Langsung ke konten utama

BAB 3 EKSPERIMEN PERTAMA

 

Aku baru saja menghempaskan pantat ke atas sofa di ruang tamu ketika istriku tiba-tiba datang menghampiri sambil menenteng keranjang kecil di tangan kanannya. Tanpa ba-bi-bu, tangan kirinya langsung memegang pergelangan tanganku lalu menarikku.

Terpaksa aku kembali berdiri.

Sepersekian detik kemudian dia berbalik badan lalu berjalan cepat menuju pintu depan rumah sambil terus menarikku. Dia membuka pintu dan keluar menuju teras. Tanganku dilepaskannya sebentar untuk menutup sekaligus mengunci pintu.

Aku hanya berdiri bengong melihat kelakuan anehnya.

Dia masih tidak bersuara.

Begitu pula Aku.

Sebenarnya aku sangat penasaran. Apa sebenarnya yang hendak dilakukannya. Rencana apa lagi yang hendak dieksekusinya. Walaupun begitu, aku belum berani bersuara. Kubiarkan saja dia beraksi.

Setelah memutar-mutar gagang pintu guna memastikan pintu telah terkunci, dia kembali memegang pergelangan tanganku dengan erat lalu melangkah ke halaman depan rumah. Langkah kakinya begitu tangkas dan gesit tatkala menuruni teras dan menyusuri jalan setapak menuju pagar bambu di depan rumah kami.

Aku masih mengikuti tanpa memberikan perlawanan sama sekali.

Selepas melewati pagar, dia berbelok ke kanan tanpa mengurangi kecepatan.

Rona jingga di ufuk barat mulai memudar. Kegelapan mulai hadir dan menyelimuti langit. Aku mulai sulit membedakan antara batu, tanah, beton dan jalan aspal. Semua mulai tampak sama. Hanya selokan di pinggir jalan yang jauh lebih gelap yang masih bisa kukenali sehingga langkah kakiku tidak sampai terperosok ke sana.

Istriku masih menarikku dan melangkah cepat menyusuri jalan aspal. Arah yang ditujunya adalah gerbang keluar masuk kompleks perumahan. Itu satu-satunya pintu masuk sekaligus keluar dari perumahan kami.

Sambil terus melangkah cepat guna mengimbangi langkah istriku, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Lampu-lampu di teras rumah para penghuni kompleks sudah mulai menyala. Siap menyambut malam. Suara jangkrik di sela-sela tanaman di depan rumah warga pun mulai terdengar. Entah kenapa, kalau sudah lewat maghrib, perumahan kami terasa begitu lengang, agak mirip suasana kampong halamanku di pinggiran Sumatera Selatan sana.

“Kita mau ke mana?” tanyaku pada akhirnya, karena tidak bisa menahan rasa penasaranku lebih lama lagi.

Dia tidak langsung menjawab. Tatapannya masih lurus ke depan. Kecepatan langkahnya pun tidak berkurang.

Setelah beberapa menit tidak merespon, akhirnya dia menjawab pertanyaanku. 

“Tadi siang Bu Somad memberi tahu tukang sayur kalau kucingnya baru saja melahirkan. Anaknya empat. Si Mas Tukang Sayur itu lalu menceritakannya kepada Bu Lastri. Tadi sore Tari ketemu Bu Lastri di masjid ketika pengajian ibu-ibu RT. Bu Lastri menceritakan kelahiran anak kucing itu kepada ibu-ibu di pengajian. Tari sempat menyimak ketika Bu Lastri menceritakan itu,” katanya menjelaskan dalam satu tarikan napas.  

“Lha?! Apa hubungannya dengan kita?! Ngapain juga kita mengurusi kucing melahirkan?!” Aku masih terpana, benar-benar tidak percaya dengan ceritanya barusan.

Kembali tidak ada tanggapan.

Terus sekarang kita mau ke mana?” tanyaku makin heran.

“Ke rumah Bu Somad,” jawabnya enteng.

Ngapain? Menjenguk kucing Bu Somad yang baru melahirkan itu?!” tanyaku mulai protes. Semenjak ceramahnya tentang metode dan sikap ilmiah pagi tadi, dia makin aneh saja.

Dia kembali tidak menanggapi. Kecepatan langkahnya tidak berkurang sama sekali. Tapi tanganku sudah dilepaskannya.

