Langsung ke konten utama

Penulis, Tulisan, dan Peradaban


Oleh: Feri Noperman

Menghargai tulisan beserta penulisnya merupakan sikap yang sangat penting untuk ditumbuhkan. Para penulis dan tulisannya telah berkontribusi luar biasa dalam mendukung dan mendorong perkembangan peradaban manusia sehingga menjadi sangat maju seperti yang kita rasakan sekarang.

Namun sayangnya, berdasarkan kajian terhadap sejarah peradaban manusia, penulis dan tulisannya sering kurang dikenang dan dihargai secara pantas oleh umat manusia, termasuk oleh generasi kita saat ini. Nama mereka tenggelam di balik nama besar raja, ratu, kaisar, panglima perang, artis, atau orang-orang super kaya. Padahal, kontribusi mereka tidak kalah besarnya jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh besar dan terkenal tersebut.

Yuval Noah Harari dalam bukunya yang fenomenal atau mungkin kontroversial serta menjadi best seller di seluruh dunia, Sapiens, menceritakan bagaimana manusia berkembang dari sekumpulan orang yang hidup dengan cara menjelajah dan berburu sampai menjadi masyarakat digital yang hanya duduk manis di kursi malas sambil memegang gawai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam bukunya itu, ia menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi revolusi peradaban umat manusia dari dulu, sekarang, sampai mungkin nanti di masa depan. 

Banyak faktor yang diungkapkannya. Namun ada satu faktor yang sangat krusial pada setiap fase revolusi peradaban manusia, yaitu kemampuan manusia (Homo sapiens) berpikir, mengkomunikasikan, serta menuliskan hasil pikirannya itu. Harari menjelaskan bahwa keunggulan Sapiens (Homo sapiens, spesies manusia seperti kita sekarang) dibandingkan spesies lain seperti (H. Erectus, H. Neanderthal, dan lain-lain) terletak pada kemampuan Sapiens berkomunikasi dan bekerja sama.  

Kemampuan berkomunikasi secara efektif telah membantu Sapiens memenangkan persaingan, walaupun secara fisik kalah jauh dari spesies lain. Namun komunikasi di masa itu masih berupa bahasa lisan atau bahasa isyarat. Komunikasi seperti itu memiliki keterbatasan yang membuat kehidupan manusia era tersebut tidak mengalami perkembangan yang begitu pesat, kalau tidak bisa dikatakan stagnan.

Sejarah manusia mulai mengalami perubahan drastis ketika ditemukannya tulisan. Pada awalnya tulisan yang dikembangkan masih bersifat parsial atau terpisah-pisah, yaitu pada masa bangsa Sumeria. Penggunaan tulisan ini masih terbatas, misalnya hanya untuk mengadministrasikan pajak yang dibayar rakyat kepada raja. 

Tulisan yang bersifat parsial tersebut kemudian mengalami perkembangan sampai menjadi aksara yang dapat dirangkai menjadi kata atau kalimat sehingga dapat dijadikan sarana berkomunikasi. Tulisan seperti inilah yang kemudian banyak mengubah peradaban manusia.

Perkembangan peradaban umat manusia menjadi lebih pesat terjadi semenjak tulisan dijadikan sarana untuk mengkomunikasikan isi pikiran. Pemikiran besar para filosof Yunani kuno tetap abadi hingga sekarang karena dituliskan. Alquran dan Hadist tetap dapat terus diwariskan dan menjadi pedoman hidup umat Islam sampai saat ini karena dituliskan. Sumbangan ilmuan muslim terhadap perkembangan sains mulai diakui, karena banyak bukti-bukti tertulisnya. Pemikiran-pemikiran para filosof era pencerahan dapat menginspirasi lahirnya sains juga karena dituliskan.

Peradaban modern sekarang ini seharusnya banyak mengucapkan terima kasih kepada penemu tulisan (saya sendiri sampai sekarang tidak tahu orangnya), karena peradaban modern mulai berkembang dengan pesat ketika mulai muncul komunikasi tertulis antar para pemikir dan saintis. Komunikasi tertulis itu pada mulanya dilakukan berupa korespondensi (surat menyurat) antar para pemikir, penemu, ilmuan, filosof, dan lain sebagainya, untuk membagikan sekaligus mendiskusikan temuan-temuan mereka. 

Korespondensi sangat penting untuk mencegah terjadinya duplikasi-duplikasi (pengulangan-pengulangan hal yang sama) di tempat lain. Selain itu, korespondensi juga membuat para ilmuan atau filosof saling menginspirasi satu sama lainnya, sehingga pemikiran dan penemuan mereka semakin berkembang.

Bentuk komunikasi tertulis tersebut kemudian bertransformasi menjadi penerbitan ilmiah. Berbeda dengan korespondensi yang bersifat terbatas, penerbitan ilmiah bersifat lebih luas. Korespondensi hanya melibatkan dua atau beberapa orang penulis, sementara penerbitan ilmiah ditujukan untuk semua orang. Penerbitan ilmiah telah membuat para pemikir, ilmuan, atau filosof mendapatkan bahan yang lebih kaya sehingga aktivitas mereka menjadi lebih mudah dan efektif. 

