Aku baru saja menghempaskan pantat ke atas sofa di ruang tamu ketika istriku tiba-tiba datang menghampiri sambil menenteng keranjang kecil di tangan kanannya. Tanpa ba-bi-bu, tangan kirinya langsung memegang pergelangan tanganku lalu menarikku.
Terpaksa aku kembali berdiri.
Sepersekian detik kemudian dia berbalik badan lalu berjalan cepat menuju
pintu depan rumah sambil terus menarikku. Dia membuka pintu dan keluar menuju teras. Tanganku
dilepaskannya sebentar untuk
menutup sekaligus mengunci pintu.
Aku hanya berdiri bengong melihat kelakuan anehnya.
Dia masih tidak bersuara.
Begitu pula Aku.
Sebenarnya aku sangat penasaran. Apa sebenarnya yang hendak dilakukannya. Rencana
apa lagi yang hendak dieksekusinya. Walaupun begitu, aku
belum berani bersuara. Kubiarkan saja dia beraksi.
Setelah memutar-mutar gagang pintu guna memastikan pintu
telah terkunci, dia kembali memegang pergelangan tanganku dengan erat lalu melangkah
ke halaman depan rumah. Langkah kakinya begitu tangkas dan gesit tatkala menuruni teras dan
menyusuri jalan setapak menuju pagar bambu di depan rumah kami.
Aku masih mengikuti tanpa
memberikan perlawanan sama sekali.
Selepas melewati pagar, dia berbelok ke kanan tanpa
mengurangi kecepatan.
Rona jingga di ufuk barat mulai memudar. Kegelapan mulai
hadir dan menyelimuti langit. Aku mulai sulit membedakan antara batu, tanah,
beton dan jalan aspal. Semua mulai tampak sama. Hanya selokan di pinggir jalan
yang jauh lebih gelap yang masih bisa kukenali sehingga langkah kakiku tidak
sampai terperosok ke sana.
Istriku masih menarikku dan melangkah cepat menyusuri
jalan aspal. Arah yang ditujunya adalah gerbang keluar masuk kompleks
perumahan. Itu satu-satunya pintu masuk sekaligus keluar dari perumahan kami.
Sambil terus melangkah cepat guna mengimbangi langkah istriku,
kuedarkan pandangan ke sekeliling. Lampu-lampu di teras rumah para penghuni kompleks sudah mulai menyala. Siap menyambut malam. Suara jangkrik di sela-sela tanaman
di depan rumah warga pun mulai terdengar. Entah kenapa, kalau sudah lewat
maghrib, perumahan kami terasa begitu lengang, agak mirip suasana kampong halamanku di pinggiran Sumatera
Selatan sana.
“Kita mau ke mana?” tanyaku pada akhirnya, karena tidak bisa
menahan rasa penasaranku lebih
lama lagi.
Dia tidak langsung menjawab. Tatapannya masih lurus ke depan. Kecepatan langkahnya pun tidak berkurang.
Setelah beberapa menit tidak merespon, akhirnya dia menjawab pertanyaanku.
“Tadi siang Bu Somad memberi tahu tukang
sayur kalau kucingnya baru saja melahirkan. Anaknya empat. Si Mas Tukang Sayur itu lalu
menceritakannya kepada Bu Lastri. Tadi sore Tari ketemu Bu Lastri di masjid
ketika pengajian ibu-ibu RT. Bu Lastri menceritakan kelahiran anak kucing itu
kepada ibu-ibu di pengajian. Tari sempat menyimak ketika Bu Lastri menceritakan
itu,” katanya menjelaskan dalam satu tarikan napas.
“Lha?! Apa hubungannya dengan kita?! Ngapain juga kita mengurusi kucing melahirkan?!” Aku masih
terpana, benar-benar tidak percaya dengan ceritanya barusan.
Kembali tidak ada tanggapan.
Terus sekarang kita mau ke
mana?” tanyaku makin heran.
“Ke rumah Bu Somad,” jawabnya
enteng.
“Ngapain? Menjenguk kucing Bu Somad yang baru melahirkan itu?!” tanyaku mulai protes.
Semenjak ceramahnya tentang metode dan sikap ilmiah pagi tadi, dia makin aneh saja.
Dia kembali tidak menanggapi.