Kami pun mendekati salah satu pertigaan. Arah lurus ke depan adalah gapura masuk perumahan. Jarak gapura itu sekitar lima puluh meter dari pertigaan.

Tepat di pertigaan, dia berbelok ke kiri. Aku pun ikut berbelok sambil mempercepat langkah agar dapat berjalan sejajar dengannya. Rumah Bu Somad yang barusan disebutkannya berada di ujung jalan yang sedang kami susuri.

Dia belum juga menanggapi pertanyaanku. Langkah cepatnya belum berkurang sedikit pun, masih terus membelah jalanan kompleks perumahan yang sudah lengang.

Penghuni kompleks perumahan ini kebanyakan bekerja di siang hari. Menjelang maghrib, mereka semua sudah berada di dalam rumah masing-masing. Tidak ada lagi orang atau kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Paling-paling sebentar lagi akan bermunculan gerobak penjual makanan keliling, mulai dari tukang bakso, tukang mie tek tek, hingga tukang nasi goreng.

“Anak kucing yang baru lahir itu merupakan objek eksperimen yang tepat.” Akhirnya dia menanggapi pertanyaanku sambil terus berjalan, tanpa sedikit pun mengurangi kecepatan.

“Apa hubungannya anak kucing dengan ilmu fisika partikel atau fisika quantum?!” tanyaku makin bingung dengan jawabannya itu.

Setahuku, objek penelitian istriku selama ini makhluk halus, yang saking halusnya tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Saking seringnya dia menyebut makhluk-makhluk itu, aku pun ikut hapal nama-namanya, misalnya proton, neutron, elektron, positron, boson, lepton, hingga quark. Sekarang kenapa dia tiba-tiba berubah tertarik kepada kucing? Keanehan ini benar-benar mengusik akal sehatku.

“Bukan untuk penelitian fisika kuantum. Tapi untuk penelitian membuktikan keanehan Abang.” Ciri khasnya mulai muncul, mudah sewot.

Dahiku langsung mengernyit. Aku tidak tahan lagi untuk protes, “Tunggu, tunggu, tunggu! Kenapa aku dibawa-bawa atas kelahiran anak kucing itu?! Aku tidak pernah terlibat dengan induk kucing itu. Aku juga tidak pernah menulis tentang anak kucing. Aku cukup waras untuk tidak menjadikan anak kucing sebagai objek cerita. Aku ini penulis novel remaja dan dewasa, bukan anak-anak. Kalau untuk anak-anak, bolehlah menjadikan binatang sebagai tokoh utama. Lha! kalau untuk remaja, apa menariknya cerita tentang si anak kucing. Bisa-bisa reputasiku tercemar gara-gara menceritakan tentang anak kucing.” 

“Iihh...! Susah banget, sih, menjelaskan sesuatu pada Abang, nih! Lelet banget. Pokoknya ikut saja, deh!” balasnya dengan nada kesal, sambil kembali menangkap pergelangan tanganku dan menariknya dengan cukup kasar.

Darahku berdesir. Ucapannya barusan kembali membuatku tersinggung. Kali ini benar-benar tersinggung. Belakangan ini cukup sering kudengar kata-kata yang tidak tersaring dengan baik dari mulutnya. Semenjak menikah, omongannya jadi berubah, sering menggunakan kata-kata yang menyinggung perasaan. Kalau bukan karena aku sangat mencintainya, sudah lama aku ingin membalas dengan kata-kata kasar pula. Tapi karena aku sangat takut kehilangan dia, kuurungkan niatku untuk membalas umpatannya itu. Aku pun memilih untuk tidak lagi bersuara.

Dia terus berjalan cepat di depanku.

Aku menatapnya dengan pikiran yang kembali kacau balau. Menjaga keharmonisan rumah tanggaku dengannya lumayan susah, kalau tidak bisa dikatakan sangat sulit. Untuk menggambarkan betapa sulitnya menciptakan keharmonisan itu, aku akan membuat perumpamaannya.

