Langsung ke konten utama

BAB 4 EKSPERIMEN KEDUA

 

Keesokan harinya, istriku mulai beraksi. Dia mengerjakan semua aktivitas yang telah kutuliskan tadi malam. Tampak kegembiraan luar biasa di raut wajahnya. Aku tidak tahu kegembiraannya itu karena apa. Apakah karena dia memang menyukai anak kucing. Atau karena anak kucing itu telah menjadi objek eksperimennya. Entahlah. Aku tidak perlu bersusah payah mencari penyebabnya. Hal yang terpenting, melihatnya gembira membuatku turut bahagia.

Hari pun terus berganti. Dia memperlakukan Lala dan Lili secara adil setiap hari. Makanan dan minuman untuk mereka dibelinya di supermarket. Tempat tidur keduanya dijahitkannya dari baju-baju bekas. Tidak lupa dia juga membuatkan tempat bermain bersama. Saking seriusnya, dia juga memasang CCTV di beberapa titik rumah sehingga bisa mengawasi perilaku keduanya ketika sedang berada di kampus.

Rupanya, makin lama pikiran dan perilakunya makin aneh saja. Eksperimen pertamanya baru berjalan dua minggu, tapi dia sudah mengusulkan eksperimen berikutnya.

“Hasil dari satu eksperimen belum meyakinkan. Setidaknya minimal dilakukan tiga buah eksperimen, baru hasilnya dianggap valid, benar, serta dapat dipercaya kebenarannya,” katanya memberikan argumen saat kami sedang makan siang di sebuah objek wisata.

Aku bergeming. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Objek wisata ini lumayan indah. Kombinasi hutan dan danau yang masih alami dengan bangunan-bangunan klasik khasbeberapa daerah di Indoensia membuatnya lumayan unik. Aku pun pura-pura sedang menikmati pemandangan yang terbentang di sekitar kami.

Istriku tidak terlalu hirau dicueki. Dia terus saja nyerocos menjelaskan, walau aku tidak begitu memperhatikan.

“Kebenaran ilmiah itu sifatnya konsisten atau tetap, tidak berubah-ubah. Jika jawabannya tidak, maka selalu tidak. Sebaliknya, jika jawabannya iya, maka selalu iya. Supaya tahu apakah hasilnya memang konsisten, maka perlu diuji dengan eksperimen berkali-kali,” lanjutnya dengan penuh antusias.

Aku masih bergeming. Memprotes ucapannya sama saja dengan menabuh gendering perang.

“Kemaren sore Tari mendapat kabar tentang Pak Nurman yang tinggal di kampung di luar kompleks perumahan kita. Kambing beliau baru saja melahirkan anak sepasang. Tari hendak menjadikan sepasang anak kambing itu sebagai objek eksperimen kita berikutnya.Dia masih terus menjelaskan dengan menggebu-gebu walaupun tidak kutanggapi.

Haanya sampai di situ penjelasannya karena aku pamit ke toilet. 

Sekembali dari toilet, aku langsung mengajaknya pulang. Sepanjang perjalanan pulang, dia tidak lagi membahas anak kambing Pak Nurman.

Kupikir, rencana tentang anak kambing itu sudah dibatalkannya, karena dia tidak lagi membahasnya ketika kami sampai di rumah. Ketika makan malam, dia malah membahas tentang deadline pengiriman artikel penelitiannya yang sudah dekat.

Rupanya aku keliru. Keesokan paginya dia kembali melanjutkan penjelasan tentang rencananya dengan anak kambing. Setelah kusimak secara cermat, keinginannya itu bakal merepotkanku. Akhirnya aku pun bersuara,

“Rasanya itu bukan rencana yang baik. Tidak perlu mengeluarkan uang untuk melakukan hal yang belum jelas manfaatnya.” jawabku lembut dan bijaksana untuk menunjukkan ketidaksetujuanku. Bukan apa-apa, dia mulai memberi kode ingin menggunakan uang tabunganku yang sudah sangat minim untuk membeli dua ekor anak kambing itu.

“Tidak apa-apa tabungannya dipakai dulu, ya, Sayang. Tenang saja, bakal ada gantinya, kok. Bukankah Abang penulis novel terkenal? Sebentar lagi novel baru Abang akan diterbitkan. InsyaAllah novel baru itu bakal laris manis. Abang bisa nabung lagi,” katanya terus merayu dengan lembut, halus, dan mendayu-dayu.

Aku berpura-pura tidak mendengar. Tatapanku terus kuarahkan ke nasi goreng di atas piring, sambil menyendok dan melahapnya dengan pelan. Kupastikan dia mengucapkan kata-kata tadi sambil mengukir senyum indahnya ke arahku, yang biasanya selalu berhasil meluluhkan hatiku. Aku menahan diri untuk tidak menatap wajahnya, agar keputusanku tidak berubah. Kalau sampai aku menatapnya, dan terpana dengan senyum indahnya, maka dapat dipastikan aku akan luluh. Setegar apa pun keputusanku, pasti akan berubah. Itu sudah sering terjadi.

