Langsung ke konten utama

Kenapa Bukunya tidak Digratiskan? (Bagian 1)

Ide tulisan ini muncul ketika saya menghadapi rekan yang bersikeras ingin mendapatkan buku saya secara gratis. Waktu itu saya baru saja menerbitkan buku perdana yang berjudul Pendidikan Sains dan Teknologi, yang ditulis selama hampir delapan tahun. Saya tidak bisa memenuhi permintaannya itu karena saya merasa dia kurang menghargai perjuangan saya yang berdarah-darah dalam menyelesaikan buku itu. Namun, karena pada waktu itu saya tidak enak hati untuk menolak langsung, tiba-tiba munculah ide untuk menuliskan penolakan itu melalui tulisan ini.

Baca juga: Penulis, Tulisan, dan Peradaban

Tulisan ini bukan untuk menyinggung perasaan, melainkan sebagai bahan renungan betapa pentingnya sikap menghargai perjuangan orang lain. Ada dua bagian tulisan yang akan disajikan. Bagian pertama ini akan membahas dari aspek proses penulisan dan penerbitan buku. Sementara bagian kedua akan membahas dari aspek nilai sebuah buku.

Pertanyaan yang mendorong munculnya tulisan ini sangat sederhana, sama seperti judul tulisan ini, kenapa bukunya tidak digratiskan?

Tidak susah menjawab pertanyaan itu. Untuk menghasilkan sebuah buku, prosesnya panjang, rumit, dan berliku. Di setiap proses yang dilakukan, ada biaya yang harus dikeluarkan.

Seberapa besar biayanya?

Mari kita mulai dari awal sekali. Ide menulis buku mungkin munculnya secara tiba-tiba. Tapi apakah benar ide itu muncul tiba-tiba? Menurut salah satu teori psikologi, yaitu teori pemrosesan informasi, tidak ada ide yang muncul tiba-tiba. Ide muncul dari hasil pemrosesan informasi yang masuk ke otak.

Informasi mana yang diproses sehingga dapat memunculkan ide? Semua informasi yang masuk melalui panca indera, mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit dapat diproses dan memunculkan ide. Kapan informasi itu masuk? Setiap saat, terutama saat terjaga atau sadar (mungkin untuk sebagian orang, saat tidur pun tetap dapat menerima informasi). Sejak kapan informasi itu masuk? Semenjak lahir. Seberapa lama informasi itu terkumpul dan terakumulasi sehingga dapat menjadi sebuah ide? Bisa saja, sepanjang waktu hidup yang telah dijalani.

Kalau semua orang memiliki panca indera dan otak, kenapa tidak semua orang dapat menghasilkan ide atau bahkan tulisan? Karena tidak semua orang memproses informasi tersebut secara serius di otaknya. Mungkin lebih banyak orang mengabaikan informasi yang masuk ke otaknya, dibandingkan orang yang memproses informasi tersebut sehingga menghasilkan ide. Proses mengolah informasi itulah yang disebut proses berpikir. Banyak orang tidak mau berpikir karena itu merupakan pekerjaan berat, sama beratnya seperti Dylan menahan rindu kepada Milea.

Jadi, kira-kira berapa modal yang telah dikeluarkan seseorang untuk menghasilkan sebuah ide?

Saya tidak akan menjawabnya karena sangat susah menjawabnya. Silahkan pembaca sekalian menghitung sendiri berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk mempertahankan hidup semenjak bayi hingga sekarang sehingga informasi dapat terus masuk ke dalam otak melalui panca indera. Biaya mempertahankan hidup ini misalnya untuk membeli makanan utama, susu, makanan tambahan, baju biar tidak kedinginan dan demam, obat ketika sakit, imunisasi agar memiliki kekebalan tubuh yang cukup, dan lain sebagainya. Ibu-ibu lebih mengerti urusan ini. Bagi yang sudah beristri, silahkan tanyakan pada istrinya. Bagi yang belum beristri, jangan tanyakan ke istri tetangga, takut disalahartikan. Lebih baik bertanya kepada emak masing-masing saja.

Silahkan pembaca sekalian menghitung juga berapa biaya yang dikeluarkan untuk menempuh pendidikan mulai pendidikan dasar sampai pendidikan tertinggi, sehingga dapat melatih dan mengembangkan kemampuan otak dalam berpikir (memproses informasi).

Silahkan pembaca sekalian menghitung juga ongkos naik angkot, membeli bensin, jajan di sekolah, nraktir teman, jalan-jalan ke tempat wisata, nongkrong di Mall, dan lain sebagainya sehingga mendapat banyak sekali pengalaman yang menjadi informasi untuk diproses di otak.

Silahkan pembaca sekalian menghitung juga berapa biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan bacaan (terutama yang suka membaca), membeli pulsa untuk berinteraksi di medsos atau membuka youtube, atau nongkrong di café untuk mendapat wifi gratis.

Daftarnya akan sangat panjang kalau diteruskan. Semuanya membutuhkan biaya, karena sepertinya memang sudah tidak ada lagi yang gratis saat ini.

Uraian di atas baru menjelaskan tentang modal yang dikeluarkan untuk menelurkan suatu ide. Proses menuliskan ide menjadi tulisan, bahkan sampai menjadi buku pun, memakan biaya tersendiri. Ada yang mengeluarkan biaya untuk ikut pelatihan menulis. Ada pula yang mengeluarkan biaya untuk membeli buku tentang cara dan tips menulis lalu mempelajarinya secara mandiri.

Baca juga: Pengembangan dan Penerapan Inovasi Pembelajaran

Biaya yang dituliskan di atas hanya berupa uang. Apakah modalnya hanya berbentuk uang? Tentu tidak. Masih ada modal bentuk lain, salah satunya berupa modal waktu. 

