berhenti. Tim medis sempat melakukan prosedur kejut jantung untuk membuat jantungnya kembali berdetak. Mereka berhasil melakukan itu. Jantung Karin kembali berdenyut.
“Maafkan aku, Rin. Aku tidak pernah bermaksud membuatmu seperti ini,” ratap Miranda di samping tubuh Karin. Dia menggenggam jemari Karin dengan erat. Dia terus saja menangis dan mengoceh tak henti-henti, termasuk mengakui semua kesalahannya. Untung saja suaranya tidak terlalu kencang, hanya seperti berbisik di telinga Karin.
Karin tentu saja tidak menanggapi ucapan itu. Namun Miranda merasakan beberapa jemari Karin bergerak pelan ketika tadi dia meminta maaf. Apakah gerakan jemari itu merupakan pertanda bahwa Karin mendengarkan permohonan maafnya.
Angela dan Ratmi berdiri di ujung tempat Karin terbaring. Untuk pertama kalinya raut wajah Angela terlihat sedih. Terutama setelah dia menyaksikan Miranda menangis tersedu-sedu dan meminta maaf. Dia sebenarnya belum mengetahui sepenuhnya penyebab Miranda menangis sehisteris itu. Apakah Karin memang tidak tertolong lagi? Ataukah Miranda memang sedang sentimental?
Bagaimanapun, melihat Miranda seperti itu, rasa bersalahnya pun kembali muncul. Dia mendekati sisi kiri ranjang. Matanya mulai berkaca-kaca. Lalu tanpa bisa ditahannya, butiran bening muncul di sudut matanya. Ketika butiran itu membesar, gaya gravitasi menariknya sehingga butiran itu bergulir di pipinya yang putih dan mulus. Bersamaan dengan itu keluarlah kata-kata yang sangat jarang terdengar darinya, “Maafkan aku ya, Kinan.” Selanjutnya dia pun berubah menjadi wanita yang memiliki kepribadian lain, sangat jauh berbeda dengan dia yang biasanya. Dia menangis terisak-isak.
Arvin rupanya juga tersentuh dengan ucapan dua perempuan itu. Dia pun melakukan hal yang sama, meminta maaf pada istrinya itu. Digenggamnya tangan istrinya dengan erat. Tidak tertahankan lagi, dia pun ikut menangis tersedu-sedu.
Saat mereka sedang meratap, gelombang di layar indikator denyut jantung kembali melandai hingga membentuk garis lurus. Arvin kembali memanggil tim medis. Dengan sangat gesit para tim medis langsung melakukan prosedur sama seperti tadi. Sayangnya, setengah jam setelah prosedur itu dilakukan, gelombang itu tetap berbentuk garis lurus. Itu artinya jantung Karin gagal untuk berdenyut kembali. Itu artinya, “Dia sudah meninggal,” kata dokter ketua tim itu.
Arvin, Miranda, dan Angela langsung kembali menangis histeris sambil mengulang-ulang kata bernuansa penyesalan karena belum sempat mendapatkan maaf dari Karin. Cukup lama itu berlangsung.
Melihat hal itu, Ratmi pun bersuara, mencoba memenangkan, “Kalian melihat tidak tadi mbak Karin tersenyum manis saat kalian meminta maaf? Aku yakin mbak Karin mendengarkan dan memaafkan. Senyum itu adalah jawabannya.”
Miranda, Arvin, dan Angela kompak langsung menatap ke arah Ratmi seolah tidak percaya kalau kata-kata itu keluar dari mulutnya. Mereka bertiga juga kompak mengalihkan pandangan ke arah wajah Karin. Ucapan Ratmi benar. Karin masih tampak tersenyum tenang.
Beberapa menit kemudian, Vania yang baru saja terbangun karena keributan tadi masuk ke ruangan. Tidak perlu menunggu lama, dia langsung ikut menangis histeris setelah mengetahui bahwa bundanya telah tiada.
