Keesokan harinya, istriku mulai beraksi. Dia mengerjakan semua aktivitas yang telah kutuliskan tadi malam. Tampak kegembiraan luar biasa di raut wajahnya. Aku tidak tahu kegembiraannya itu karena apa. Apakah karena dia memang menyukai anak kucing. Atau karena anak kucing itu telah menjadi objek eksperimennya. Entahlah. Aku tidak perlu bersusah payah mencari penyebabnya. Hal yang terpenting, melihatnya gembira membuatku turut bahagia.
Hari pun terus berganti. Dia memperlakukan Lala dan Lili
secara adil setiap hari. Makanan dan minuman untuk mereka dibelinya di supermarket. Tempat tidur keduanya dijahitkannya dari baju-baju bekas. Tidak
lupa dia juga membuatkan tempat bermain bersama. Saking seriusnya, dia juga
memasang CCTV di beberapa titik rumah sehingga bisa mengawasi perilaku keduanya
ketika sedang berada di kampus.
Rupanya, makin lama pikiran dan perilakunya makin aneh
saja. Eksperimen pertamanya baru berjalan dua minggu, tapi dia sudah
mengusulkan eksperimen berikutnya.
“Hasil dari
satu eksperimen belum meyakinkan. Setidaknya minimal dilakukan tiga buah
eksperimen, baru hasilnya dianggap valid, benar, serta dapat dipercaya
kebenarannya,” katanya memberikan argumen
saat kami sedang
makan siang di sebuah objek wisata.
Aku bergeming. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Objek wisata ini lumayan indah. Kombinasi hutan dan danau yang masih alami dengan bangunan-bangunan klasik khasbeberapa daerah di Indoensia membuatnya lumayan unik. Aku pun pura-pura sedang menikmati pemandangan yang terbentang di sekitar kami.
Istriku tidak terlalu hirau dicueki. Dia terus saja nyerocos menjelaskan, walau aku tidak begitu memperhatikan.
“Kebenaran ilmiah itu sifatnya konsisten atau tetap,
tidak berubah-ubah. Jika jawabannya tidak,
maka selalu tidak. Sebaliknya, jika
jawabannya iya, maka selalu iya. Supaya tahu apakah hasilnya memang
konsisten, maka perlu diuji dengan eksperimen berkali-kali,” lanjutnya dengan penuh
antusias.
Aku masih bergeming. Memprotes
ucapannya sama saja dengan menabuh gendering perang.
“Kemaren sore Tari mendapat kabar tentang Pak Nurman
yang tinggal di kampung di luar kompleks perumahan kita. Kambing beliau baru
saja melahirkan anak sepasang. Tari hendak menjadikan sepasang anak kambing itu
sebagai objek eksperimen kita berikutnya.” Dia masih terus
menjelaskan dengan menggebu-gebu walaupun tidak kutanggapi.
Haanya sampai di situ penjelasannya karena aku pamit ke toilet.
Sekembali dari toilet, aku langsung mengajaknya pulang. Sepanjang perjalanan pulang, dia tidak lagi membahas anak kambing Pak Nurman.
Kupikir, rencana tentang anak
kambing itu sudah dibatalkannya, karena dia tidak lagi membahasnya ketika kami sampai di rumah. Ketika makan
malam, dia malah membahas tentang deadline pengiriman artikel penelitiannya yang sudah dekat.
Rupanya aku keliru. Keesokan
paginya dia kembali melanjutkan penjelasan tentang rencananya dengan anak kambing. Setelah kusimak
secara cermat, keinginannya itu bakal merepotkanku. Akhirnya aku pun bersuara,
“Rasanya itu bukan rencana yang baik.
Tidak perlu mengeluarkan uang untuk melakukan hal yang belum jelas manfaatnya.”
jawabku lembut dan bijaksana untuk menunjukkan ketidaksetujuanku. Bukan
apa-apa, dia mulai memberi kode ingin menggunakan uang tabunganku yang
sudah sangat minim untuk membeli dua ekor anak kambing itu.