Kecepatan langkahnya tidak berkurang sama sekali. Tapi tanganku sudah
dilepaskannya.
Kami pun mendekati salah satu pertigaan. Arah lurus ke
depan adalah gapura masuk perumahan. Jarak gapura itu sekitar lima puluh meter
dari pertigaan.
Tepat di pertigaan, dia berbelok ke kiri. Aku pun ikut
berbelok sambil mempercepat langkah agar dapat berjalan sejajar dengannya.
Rumah Bu
Somad yang barusan disebutkannya berada di ujung jalan yang sedang kami susuri.
Dia belum juga menanggapi pertanyaanku. Langkah cepatnya
belum berkurang sedikit pun, masih
terus membelah jalanan kompleks perumahan yang sudah lengang.
Penghuni kompleks perumahan ini kebanyakan bekerja di
siang hari. Menjelang maghrib, mereka semua sudah berada di dalam rumah
masing-masing. Tidak ada lagi orang atau kendaraan yang berlalu lalang di
jalan. Paling-paling sebentar lagi akan bermunculan gerobak penjual makanan
keliling, mulai dari tukang bakso, tukang mie tek tek, hingga tukang nasi
goreng.
“Anak kucing yang baru lahir itu merupakan objek eksperimen
yang tepat.” Akhirnya dia menanggapi pertanyaanku sambil terus berjalan, tanpa
sedikit pun mengurangi kecepatan.
“Apa hubungannya anak kucing dengan ilmu fisika partikel
atau fisika quantum?!” tanyaku makin bingung dengan jawabannya itu.
Setahuku, objek penelitian istriku selama ini makhluk
halus, yang saking halusnya tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Saking
seringnya dia menyebut makhluk-makhluk itu, aku pun ikut hapal nama-namanya,
misalnya proton, neutron, elektron, positron, boson, lepton, hingga quark. Sekarang
kenapa dia tiba-tiba berubah tertarik kepada kucing? Keanehan ini benar-benar
mengusik akal sehatku.
“Bukan untuk penelitian fisika kuantum. Tapi untuk penelitian
membuktikan keanehan Abang.” Ciri khasnya mulai muncul, mudah sewot.
Dahiku langsung mengernyit. Aku tidak tahan lagi untuk
protes, “Tunggu,
tunggu, tunggu! Kenapa aku dibawa-bawa atas kelahiran anak kucing itu?! Aku tidak pernah
terlibat dengan induk kucing itu. Aku juga tidak pernah menulis tentang anak
kucing. Aku cukup waras untuk tidak menjadikan anak kucing sebagai objek
cerita. Aku ini penulis novel remaja
dan dewasa, bukan anak-anak. Kalau untuk anak-anak,
bolehlah menjadikan binatang sebagai tokoh utama. Lha! kalau untuk remaja, apa
menariknya cerita tentang si anak kucing. Bisa-bisa reputasiku tercemar
gara-gara menceritakan tentang anak kucing.”
“Iihh...! Susah banget, sih, menjelaskan sesuatu pada Abang, nih! Lelet banget. Pokoknya
ikut saja, deh!” balasnya dengan nada kesal, sambil kembali menangkap
pergelangan tanganku dan menariknya dengan cukup kasar.
Darahku berdesir. Ucapannya barusan kembali membuatku
tersinggung. Kali ini benar-benar tersinggung. Belakangan ini cukup sering kudengar kata-kata yang
tidak tersaring dengan baik dari mulutnya. Semenjak menikah, omongannya jadi
berubah, sering menggunakan kata-kata yang menyinggung perasaan. Kalau bukan
karena aku sangat mencintainya, sudah lama aku ingin membalas dengan kata-kata
kasar pula. Tapi karena aku sangat takut kehilangan dia, kuurungkan niatku
untuk membalas umpatannya itu. Aku pun memilih untuk tidak lagi bersuara.
Dia terus berjalan
cepat di depanku.
Aku menatapnya dengan pikiran yang kembali kacau balau. Menjaga
keharmonisan rumah tanggaku dengannya lumayan susah, kalau tidak bisa dikatakan
sangat sulit. Untuk menggambarkan betapa sulitnya menciptakan keharmonisan itu,
aku akan membuat perumpamaannya.