***
Sementara itu, di pagi hari yang sama namun di tempat yang berbeda yaitu di bandara, Bima tampak menatap lurus ke tempat parkir kendaraan. Matanya tak berkedip sedikit pun. Sesekali dia juga memperhatikan penumpang yang baru turun dari taksi, bus, atau kendaraan pribadi. Sepertinya dia masih menantikan Vania secara tiba-tiba muncul di sana, lalu berteriak memanggil namanya.
Hampir satu jam dia duduk di depan ruang keberangkatan yang langsung menghadap ke tempat parkir itu. Tapi, sampai ibunya menarik tangannya masuk ke ruang keberangkatan untuk melakukan check in, Vania tidak kunjung muncul.
Sesampainya di ruang tunggu, langsung dicarinya tempat duduk di bagian paling pojok, jauh dari kedua orang tua dan kedua adiknya. Dia segera membuka ponsel dan mengecek semua pesan yang masuk ke beberapa aplikasi. Sampai pesan terakhir dibuka, tidak satu pun pesan yang berasal dari Vania. Dia langsung menarik nafas dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Wajahnya tampak murung. Tangan kirinya bergerak pelan dan memegang kepalanya, lalu mengucek-ucek rambutnya yang tidak gatal.
Sempat terbersit keinginan di hatinya untuk mengirim pesan pada Vania, tapi kemudian diurungkannya. Dia tidak ingin Vania menjawab secara terpaksa. Jawaban yang diharapkannya adalah jawaban yang benar-benar datang dari dalam hati gadis itu dengan kesadaran sendiri. Karena itu, dia memutuskan untuk menunggu saja pesan dari Vania.
Dibiarkannya saja ponselnya tetap menyala. Sementara matanya tidak berkedip terus menatap layar ponsel itu. Dia langsung mengecek nama pengirim setiap kali pesan masuk. Banyak pesan dari teman-teman yang dikenalnya diabaikannya begitu saja. Sebaliknya, dia langsung membuka pesan yang belum ada namanya, berharap nomor itu adalah nomor baru Vania. Dia kembali kecewa ketika mengetahui pesan itu bukanlah berasal dari gadis yang telah mengisi ruang khayalnya selama setahun ini.
Dari ekspresi wajahnya yang gundah gulana, dapat ditebak kalau Bima masih mengharapkan sebuah pesan istimewa dari Vania. Khayalannya kembali mengelana. Di dunia sana dia melihat Vania mengiriminya pesan yang kira-kira berbunyi, “Jangan tinggalkan aku, Bim. Aku juga sayang kamu. Tetaplah tinggal di sini.”
Panggilan kepada seluruh penumpang tujuan Dubai untuk segera memasuki pesawat membuyarkan lamunannya. Bandara itu merupakan tempat transit sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke London Inggris, Bima pun menyadari itu adalah panggilan untuk dirinya juga. Dia langsung berdiri, lalu berjalan mengekor di belakang kedua orang tuanya dan ketiga kakaknya menuju pintu keberangkatan. Sambil berjalan, matanya tidak pernah lepas dari layar ponsel.
Bima masih saja menatap layar ponsel ketika sudah berada di dalam pesawat. Dia masih berharap pesan yang ditunggu-tunggunya muncul di layar. Kalau andainya pesan yang diidamkannya itu benar-benar masuk, dia sudah menyusun rencana. Dia akan segera keluar dari pesawat. Dia akan membatalkan keberangkatannya ke London. Dia akan tetap di Jakarta, tinggal bersama neneknya.
Namun, sampai pramugari mengingatkan untuk mematikan ponsel, pesan yang diharapkannya tidak kunjung muncul di layar. Memang banyak pesan dari teman-temannya yang masuk. Isinya hampir sama. Mereka mengucapkan selamat tinggal, hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan, serta selamat menikmati tempat tinggal yang baru. Sayangnya, tidak ada satu pun pesan yang masuk itu berasal dari nomor Vania. Bima pun mematikan ponselnya. Kini, jawabannya sudah jelas, tidak ada lagi alasan baginya untuk tetap tinggal di Jakarta.
Keterangan:
Tulisan di atas adalah salah satu bab di dalam novel Kepingan Ketiga
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.