“Tidak apa-apa tabungannya dipakai dulu, ya, Sayang. Tenang saja, bakal
ada gantinya, kok. Bukankah Abang penulis novel terkenal? Sebentar lagi novel
baru Abang akan diterbitkan. InsyaAllah
novel baru itu
bakal laris
manis. Abang bisa nabung lagi,” katanya terus merayu dengan lembut, halus, dan mendayu-dayu.
Aku berpura-pura tidak mendengar. Tatapanku terus
kuarahkan ke nasi goreng di atas piring, sambil menyendok dan melahapnya dengan
pelan. Kupastikan dia mengucapkan kata-kata tadi sambil mengukir senyum
indahnya ke arahku, yang biasanya selalu berhasil meluluhkan hatiku. Aku
menahan diri untuk tidak menatap wajahnya, agar keputusanku tidak berubah.
Kalau sampai aku menatapnya, dan terpana dengan senyum indahnya, maka dapat
dipastikan aku akan luluh. Setegar apa pun keputusanku, pasti akan berubah. Itu
sudah sering terjadi.
Kami berdiam diri cukup lama sampai akhirnya, “Abang, abang,
abang....” katanya memanggilku dengan manja.
Aku yang mulai melupakan usulannya barusan secara
refleks menoleh. Dan terlihatlah senyum indahnya. Luluhlah hatiku. Hadooohh...
***
Perjuanganku kali ini jauh lebih berat daripada sebelumnya. Selain
tabungan yang ludes, aku juga harus menggendong dua ekor anak kambing Pak Nurman dari rumahnya
sampai ke rumah kami.
Awalnya kupikir kambing itu bisa digiring saja, sambil
lehernya diikat tali agar tidak lari kemana-mana. Tapi rupanya itu tidak
mungkin dilakukan. Kedua anak kambing itu belum genap dua hari dilahirkan. Berdiri saja
masih sempoyongan, bagaimana mungkin disuruh berjalan kaki sejauh 3 kilometer.
Terpaksa aku mengotongnya dengan menempatkan keduanya di kedua bahuku. Satu di bahu kiri. Satunya lagi di bahu kanan.
Oleh pak Nurman, kedua anak kambing diletakkan secara
melintang. Perut keduanya berada tepat di atas bahu kiri dan kananku. Sementara keempat kaki mereka
masing-masing diikatnya tepat di bawah ketiakku sehingga mereka tidak mampu bergerak
leluasa atau meronta-ronta. Aku pun lebih mudah mengendalikan dan menjaga
mereka agar tetap berada di posisinya.
Setelah keduanya
berada di posisi, aroma amis yang sangat menyengat langsung menusuk rongga
hidungku. Perutku langsung mual.
Butuh perjuangan lain untuk mencegah agar nasi goreng tadi pagi tidak balik
lagi ke atas.
Hal yang lebih tidak menyenangkan terjadi sesudahnya. Istriku langsung tertawa
terbahak-bahak menyaksikan
penampilanku bersama kedua anak kambing.
Aku pun menaruh curiga. Jangan-jangan dia memang sengaja
ingin mengerjaiku. Apalah salahku, sampai-sampai harus dikerjai istri sendiri.
Kurang apa coba perjuanganku? Belum cukupkah pembuktian cintaku selama ini?
Melihat dia
tertawa terbahak-bahak seperti itu, rasanya ingin sekali kedua anak kambing di bahuku kulemparkan ke kandangnya lagi.
Tapi rupanya tawanya tidak berlangsung lama. Setelah
berpamitan dengan Pak Nurman, dia pun melemparkan senyum indahnya kepadaku.
Langsung terbolak baliklah hatiku. Aku kembali luluh.
Aku pun langsung manut dan berjalan mengekor di belakangnya yang telah
melangkah jauh.