Dengan adanya penerbitan ilmiah, temuan-temuan manusia semakin banyak dan semakin terakumulasi sehingga membuat batang tubuh pengetahuan ilmiah (sains) tumbuh semakin membesar bahkan kemudian memunculkan buahnya yang sangat manis berupa teknologi (buah itu bisa menjadi pahit seperti misalnya teknologi persenjataan yang digunakan untuk berperang).

Namun sayangnya, pakar sejarah dan filosof sekelas Harari pun sepertinya belum memberikan penghargaan yang cukup kepada para penulis. Di dalam bukunya, dia lebih fokus pada gagasan-gagasan besar yang berdampak dan mengubah peradaban manusia, tapi seperti sedikit lupa bahwa gagasan-gagasan besar itu memiliki dampak besar karena dituliskan. Padahal dia sendiri mengakui bahwa pekerjaannya sebagai pakar sejarah menjadi berat dan sulit karena tidak banyak warisan sejarah yang diwariskan dalam bentuk tulisan.

Memang kebanyakan gagasan-gagasan besar yang diketahui sampai sekarang dituliskan sendiri oleh penggagasnya seperti Aristoteles, Al Ghazali, Ibn Khaldun, Newton, atau Einstein. Jadi penulisnya tidak perlu dibahas karena langsung menyatu dengan gagasannya. 

Namun, tetap saja ada gagasan-gagasan atau karya-karya besar yang tidak ditulis sendiri oleh penggagasnya melainkan oleh orang lain. Untuk kasus yang seperti ini, siapa yang lebih dikenang dan dihargai? Apakah penulisnya atau penggagasnya? Sejauh pengetahuan saya, lebih sering hanya penggagasnya yang dikenal, dikenang, dan dihargai. Sementara penulisnya? Mungkin tanpa sadar, selama ini kita pun turut serta mengabaikannya. Bisa dipastikan, kita tidak pernah terpikir untuk mencari tahu, siapa sebenarnya penulisnya?

Misalnya saja, hukum Hammurabbi masih dikenang dan dihargai hingga kini karena dituliskan pada suatu bahan yang tahan lama sehingga manusia sekarang masih bisa membacanya. Pernahkah kita bertanya, siapa yang menuliskan hukum tersebut? Sampai sekarang saya belum mendapatkan informasi yang akurat siapa orangnya. Tapi menurut dugaan saya, hukum itu tidak ditulis sendiri oleh Hammurabbi di bahan tersebut, melainkan ditulis oleh petugas khusus bagian tulis menulis. 

Siapakah yang kita kenal dan kita puji-puji saat sekarang? Tentu Hammurabbi-nya. 

Bagaimana dengan penulisnya? Besar kemungkinan tidak pernah ada orang yang memikirkannya, apalagi sampai mengelu-elukannya, karena orangnya memang tidak diketahui. Miris bukan?! Kita menghargai Hammurabbi, tapi tidak menghargai penulis yang menyampaikan kisah dan karya Hammurabbi kepada kita. Padahal, apakah mungkin kita mengenal Hammurabbi kalau karya dan kehidupannya tidak pernah dituliskan? Tidak mungkin, bukan?!

Raja-raja kerajaan besar sering kali dikenal melalui prasasti, relief, atau kitab-kitab yang masih bertahan hingga sekarang. Apakah raja-raja itu menuliskan sendiri prasasti, relief, atau kitab-kitab itu? Saya menduga, tidak. Prasasti, relief, atau kitab-kitab tentang raja-raja ditulis oleh ahli tulis tersendiri. Siapakah para ahli tulis tersebut? Jarang diketahui. 

Siapa yang kita kenang dan kita hargai sekarang? Rasanya dengan enteng kita akan menjawab, raja-raja yang termuat dalam tulisan itulah yang dihargai dan dikenang. Bagaimana dengan para penulis tulisan itu? Entalah. Saya sebenarnya ingin tahu siapa mereka. Tapi ke mana saya harus mencari tahu?

Tulisan saya ini tidak sedang berusaha mengklaim bahwa para penulislah yang banyak berjasa dalam kemajuan peradaban manusia. Tidak ada maksud seperti itu sama sekali. Tulisan saya ini hanya ingin menyampaikan kepada Anda bahwa berbagai tulisan dan para penulisnya turut memberikan sumbangsih besar dalam kemajuan umat manusia. 

Kalau saja karya-karya besar umat manusia di sepanjang sejarah tidak pernah dituliskan, mungkin peradaban manusia tidak sampai mengalami perubahan dan kemajuan seperti sekarang. Mungkin saja kita tidak akan pernah melihat dan menikmati berbagai macam teknologi canggih seperti internet, komputer, ponsel cerdas, dan lain-lain. Mungkin saja kehidupan kita sekarang ini masih berkutat dengan aktivitas menjelajah dan berburu seperti di masa lalu, atau paling tinggi seperti di era peradaban agraris, yaitu bertani.