Rumah tangga kami dapat diibaratkan sebuah atom. Seperti yang sering dipelajari dalam mata pelajaran Fisika atau Kimia di SMA, atom tersusun atas tiga partikel yaitu proton, neutron dan elektron. Proton bermuatan positif, neutron tidak bermuatan, dan elektron bermuatan negatif. Proton dan neutron berada di tengah dan membentuk inti atom. Sementara elektron berada di pinggir mengelilingi inti. Kestabilan sebuah atom salah satunya ditentukan oleh keseimbangan antara muatan positif pada proton dan muatan negatif pada elektron. Atom dikatakan seimbang dan stabil ketika kedua muatan yang berlawanan itu sama besarnya. Ketika salah satu muatannya lebih besar, misalnya muatan negatif lebih besar daripada muatan positif atau sebaliknya, maka atom tersebut menjadi tidak stabil, memiliki kecenderungan untuk bereaksi dengan atom atau molekul lain, yang akan mengubah sifat atau pun bentuknya.

Kalau misalnya seorang istri diibaratkan muatan positif pada atom, sementara suami diibaratkan muatan negatifnya, maka rumah tangga akan stabil, seimbang, atau harmonis, ketika suami dan istri memiliki muatan yang seimbang atau sama besarnya. Namun, hal itu tidak terjadi pada kami. Rumah tangga kami ini agak sulit untuk harmonis karena muatan kami sangat jomplang. Muatan istriku begitu besarnya, sedangkan muatanku harus kuakui dengan jujur dan berat hati, sangat kecil.

Memang ada beberapa solusi untuk kasus seperti kami. Alternatif pertama, aku harus berupaya meningkatkan besaran muatanku sehingga dapat menyamai muatan istriku. Dengan begitu muatan kami akan sama besarnya sehingga bisa saling menyeimbangkan. Namun faktanya, aku sangat kesulitan meningkatkan kualitas diri untuk memperbesar muatanku. Sepertinya muatanku sudah mentok seperti ini, tidak bisa ditingkatkan lagi.

Alternatif kedua, istriku menurunkan muatannya sampai sejajar dengan muatanku. Tapi ini juga sulit. Dia merupakan orang yang sangat perfeksionis, menginginkan segala sesuatu sempurna. Dia selalu menatap jauh ke masa depan. Dia selalu berupaya rangka meningkatkan kualitas diri. Menurunkan muatan berarti kemunduran, atau menjauhi titik kesempurnaan yang diidamkannya. Tidak ada istilah turun level dalam kamusnya. Jadi, alternatif kedua ini pun sulit terwujud.

Maka kami pun harus mencari alternatif ketiga yang dapat memecahkan solusi permasalahan rumah tangga kami. Solusi inilah yang diharapkan dapat menjaga titik keseimbangan kami walaupun muatan kami berbeda jauh. Secara fisika dan kimia, menjaga atom yang muatannya jomplang untuk tetap stabil nampaknya sulit dilakukan. Sangat jarang terjadi bahkan bisa dikatakan mustahil sebuah atom atau molekul bisa stabil sementara muatan positif dan negatifnya tidak sama besar. Tapi, terkadang hukum fisika dan kimia tidak berlaku dalam kehidupan sosial. Keseimbangan antara sesuatu yang berbeda besaran muatan bisa saja terjadi. Keyakinan itu yang kupegang sehingga aku tidak menyerah menjalani rumah tanggaku dengannya.

Memang sangat sering kami bertengkar mulut seperti sekarang. Setiap kali terjadi pertengkaran, sudah dapat dipastikan siapa pemenangnya. Istriku. Bukan berarti aku selalu kalah berdebat. Sering kali aku memang sengaja mengalah. Bagiku, pernikahan bukan ajang kompetisi, pertandingan, apalagi pertempuran. Tidak ada istilah kalah dan menang. Aku mengalah bukan berarti kalah. Aku mengalah demi mempertahankan sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekedar predikat menang. Keharmonisan dan keutuhan rumah tangga jauh lebih penting daripada sekedar kemenangan dalam berdebat. Itu pula yang membuatku sekarang mengekor dengan rela ketika dia mengajak ke rumah Bu Somad.

Kecepatan langkah kakinya tidak berkurang sama sekali. Ketika mendekati ujung jalan perumahan yang buntu, dia menikung ke kiri masuk ke pagar rumah Bu Somad masih dengan kecepatan yang sama, layaknya seorang pembalap MotoGP. Langkahnya baru berhenti secara mendadak ketika tiba di depan pintu. Secara refleks tangannya langsung mengetuk pintu sambil mengucapkan salam,

“Assalamualaikum,” katanya hampir seperti berteriak saking semangatnya.