Rumah tangga kami dapat diibaratkan sebuah atom. Seperti
yang sering dipelajari dalam mata pelajaran Fisika atau Kimia di SMA, atom
tersusun atas tiga partikel yaitu proton, neutron dan elektron. Proton
bermuatan positif, neutron tidak bermuatan, dan elektron bermuatan negatif.
Proton dan neutron berada di tengah dan membentuk inti atom. Sementara elektron
berada di pinggir mengelilingi inti. Kestabilan sebuah atom salah satunya ditentukan
oleh keseimbangan antara muatan positif pada proton dan muatan negatif pada
elektron. Atom dikatakan seimbang dan stabil ketika kedua muatan yang
berlawanan itu sama besarnya. Ketika salah satu muatannya lebih besar, misalnya
muatan negatif lebih besar daripada muatan positif atau sebaliknya, maka atom
tersebut menjadi tidak stabil, memiliki kecenderungan untuk bereaksi dengan atom atau molekul lain,
yang akan mengubah sifat atau pun bentuknya.
Kalau misalnya seorang istri diibaratkan muatan positif
pada atom, sementara suami diibaratkan muatan negatifnya, maka rumah tangga
akan stabil, seimbang, atau harmonis, ketika suami dan istri memiliki muatan
yang seimbang atau sama besarnya. Namun, hal itu tidak terjadi pada kami. Rumah
tangga kami ini agak sulit untuk harmonis karena muatan kami sangat jomplang.
Muatan istriku begitu besarnya, sedangkan muatanku harus kuakui dengan jujur
dan berat hati, sangat kecil.
Memang ada beberapa solusi untuk kasus seperti kami.
Alternatif pertama, aku harus berupaya meningkatkan besaran muatanku sehingga
dapat menyamai muatan istriku. Dengan begitu muatan kami akan sama besarnya
sehingga bisa saling menyeimbangkan. Namun faktanya, aku sangat kesulitan
meningkatkan kualitas diri untuk memperbesar muatanku. Sepertinya muatanku
sudah mentok seperti ini, tidak bisa ditingkatkan lagi.
Alternatif kedua, istriku menurunkan muatannya sampai
sejajar dengan muatanku. Tapi ini juga sulit. Dia merupakan orang yang sangat perfeksionis,
menginginkan segala sesuatu sempurna. Dia selalu menatap jauh ke masa depan. Dia selalu berupaya rangka
meningkatkan kualitas diri. Menurunkan muatan berarti kemunduran, atau menjauhi
titik kesempurnaan yang diidamkannya. Tidak ada istilah turun level dalam
kamusnya. Jadi, alternatif kedua ini pun sulit terwujud.
Maka kami pun harus mencari alternatif ketiga yang dapat
memecahkan solusi permasalahan rumah tangga kami. Solusi inilah yang diharapkan
dapat menjaga titik keseimbangan kami walaupun muatan kami berbeda jauh. Secara
fisika dan kimia, menjaga atom yang muatannya jomplang untuk tetap stabil
nampaknya sulit dilakukan. Sangat jarang terjadi bahkan bisa dikatakan mustahil
sebuah atom atau molekul bisa stabil sementara muatan positif dan negatifnya
tidak sama besar. Tapi, terkadang hukum fisika dan kimia tidak berlaku dalam
kehidupan sosial. Keseimbangan antara sesuatu yang berbeda besaran muatan bisa
saja terjadi. Keyakinan itu yang kupegang sehingga aku tidak menyerah menjalani
rumah tanggaku dengannya.
Memang sangat sering kami bertengkar mulut seperti
sekarang. Setiap kali terjadi pertengkaran, sudah dapat dipastikan siapa
pemenangnya. Istriku. Bukan berarti aku selalu kalah berdebat. Sering kali aku
memang sengaja mengalah. Bagiku, pernikahan bukan ajang kompetisi,
pertandingan, apalagi pertempuran. Tidak ada istilah kalah dan menang. Aku
mengalah bukan berarti kalah. Aku mengalah demi mempertahankan sesuatu yang
jauh lebih berharga dari sekedar predikat menang. Keharmonisan dan keutuhan
rumah tangga jauh lebih penting daripada sekedar kemenangan dalam berdebat. Itu
pula yang membuatku sekarang mengekor dengan rela ketika dia mengajak ke rumah Bu Somad.