Sepanjang perjalanan, dia
melangkah dengan riang gembira. Dia bersiul-siul dan berjalan
meloncat-loncat seperti anak kecil yang
baru saja mendapat mainan baru.
Aku tidak tahu apa yang membuatnya sebahagia itu, apakah karena berhasil
mengerjaiku, atau karena berhasil menawar harga kedua anak kambing sampai setengah dari
harga yang disebutkan Pak Nurman tadi, atau malah karena kedua-duanya? Entahlah. Sampai sekarang, aku masih
kesulitan menebak isi hati dan pikirannya.
Lama kelamaan, melihat dia sangat bahagia seperti itu, aku pun merasakan perasaan yang sama. Aku pun mulai merasa haru
dan bahagia. Bahkan mataku sampai berkaca-kaca saking
terharunya. Mungkin ini yang dikatakan cinta sejati, bahagia melihat orang yang sangat dicintai merasa bahagia, walau harus berjuang
mati-matian seperti yang sedang kualami saat ini.
Penderitaanku yang serasa satu abad berakhir juga. Kami pun
sampai di rumah setengah jam
kemudian. Aku meletakkan kedua ekor anak kambing di
belakang rumah.
Sambil melepas ikatan pada kaki mereka, aku menyimak
penjelasan istriku tentang rancangan eksperimennya.
“Rancangan eksperimen kali ini agak
berbeda dengan eksperimen pertama. Kali ini eksperimennya dibuat lebih ketat.
Kedua anak kambing yang baru lahir tersebut akan ditempatkan di dua kandang khusus
yang terpisah. Tapi kondisi kedua kandang tersebut dibuat sama persis, tidak
boleh berbeda sedikit pun,” katanya
mulai menjelaskan panjang lebar tentang rencana keduanya ini.
Karena tabunganku sudah ludes, aku tidak bisa membayar tukang kayu untuk
membuat kandang untuk keduanya. Terpaksa kandang mereka
kukerjakan sendiri. Untunglah masih ada kayu sisa merenovasi
dapur tempo hari. Peralatan tukangnya kupinjam dari Pak Eko, tetangga kami yang
berjarak lima rumah di sebelah kiri yang kebetulan profesinya memang tukang bangunan.
Istriku menamai kedua anak kambing dengan nama Dodo dan
Didi. Dodo ditetapkannya sebagai tokoh utama dalam tulisanku. Sama seperti
Lala, Dodo bertindak sebagai kambing eksperimen. Sementara Didi diberinya peran
sebagai kambing kontrol.
Tugasku sama seperti sebelumnya, menuliskan perjalanan
nasib objek eksperimen, Dodo si Kambing. Tapi perjalanan hidup Dodo yang akan
kutuliskan berbeda dengan Lala. Kalau Lala si Kucing, nasibnya ditentukan oleh istriku, karena jalan
ceritanya berdasarkan apa yang diinginkannya. Sementara jalan cerita Dodo ditentukan olehku.
Dia memintaku
mengendalikan kehidupan Dodo selama satu tahun ke depan.
Tanpa menunggu instruksi lebih lanjut, aku langsung
menghadap laptop. Mulailah kutuliskan perjalanan hidup Dodo ke depannya. Aku
tidaklah sekejam istriku. Nasib Dodo si Kambing yang kutuliskan jauh lebih baik
daripada nasib Lala si Kucing. Dodo tidak harus jatuh dari genteng, melainkan
jatuh cinta dengan Bleki si Anjing yang ditugaskan menjaga mereka berdua.
Selain itu, Dodo tidak harus berkelahi secara brutal dengan tikus got,
melainkan berperang dengan perasaannya sendiri. Dodo di dalam tulisanku akan
banyak merenung, lesu, muram, dan murung akibat kegalauannya yang teramat
sangat karena tidak bisa mencintai Bleki. Mereka tidak ditakdirkan untuk saling
mencintai. Cinta Dodo bertepuk sebelah tangan.