Karena jasa para penulis dari zaman dahulu hingga sekarang tidak bisa diabaikan begitu saja, sudah sepantasnyalah kalau kita memberikan penghargaan yang layak kepada mereka. Seperti apa wujud penghargaan tersebut? Terserah Anda ingin mewujudkannya seperti apa. 

Tapi di ujung tulisan ini, saya ingin memberikan sedikit gambaran seperti apa wujud penghargaan kepada para penulis siapa pun itu orangnya, baik yang telah menelurkan karya besar, maupun yang sedang berkutat dengan latihan menulis.

Pertama, penghargaan dapat dilakukan dengan memberi sedikit pujian. Misalnya, kalau Anda melihat sebuah tulisan di media sosial atau media digital lainnya yang mengajak kebaikan, wujud penghargaan terendahnya adalah dengan membaca tulisan itu dengan baik dan serius, lalu memberikan emoticon jempol atau love secara tulus. 

Rasanya penulis akan sangat bahagia ketika mendapat kedua tanda itu. Kemungkinan besar itu dapat menjaga semangat menulisnya (khususnya bagi calon penulis yang baru memulai perjalanan panjang di dunia tulis menulis), atau malah menambah semangatnya menjadi semakin berlipat-lipat (yang ini bukan pengalaman pribadi, ya).

Baca juga: Modal Utama menjadi Penulis Istiqomah

Kedua, penghargaan kepada penulis dan tulisannya dapat juga dilakukan dengan memberikan komentar. Para penulis (mungkin tidak semuanya) akan merasa semakin senang dan bahagia kalau tulisannya dikomentari dengan satu atau beberapa kalimat. Kalau bisa jangan hanya satu kata seperti good, super, mantap, dan lain-lain. Itu lebih tepat dimasukkan ke dalam poin pertama di atas. 

Komentar yang diberikan dapat menunjukkan bahwa tulisan tersebut memang sudah dibaca secara tuntas. Komentar dapat juga menjadi tanda kalau persepsi pembaca tidak melenceng dari maksud penulis dalam tulisannya. Sikap tidak setuju terhadap isi tulisan boleh-boleh saja, dan dapat juga diungkapkan melalui komentar. Tapi hendaknya sikap itu disampaikan dengan cara yang santun dan elegan, sehingga kesannya tetap menghargai tulisan dan penulisnya.

Ketiga, penghargaan dapat diwujudkan dengan menyimpan atau mengoleksi tulisan tersebut. Kalau tulisannya berbentuk buku, penyimpanannya dapat dilakukan dengan cara membeli dan meletakkannya di lemari kaca yang terbagus di rumah masing-masing. Kalau tulisannya berbentuk e-book yang dijual di media online, penyimpanannya dapat dilakukan dengan membeli, mengunduh, dan menyimpannya di akun yang paling aman. Kalau tulisannya gratis, penyimpanannya lebih sederhana lagi, cukup diunduh filenya, atau copy-paste ke sebuah file, lalu simpan di salah satu folder di laptop masing-masing. Siapa tahu suatu saat tulisan itu ada manfaatnya.

Baca pula tulisan sejenis:
Kenapa Bukunya Tidak digratiskan? (Bagian 1)
Kenapa Bukunya Tidak Digratiskan? (Bagian 2)

Keempat, penghargaan dapat berupa penerapan hal-hal positif yang disampaikan atau disarankan dalam tulisan tersebut. Misalnya, dalam tulisan yang sedang Anda baca saat ini, saya mengajak Anda untuk menghargai penulis. Anda dikatakan telah memberikan penghargaan terhadap tulisan saya ini kalau ajakan saya ini diterima, diikuti, dan dilakukan. Caranya terserah Anda, bisa saja seperti poin pertama, kedua, dan ketiga di atas. 

Cara lainnya, kalau misalnya ada penulis yang mengajak salat berjamaah, cara menghargai tulisannya tentu dengan mulai datang ke masjid dan melakukan salat berjamaah. Anda tidak perlu mengajak penulisnya berdebat gara-gara tidak sesuai dengan agama dan keyakinan. Kalau memang tidak sesuai, ya tidak apa-apa, tidak perlu dihiraukan, anggap angin lalu saja.

Kelima, penghargaan kepada penulis dapat juga dilakukan dengan mengikuti jejak para penulis di masa lalu maupun di masa sekarang dengan cara menjadi penulis juga. Tapi niat menjadi penulis harus benar-benar diluruskan, yaitu dalam rangka menghargai penulis dan menebarkan kebaikan. 

Jangan sampai muncul niat yang tidak baik dalam menulis. Jangan jadikan aktivitas menulis sebagai sarana untuk menipu, menebar kebencian, menyebarkan berita hoax, memfitnah seseorang yang dibenci, membicarakan keburukan orang ke mana-mana, mendiskriminasi kelompok atau golongan tertentu, kampanye negatif, merendahkan atau melecehkan pihak lain yang berbeda pandangan atau pilihan politik, mengambil keuntungan politik di balik bencana kemanusiaan, serta niat dan perbuatan buruk lainnya. 

Semoga kita semua terhindar dari niat dan perbuatan buruk dalam menulis. Aamiin.

Penulis: Feri Noperman

****



Komentar