Kami berdiam diri cukup lama sampai akhirnya, “Abang, abang, abang....” katanya memanggilku dengan manja.

Aku yang mulai melupakan usulannya barusan secara refleks menoleh. Dan terlihatlah senyum indahnya. Luluhlah hatiku. Hadooohh...

 

***

 

Perjuanganku kali ini jauh lebih berat daripada sebelumnya. Selain tabungan yang ludes, aku juga harus menggendong dua ekor anak kambing Pak Nurman dari rumahnya sampai ke rumah kami.

Awalnya kupikir kambing itu bisa digiring saja, sambil lehernya diikat tali agar tidak lari kemana-mana. Tapi rupanya itu tidak mungkin dilakukan. Kedua anak kambing itu belum genap dua hari dilahirkan. Berdiri saja masih sempoyongan, bagaimana mungkin disuruh berjalan kaki sejauh 3 kilometer. Terpaksa aku mengotongnya dengan menempatkan keduanya di kedua bahuku. Satu di bahu kiri. Satunya lagi di bahu kanan.

Oleh pak Nurman, kedua anak kambing diletakkan secara melintang. Perut keduanya berada tepat di atas bahu kiri dan kananku. Sementara keempat kaki mereka masing-masing diikatnya tepat di bawah ketiakku sehingga mereka tidak mampu bergerak leluasa atau meronta-ronta. Aku pun lebih mudah mengendalikan dan menjaga mereka agar tetap berada di posisinya.

Setelah keduanya berada di posisi, aroma amis yang sangat menyengat langsung menusuk rongga hidungku. Perutku langsung mual. Butuh perjuangan lain untuk mencegah agar nasi goreng tadi pagi tidak balik lagi ke atas.

Hal yang lebih tidak menyenangkan terjadi sesudahnya. Istriku langsung tertawa terbahak-bahak menyaksikan penampilanku bersama kedua anak kambing.

Aku pun menaruh curiga. Jangan-jangan dia memang sengaja ingin mengerjaiku. Apalah salahku, sampai-sampai harus dikerjai istri sendiri. Kurang apa coba perjuanganku? Belum cukupkah pembuktian cintaku selama ini?

Melihat dia tertawa terbahak-bahak seperti itu, rasanya ingin sekali kedua anak kambing di bahuku kulemparkan ke kandangnya lagi.

Tapi rupanya tawanya tidak berlangsung lama. Setelah berpamitan dengan Pak Nurman, dia pun melemparkan senyum indahnya kepadaku.

Langsung terbolak baliklah hatiku. Aku kembali luluh. Aku pun langsung manut dan berjalan mengekor di belakangnya yang telah melangkah jauh.

Sepanjang perjalanan, dia melangkah dengan riang gembira. Dia bersiul-siul dan berjalan meloncat-loncat seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan baru.

Aku tidak tahu apa yang membuatnya sebahagia itu, apakah karena berhasil mengerjaiku, atau karena berhasil menawar harga kedua anak kambing sampai setengah dari harga yang disebutkan Pak Nurman tadi, atau malah karena kedua-duanya? Entahlah. Sampai sekarang, aku masih kesulitan menebak isi hati dan pikirannya.

Lama kelamaan, melihat dia sangat bahagia seperti itu, aku pun merasakan perasaan yang sama. Aku pun mulai merasa haru dan bahagia. Bahkan mataku sampai berkaca-kaca saking terharunya. Mungkin ini yang dikatakan cinta sejati, bahagia melihat orang yang sangat dicintai merasa bahagia, walau harus berjuang mati-matian seperti yang sedang kualami saat ini.

Penderitaanku yang serasa satu abad berakhir juga. Kami pun sampai di rumah setengah jam kemudian. Aku meletakkan kedua ekor anak kambing di belakang rumah.

Sambil melepas ikatan pada kaki mereka, aku menyimak penjelasan istriku tentang rancangan eksperimennya.

Rancangan eksperimen kali ini agak berbeda dengan eksperimen pertama. Kali ini eksperimennya dibuat lebih ketat. Kedua anak kambing yang baru lahir tersebut akan ditempatkan di dua kandang khusus yang terpisah. Tapi kondisi kedua kandang tersebut dibuat sama persis, tidak boleh berbeda sedikit pun,” katanya mulai menjelaskan panjang lebar tentang rencana keduanya ini.

Karena tabunganku sudah ludes, aku tidak bisa membayar tukang kayu untuk membuat kandang untuk keduanya. Terpaksa kandang mereka kukerjakan sendiri. Untunglah masih ada kayu sisa merenovasi dapur tempo hari. Peralatan tukangnya kupinjam dari Pak Eko, tetangga kami yang berjarak lima rumah di sebelah kiri yang kebetulan profesinya memang tukang bangunan.

Istriku menamai kedua anak kambing dengan nama Dodo dan Didi. Dodo ditetapkannya sebagai tokoh utama dalam tulisanku. Sama seperti Lala, Dodo bertindak sebagai kambing eksperimen. Sementara Didi diberinya peran sebagai kambing kontrol.