Kecepatan langkah kakinya tidak berkurang sama sekali. Ketika mendekati ujung jalan perumahan yang buntu, dia menikung ke kiri masuk
ke pagar rumah Bu Somad masih dengan kecepatan yang sama, layaknya seorang pembalap MotoGP. Langkahnya baru berhenti secara
mendadak ketika tiba di depan pintu. Secara refleks tangannya langsung mengetuk
pintu sambil mengucapkan salam,
“Assalamualaikum,” katanya hampir seperti berteriak
saking semangatnya.
Tidak menunggu lama langsung terdengar jawaban, “Waalaikumsalam.”
Suara laki-laki terdengar dari
balik pintu.
Terdengar bunyi sret sret tanda pintu mulai dibuka.
Beberapa detik kemudian muncullah wajah Pak Somad dari balik pintu yang telah
terbuka.
“Eh, Bu Dosen,” sapa Pak Somad.
Dia langsung tersenyum dan sedikit menunduk seperti
memberikan penghormatan. Rupanya profesi dosen masih mendapat tempat istimewa
di hati masyarakat, termasuk dari Pak Somad yang mantan tentara ini.
Istriku ikut menunduk untuk memberikan penghormatan yang
serupa sebab Pak Somad termasuk orang yang dituakan dan dihormati di kompleks
perumahan kami.
Tanpa banyak basa basi, dia mempersilahkan kami masuk
dan duduk di kursi di ruang tamu. Kursi rotan yang kami duduki tampak mulai
reot, mungkin karena usianya yang sudah puluhan tahun seperti sang pemilik
rumah.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruang tamu. Bentuk,
ukuran, warna dinding, serta warna langit-langit ruang ini sama persis dengan
ruang tamu di rumah kami. Rupanya Pak Somad sama seperti kami, belum mengubah
penampilan luar dan dalam rumah, masih mempertahankan tampilan standar dari
pengembang perumahan.
Setelah mengobrolkan hal-hal yang ringan, Istriku pun langsung
mengutarakan maksudnya, “Kalau Bapak berkenan, kami mau merawat anak kucing Bapak yang baru lahir
kemarin.”
Ekspresi wajah Pak Somad mendadak berubah. Awalnya
kaget, lalu berubah ceria. Nampaknya dia sangat senang mendengar maksud istriku
itu.
“Alhamdulillah. Akhirnya beban saya berkurang. Sudah
lama saya kesal dengan kucing-kucing di kampung ini. Kenapa mereka senang betul
berkumpul bahkan sampai melahirkan di rumah saya. Sudah beberapa kali saya
membuang kucing-kucing itu ke tempat pembuangan sampah di perbatasan dengan kelurahan sebelah. Tapi mereka balik lagi ke rumah ini,” timpalnya mencurahkan segala
kegundahannya terkait kucing-kucing itu.
Pak Somad berdiri dari tempat
duduknya. “Ayo!” katanya. Tanpa berpikir lama, dia langsung mengajak kami
ke gudang di belakang rumahnya.
Saat melewati ruang dapur, kami bertemu Bu Somad yang
sedang memasak. Istriku melangkah mendekatinya, menyalaminya dengan sopan, lalu mengobrol
sebentar. Sementara aku langsung mengekor di belakang Pak Somad yang sedang
melangkah menuju gudang.
Gudang yang dimiliki Pak Somad tidak terlalu besar,
seukuran kamar tidur, yaitu tiga kali tiga meter. Di dalamnya terdapat banyak
sekali barang-barang yang tampak
sudah tidak terpakai lagi, mulai alat masak, perabot ruang
tamu, bekas alat-alat kendaraan, sampai alat pertukangan. Barang-barang
tersebut berserakan begitu saja di lantai gudang. Tepat di sudut kanan terlihat
tumpukan karung beras yang di atasnya bercokol anak-anak kucing yang sedang
diincar istriku.
“Silakan dipilih mau yang mana,” kata Pak Somad
menawariku.
“Yang mana saja, Pak.” Istriku yang baru saja bergabung
langsung menjawab sambil tersenyum senang.
Pak Somad menoleh lalu tersenyum
bahagia seperti baru saja berhasil terlepas dari beban hidup yang sangat berat.
“Silahkan diangkut dua ekor, Bang! “Tapi sebaiknya yang warna hitam dan putih
saja, Bang. Biar mudah membedakannya,” katanya padaku.