Setelah menyelesaikan tulisan tentang nasib Dodo, aku
pun menghampiri istriku yang sedang duduk di meja kerjanya. Dari kerutan di
keningnya, bisa dipastikan dia sedang menulis artikel ilmiah yang katanya harus
dikirimkan ke salah satu jurnal internasional akhir pekan ini. Dia sedang dikejar deadline tagihan penelitian di
kampusnya.
Awalnya aku ragu untuk mendekat. Tapi karena apa yang
akan kusampaikan sangat penting, aku pun tetap
menghampirinya.
“Ini draf tulisanku untuk nasib si Dodo,” kataku sambil menyerahkan
selembar kertas yang baru keluar
dari printer kepadanya.
Dia menoleh lalu menerima kertas yang
kusodorkan sambil tersenyum sumringah. Nampaknya dia
sangat bangga padaku karena bisa menyelesaikan draf tulisan tentang nasib Dodo lebih
cepat dibandingkan batas waktu yang telah ditetapkannya. Tanpa berlama-lama,
dia pun langsung membaca draf itu.
“Apaan ini?! Abang
benar-benar mengada-ada, deh! Kok Nasib Dodo seperti ini?! Ini tidak masuk akal, Bang!!” katanya dengan suara melengking setelah selesai membaca draf itu.
Aku sempat kaget luar biasa
mendapat tanggapan seperti itu. Darahku mulai memanas. Kali
ini kuputuskan untuk membela diri. Aku tidak mau mengalah terus menerus.
“Kalau memang aku punya keanehan, bisa mengendalikan
masa depan si Dodo, apa pun yang kutulis tentu akan mewujud menjadi kenyataan. Seaneh atau semustahil apa pun
tulisanku, tentu itulah yang akan terjadi. Kalau misalnya itu tidak terjadi,
berarti aku tidaklah seaneh yang kamu pikirkan. Aku hanya manusia biasa yang
butuh cinta dan kasih sayang.” Eh eh... Kenapa ujungnya malah ngelantur.
Ekspresinya langsung berubah. Dia
tampak terpana mendengar argumenku barusan, terutama pada
bagian akhirnya. Padahal bagian itu bagian ngelanturnya. Dia pun terdiam agak
lama, tampak sedang mempertimbangkan argumen yang barusan kusampaikan.
Beberapa menit kemudian dia pun mengangguk sambil berucap, “Oke, Tari
setuju. Kalau Abang memang memiliki keanehan itu, seharusnya itulah yang akan
terjadi.”
Aku tersenyum lega karena tidak perlu lagi menghayal yang tidak-tidak. Untuk pertama
kalinya aku menang berdebat dengannya. Ternyata argumenku harus yang aneh-aneh
dan tidak masuk akal agar bisa mengalahkan kecerdasan logika matematikanya itu.
Aku pun makin melebarkan senyum. Ini pertama kali aku dapat tersenyum penuh kemenangan.
Tapi rupanya urusanku
belum selesai. Dia tetap minta ditambahkan sesuatu di dalam tulisanku.
“Di situ belum tertulis akhir kehidupan Dodo seperti si Lala. Coba ditambahkan tulisan
tentang akhir hayat si Dodo setahun kemudian,” katanya dengan suara yang lebih pelan.
Usulannya dapat kuterima. Itu
tidak harus mengubah apa yang telah kutuliskan. Aku pun mengangguk sebelum
meninggalkan ruang kerjanya.
Aku kembali ke laptop untuk menuliskan akhir hayat si Dodo. Lagi-lagi aku
tidak sekejam istriku.
Akhir hayat si Dodo tidaklah setragis si Lala yang
merupakan setingannya. Kubuat nasib Dodo jauh lebih baik. Dodo tidak
perlu menderita lama untuk menunggu ajal menjemput. Hanya sekelebat saja, hidupnya
langsung selesai. Kehidupannya berakhir secara sederhana yaitu tersambar petir di siang
hari.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.