Tidak menunggu lama langsung terdengar jawaban, “Waalaikumsalam.” Suara laki-laki terdengar dari balik pintu.

Terdengar bunyi sret sret tanda pintu mulai dibuka. Beberapa detik kemudian muncullah wajah Pak Somad dari balik pintu yang telah terbuka.

“Eh, Bu Dosen,” sapa Pak Somad.

Dia langsung tersenyum dan sedikit menunduk seperti memberikan penghormatan. Rupanya profesi dosen masih mendapat tempat istimewa di hati masyarakat, termasuk dari Pak Somad yang mantan tentara ini.

Istriku ikut menunduk untuk memberikan penghormatan yang serupa sebab Pak Somad termasuk orang yang dituakan dan dihormati di kompleks perumahan kami.

Tanpa banyak basa basi, dia mempersilahkan kami masuk dan duduk di kursi di ruang tamu. Kursi rotan yang kami duduki tampak mulai reot, mungkin karena usianya yang sudah puluhan tahun seperti sang pemilik rumah.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruang tamu. Bentuk, ukuran, warna dinding, serta warna langit-langit ruang ini sama persis dengan ruang tamu di rumah kami. Rupanya Pak Somad sama seperti kami, belum mengubah penampilan luar dan dalam rumah, masih mempertahankan tampilan standar dari pengembang perumahan.

Setelah mengobrolkan hal-hal yang ringan, Istriku pun langsung mengutarakan maksudnya, “Kalau Bapak berkenan, kami mau merawat anak kucing Bapak yang baru lahir kemarin.”

Ekspresi wajah Pak Somad mendadak berubah. Awalnya kaget, lalu berubah ceria. Nampaknya dia sangat senang mendengar maksud istriku itu.

“Alhamdulillah. Akhirnya beban saya berkurang. Sudah lama saya kesal dengan kucing-kucing di kampung ini. Kenapa mereka senang betul berkumpul bahkan sampai melahirkan di rumah saya. Sudah beberapa kali saya membuang kucing-kucing itu ke tempat pembuangan sampah di perbatasan dengan kelurahan sebelah. Tapi mereka balik lagi ke rumah ini,” timpalnya mencurahkan segala kegundahannya terkait kucing-kucing itu.

Pak Somad berdiri dari tempat duduknya. “Ayo!” katanya. Tanpa berpikir lama, dia langsung mengajak kami ke gudang di belakang rumahnya.

Saat melewati ruang dapur, kami bertemu Bu Somad yang sedang memasak. Istriku melangkah mendekatinya, menyalaminya dengan sopan, lalu mengobrol sebentar. Sementara aku langsung mengekor di belakang Pak Somad yang sedang melangkah menuju gudang.

Gudang yang dimiliki Pak Somad tidak terlalu besar, seukuran kamar tidur, yaitu tiga kali tiga meter. Di dalamnya terdapat banyak sekali barang-barang yang tampak sudah tidak terpakai lagi, mulai alat masak, perabot ruang tamu, bekas alat-alat kendaraan, sampai alat pertukangan. Barang-barang tersebut berserakan begitu saja di lantai gudang. Tepat di sudut kanan terlihat tumpukan karung beras yang di atasnya bercokol anak-anak kucing yang sedang diincar istriku.

“Silakan dipilih mau yang mana,” kata Pak Somad menawariku.

“Yang mana saja, Pak.” Istriku yang baru saja bergabung langsung menjawab sambil tersenyum senang.

Pak Somad menoleh lalu tersenyum bahagia seperti baru saja berhasil terlepas dari beban hidup yang sangat berat.

“Silahkan diangkut dua ekor, Bang! “Tapi sebaiknya yang warna hitam dan putih saja, Bang. Biar mudah membedakannya,” katanya padaku.

 Aku menoleh sebentar ke arahnya.

Tampak tatapan penuh kegembiraan ditujukannya padaku.

Kini aku tahu alasan kenapa dia mengajakku. Aku dijadikannya sebagai petugas pengangkut anak kucing itu. Aku baru ingat kalau sudah lama dia alergi dengan rambut-rambut halus termasuk rambut kucing.