Aku menoleh sebentar ke arahnya.
Tampak tatapan penuh kegembiraan
ditujukannya padaku.
Kini aku tahu alasan kenapa dia mengajakku. Aku
dijadikannya sebagai petugas pengangkut anak kucing itu. Aku baru
ingat kalau sudah lama dia alergi dengan rambut-rambut halus
termasuk rambut kucing.
Aku tidak
bisa menolak. Dengan berat hati, kudekati tumpukan karung
tempat anak-anak kucing itu berada. Induknya tidak terlihat. Kuhitung
jumlahnya. Ada lima ekor, lebih
banyak daripada yang diceritakan istriku tadi. Mereka semua masih berlumuran
darah yang mulai mengering. Aroma amis langsung
menyeruak ketika aku semakin dekat. Perutku pun mulai bergejolak. Tapi tidak ada pilihan lain. Misi
pengangkutan anak kucing ini sangat penting bagi istriku sehingga tidak mungkin
kutolak. Mau tidak mau aku harus melakukannya.
Aku menarik napas dalam lalu
menahannya. Dengan sedikit gemetar, kujulurkan tangan ke arah anak-anak kucing itu. Secara perlahan kuraih anak kucing berwarna hitam lalu memindahkannya ke keranjang
kecil yang baru saja diserahkan istriku. Setelah itu giliran anak
kucing yang berwarna putih.
“Yeeeyyy!!! Abang hebat!!!” teriaknya kegirangan setelah
melihatku berhasil memindahkan dua ekor anak kucing ke keranjang yang telah disiapkannya.
Aku langsung
buru-buru menjauh dan
menghembuskan napas yang tadi sempat kutahan selama memindahkan kedua anak
kucing itu. Seandainya aku lebih lama menghirup aroma darah kering tadi, bisa-bisa isi
perutku benar-benar tumpah ruah di sini.
Melihatku berhasil memindahkan anak kucing itu dengan penuh perjuangan,
Pak Somad pun kembali mengukir senyum indahnya. Tampak wajahnya
memancarkan ekspresi kebahagiaan yang tidak terkira.
Dia pun mengajak kami kembali ke ruang tamu.
Di ruang tamu, kami hanya duduk sebentar karena
istriku langsung mengajakku pulang. Dia meminta maaf karena tidak bisa mengobrol lebih lama.
Pak Somad mengangguk mengiyakan. Ekspresi ceria terus saja terpampang di wajahnya. Tampak sekali kalau berkurangnya anak kucing di rumahnya telah
mengurangi beban hidupnya secara drastis.
***
Malam mulai merambat. Seperti biasa, setelah sholat isya
kami makan malam berdua. Selera makanku turun drastis gara-gara teringat dengan anak kucing
yang masih berdarah-darah tadi.
Di sela-sela sendokan nasi ke mulutnya, istriku langsung
menjelaskan rancangan eksperimen sederhananya,
“Jadi begini,
Bang. Kita biarkan kedua anak kucing itu tinggal di sini.
Kita perlakukan mereka dengan perlakuan yang sama. Kita beri makanan yang sama
dengan jumlah yang sama. Tapi, kita buat satu perbedaan perlakuan terhadap
keduanya. Salah satunya menjadi objek tulisan Abang, sementara satunya lagi
tidak dibahas dalam tulisan, dibiarkan tumbuh secara alamiah,” katanya panjang
lebar.
Aku mengangguk mengiyakan, karena tidak punya pilihan
lain selain menyetujui rencananya.
Selesai
makan malam, aku langsung menuju
ruang tamu sambil membawa laptop untuk mengeksekusi
rencana istriku yang
disampaikannya di meja makan tadi. Aku duduk tegap menghadap laptop siap menuliskan takdir
kedua anak kucing itu.
Istriku dating membawa secangkir kopi.
Dia kemudian berdiri di sampingku, siap memberikan
instruksi secara rinci tentang eksperimennya.
“Keduanya dinamai saja dengan Lala dan Lili. Lala
sebagai kucing eksperimen. Sementara Lili sebagai kucing kontrol. Nasib Lala silakan
dituliskan. Sementara nasib Lili tidak usah,” katanya mulai mendiktekan idenya.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.