Tugasku sama seperti sebelumnya, menuliskan perjalanan nasib objek eksperimen, Dodo si Kambing. Tapi perjalanan hidup Dodo yang akan kutuliskan berbeda dengan Lala. Kalau Lala si Kucing, nasibnya ditentukan oleh istriku, karena jalan ceritanya berdasarkan apa yang diinginkannya. Sementara jalan cerita Dodo ditentukan olehku. Dia memintaku mengendalikan kehidupan Dodo selama satu tahun ke depan.

Tanpa menunggu instruksi lebih lanjut, aku langsung menghadap laptop. Mulailah kutuliskan perjalanan hidup Dodo ke depannya. Aku tidaklah sekejam istriku. Nasib Dodo si Kambing yang kutuliskan jauh lebih baik daripada nasib Lala si Kucing. Dodo tidak harus jatuh dari genteng, melainkan jatuh cinta dengan Bleki si Anjing yang ditugaskan menjaga mereka berdua. Selain itu, Dodo tidak harus berkelahi secara brutal dengan tikus got, melainkan berperang dengan perasaannya sendiri. Dodo di dalam tulisanku akan banyak merenung, lesu, muram, dan murung akibat kegalauannya yang teramat sangat karena tidak bisa mencintai Bleki. Mereka tidak ditakdirkan untuk saling mencintai. Cinta Dodo bertepuk sebelah tangan.

Setelah menyelesaikan tulisan tentang nasib Dodo, aku pun menghampiri istriku yang sedang duduk di meja kerjanya. Dari kerutan di keningnya, bisa dipastikan dia sedang menulis artikel ilmiah yang katanya harus dikirimkan ke salah satu jurnal internasional akhir pekan ini. Dia sedang dikejar deadline tagihan penelitian di kampusnya.

Awalnya aku ragu untuk mendekat. Tapi karena apa yang akan kusampaikan sangat penting, aku pun tetap menghampirinya.

“Ini draf tulisanku untuk nasib si Dodo,kataku sambil menyerahkan selembar kertas yang baru keluar dari printer kepadanya.

Dia menoleh lalu menerima kertas yang kusodorkan sambil tersenyum sumringah. Nampaknya dia sangat bangga padaku karena bisa menyelesaikan draf tulisan tentang nasib Dodo lebih cepat dibandingkan batas waktu yang telah ditetapkannya. Tanpa berlama-lama, dia pun langsung membaca draf itu.

“Apaan ini?! Abang benar-benar mengada-ada, deh! Kok Nasib Dodo seperti ini?! Ini tidak masuk akal, Bang!!” katanya dengan suara melengking setelah selesai membaca draf itu.

Aku sempat kaget luar biasa mendapat tanggapan seperti itu. Darahku mulai memanas. Kali ini kuputuskan untuk membela diri. Aku tidak mau mengalah terus menerus.

“Kalau memang aku punya keanehan, bisa mengendalikan masa depan si Dodo, apa pun yang kutulis tentu akan mewujud menjadi kenyataan. Seaneh atau semustahil apa pun tulisanku, tentu itulah yang akan terjadi. Kalau misalnya itu tidak terjadi, berarti aku tidaklah seaneh yang kamu pikirkan. Aku hanya manusia biasa yang butuh cinta dan kasih sayang.” Eh eh... Kenapa ujungnya malah ngelantur.

Ekspresinya langsung berubah. Dia tampak terpana mendengar argumenku barusan, terutama pada bagian akhirnya. Padahal bagian itu bagian ngelanturnya. Dia pun terdiam agak lama, tampak sedang mempertimbangkan argumen yang barusan kusampaikan.

Beberapa menit kemudian dia pun mengangguk sambil berucap, “Oke, Tari setuju. Kalau Abang memang memiliki keanehan itu, seharusnya itulah yang akan terjadi.”

Aku tersenyum lega karena tidak perlu lagi menghayal yang tidak-tidak. Untuk pertama kalinya aku menang berdebat dengannya. Ternyata argumenku harus yang aneh-aneh dan tidak masuk akal agar bisa mengalahkan kecerdasan logika matematikanya itu. Aku pun makin melebarkan senyum. Ini pertama kali aku dapat tersenyum penuh kemenangan.

Tapi rupanya urusanku belum selesai. Dia tetap minta ditambahkan sesuatu di dalam tulisanku.

Di situ belum tertulis akhir kehidupan Dodo seperti si Lala. Coba ditambahkan tulisan tentang akhir hayat si Dodo setahun kemudian, katanya dengan suara yang lebih pelan.

Usulannya dapat kuterima. Itu tidak harus mengubah apa yang telah kutuliskan. Aku pun mengangguk sebelum meninggalkan ruang kerjanya.

Aku kembali ke laptop untuk menuliskan akhir hayat si Dodo. Lagi-lagi aku tidak sekejam istriku.

Akhir hayat si Dodo tidaklah setragis si Lala yang merupakan setingannya. Kubuat nasib Dodo jauh lebih baik. Dodo tidak perlu menderita lama untuk menunggu ajal menjemput. Hanya sekelebat saja, hidupnya langsung selesai. Kehidupannya berakhir secara sederhana yaitu tersambar petir di siang hari.

Komentar