Aku tidak bisa menolak. Dengan berat hati, kudekati tumpukan karung tempat anak-anak kucing itu berada. Induknya tidak terlihat. Kuhitung jumlahnya. Ada lima ekor, lebih banyak daripada yang diceritakan istriku tadi. Mereka semua masih berlumuran darah yang mulai mengering. Aroma amis langsung menyeruak ketika aku semakin dekat. Perutku pun mulai bergejolak. Tapi tidak ada pilihan lain. Misi pengangkutan anak kucing ini sangat penting bagi istriku sehingga tidak mungkin kutolak. Mau tidak mau aku harus melakukannya.

Aku menarik napas dalam lalu menahannya. Dengan sedikit gemetar, kujulurkan tangan ke arah anak-anak kucing itu. Secara perlahan kuraih anak kucing berwarna hitam lalu memindahkannya ke keranjang kecil yang baru saja diserahkan istriku. Setelah itu giliran anak kucing yang berwarna putih.

“Yeeeyyy!!! Abang hebat!!!” teriaknya kegirangan setelah melihatku berhasil memindahkan dua ekor anak kucing ke keranjang yang telah disiapkannya.

Aku langsung buru-buru menjauh dan menghembuskan napas yang tadi sempat kutahan selama memindahkan kedua anak kucing itu. Seandainya aku lebih lama menghirup aroma darah kering tadi, bisa-bisa isi perutku benar-benar tumpah ruah di sini.

Melihatku berhasil memindahkan anak kucing itu dengan penuh perjuangan, Pak Somad pun kembali mengukir senyum indahnya. Tampak wajahnya memancarkan ekspresi kebahagiaan yang tidak terkira.

Dia pun mengajak kami kembali ke ruang tamu.

Di ruang tamu, kami hanya duduk sebentar karena istriku langsung mengajakku pulang. Dia meminta maaf karena tidak bisa mengobrol lebih lama.

Pak Somad mengangguk mengiyakan. Ekspresi ceria terus saja terpampang di wajahnya. Tampak sekali kalau berkurangnya anak kucing di rumahnya telah mengurangi beban hidupnya secara drastis.

***

 

Malam mulai merambat. Seperti biasa, setelah sholat isya kami makan malam berdua. Selera makanku turun drastis gara-gara teringat dengan anak kucing yang masih berdarah-darah tadi.

Di sela-sela sendokan nasi ke mulutnya, istriku langsung menjelaskan rancangan eksperimen sederhananya,

“Jadi begini, Bang. Kita biarkan kedua anak kucing itu tinggal di sini. Kita perlakukan mereka dengan perlakuan yang sama. Kita beri makanan yang sama dengan jumlah yang sama. Tapi, kita buat satu perbedaan perlakuan terhadap keduanya. Salah satunya menjadi objek tulisan Abang, sementara satunya lagi tidak dibahas dalam tulisan, dibiarkan tumbuh secara alamiah,” katanya panjang lebar.

Aku mengangguk mengiyakan, karena tidak punya pilihan lain selain menyetujui rencananya.

Selesai makan malam, aku langsung menuju ruang tamu sambil membawa laptop untuk mengeksekusi rencana istriku yang disampaikannya di meja makan tadi. Aku duduk tegap menghadap laptop siap menuliskan takdir kedua anak kucing itu.

Istriku dating membawa secangkir kopi. Dia kemudian berdiri di sampingku, siap memberikan instruksi secara rinci tentang eksperimennya.

“Keduanya dinamai saja dengan Lala dan Lili. Lala sebagai kucing eksperimen. Sementara Lili sebagai kucing kontrol. Nasib Lala silakan dituliskan. Sementara nasib Lili tidak usah,” katanya mulai mendiktekan idenya.

Aku pun mengetikkan kata-katanya itu di laptop. Atas usul istriku, perjalanan hidup si kucing Lala kubuat agak dramatis agar kalau benar-benar mewujud menjadi nyata, itu memang efek dari tulisanku. Sebenarnya aku tidak tega menuliskan si Lala harus jatuh dari genteng, berkelahi secara brutal dengan tikus got yang tubuhnya sama besar, lalu yang paling tragis, di usianya yang ke lima bulan, Lala mati tertabrak truk molen pengangkut semen cor yang bermuatan penuh.

Komentar