Seberapa besar nilai waktu? Tergantung orangnya. Ada yang menghargai waktu dengan harga yang sangat tinggi sehingga ia tidak menyia-nyiakan waktunya dengan cara mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Sebaliknya ada juga yang menghargai waktu dengan harga yang sangat rendah dengan cara menghabiskannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Bahkan terkadang banyak juga yang menggunakan waktunya untuk hal-hal yang merusak seperti mabuk-mabukan, memakai narkoba, mengganggu orang, tauran, balapan liar, berbuat maksiat, dan perilaku negatif lainnya.

Jadi, kalau dinilai dengan uang, seberapa besar nilai waktu dalam proses menghasilkan buku atau tulisan? Lagi-lagi saya tidak bisa menjawab ini. Menurut saya, waktu terlalu berharga untuk dinilai dengan uang. Bukankah banyak hal yang tidak dapat dinilai hanya dengan uang? Waktu hidup Newton dan Einstein mungkin luar biasa berharganya karena mereka berdua telah menghasilkan karya yang luar biasa, yang menginspirasi serta menjadi rujukan hampir semua orang jenius saat ini di seluruh dunia. Semua orang jenius itu pun kemudian terinspirasi untuk menciptakan peradaban modern seperti yang kita lihat saat ini. Seberapa besar nilai peradaban manusia saat ini? Tidak terhingga. Tidak dapat dihitung.

Apakah waktu hidup Newton dan Einstein yang telah mewariskan warisan luar biasa untuk kemajuan peradaban manusia bisa dinilai dengan uang? Saya berani menjawab tegas, tidak bisa. Waktu hidup kedua ilmuan besar tersebut, terlalu rendah dan merendahkan kalau harus dinilai dengan uang.

Oke, kita akhiri saja pembahasan tentang modal untuk menghasilkan sebuah ide sampai menjadi sebuah buku. Kalau diringkas, modal untuk menghasilkan ide sampai menjadi tulisan, bisa saja tidak terhingga besarnya. Contohnya ide Newton dan Einstein.

Baca juga: Pembelajaran Berbagi Keahlian

Setelah menjadi sebuah buku, ternyata masih ada proses berikutnya, yaitu penerbitan dan pencetakan. Biasanya biaya proses inilah yang sering dihitung sebagai biaya produksi untuk menentukan harga buku. Biaya ini bahkan seringkali mendapat porsi sekitar separuh dari keseluruhan harga buku.

Apakah setelah dicetak, buku sudah langsung bisa dinikmati oleh pembaca? Ternyata belum. Buku itu harus melewati proses distribusi dan penjualan yang melibatkan jasa distributor dan toko buku. Saya sempat membaca, ternyata distributor dan toko buku mematok bagian 40-50% dari harga buku, di luar biaya produksi tadi. Jadi, seperti apa perhitungan harga sebuah buku?

Saya relatif baru di dalam dunia tulis menulis dan perbukuan ini. Jadi sebenarnya saya tidak tahu secara pasti bagaimana perhitungannya. Tapi, agar pembahasan kita ini tidak menggantung, saya tetap akan mencoba memberikan ilustrasinya. Misalnya sebuah buku dicetak dengan biaya produksi 30 ribu rupiah per eksemplarnya. Harga jualnya di toko buku menurut saya minimal 70 ribu rupiah. Itu karena 50 persen dari 70 ribu rupiah itu yaitu sebesar 35 ribu rupiah dinikmati oleh distributor dan toko buku. Sementara sisanya yang 5 ribu rupiah dinikmati oleh siapa? Salah satunya oleh Si Penulis. Kalau ada biaya lain, Si Penulis harus berbagi dengan biaya lain ini.

Kok sedikit sekali yang dinikmati oleh Si Penulis, padahal perjuangan dan modal yang telah dikeluarkannya sangat luar biasa besarnya dalam menghasilkan sebuah buku? Itulah kenapa banyak orang tidak suka menulis, karena seperti tidak mendapatkan apa-apa. Sepertinya apa yang didapatkan tidak sesuai dengan modal yang telah dikeluarkan (hayoo… bagi yang ingin jadi penulis, siapkan mental untuk menghadapi kenyataan seperti itu.. wkwkwk).

Baca juga: Modal Dasar Menjadi Penulis Istiqomah

Setelah uraian yang panjang lebar di atas, kira-kira pantaskah sebuah buku dilabeli GRATIS? Jawabannya lagi-lagi relatif, tergantung penulisnya, apakah Si Penulis sudah ikhlas untuk menjadi seorang filantropi, orang yang mengabdikan dan mendedikasikan hidup dan semua kemampuannya untuk berbuat baik bagi orang banyak. Kalau saya, jujur belum mencapai level penulis seperti itu. Walaupun mungkin suatu saat saya ingin seperti itu.

Selain alasan panjang lebar di atas, adakah alasan lain kenapa sebuah buku sebaiknya tidak digratiskan? Tentu saja ada. Dan alasan inilah sebenarnya alasan utamanya. Apa itu? Alasan utama itu akan diuraikan pada tulisan berikutnya. Semoga penasaran.

(Bersambung ke bagian 2).

Penulis: Feri Noperman

Komentar

  1. Ulasan yang super sekali, mudah dipahami dan paling penting dari ulasan itu menurut saya argumennya kuat sekali. Sampai-sampai bisa malu kalo buku yang ada harganya diminta secara GRATIS, hihi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas tanggapannya. Argumen itu muncul dari pengalaman pribadi, hehe... Saya sudah berumur 38 tahun baru menghasilkan buku. Padahal suka menulis semenjak SMP. Perjuangannya lama dan berat ternyata, hehe...

      Hapus

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.