Langsung ke konten utama

Novel M.I.T

Sinopsis:

Adipura mulai berpikir realistis. Menjelang wisuda, dia pun memutuskan untuk menyerah memperjuangkan cintanya kepada Mentari, sahabat karibnya sejak kecil. Namun pesan singkat dari Samuel, sahabatnya yang lain, kembali menghadirkan dilema. Pesan singkat itu akhirnya membuka pintu menuju sebuah petualangan yang luar biasa, melintasi benua dan samudera, antara hidup dan mati, termasuk diburu oleh kelompok teroris paling berbahaya di dunia, Antimodern. Berhasilkah Adipura menyelamatkan diri sekaligus memperjuangkan cintanya? Seperti apa tantangan yang harus ditaklukkannya untuk mewujudkan harapan terbesarnya itu?

Bab 1 Setitik Cahaya Harapan

Sudah seminggu ini cahaya lampu kamarku tampak meredup. Entah apa penyebab pastinya, aku masih tak tahu. Apakah itu efek dari hujan lebat yang terus mengguyur selama seminggu ini. Ataukah karena umur bohlamnya yang memang sudah mendekati ajal. Atau jangan-jangan bohlam itu ketularan diriku, mulai kehilangan semangat hidup. 

Beberapa tahun belakangan, semangat hidup sudah menjadi hal paling asing dan paling aneh dalam kamus kehidupanku. Setelah kurenungi secara mendalam, ternyata penyebab utamanya hanya satu. Penyebab itulah yang secara perlahan menggerogoti kesehatan mentalku.

Sambil berbaring telentang, kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Tidak seperti biasanya, malam ini aku tiba-tiba tertarik untuk memperhatikan secara detail kondisi semuanya. Kecuali bohlam lampu itu, suasana kamarku hampir tidak mengalami perubahan sama sekali selama empat tahun ini. Keadaannya masih persis seperti ketika pertama kali aku datang dan memutuskan mengekos di sini. 

Sudah sering kuusulkan pada pemilik kos untuk mengecat ulang dinding-dindingnya yang mulai pudar. Tapi Si Pemilik enggan melakukannya karena aku menolak menambah uang sewa. Aku tidak ingin menambah beban orang tuaku hanya gara-gara cat pudar itu. Secerah apapun cat dinding itu, tidak akan banyak membatu dalam mencerahkan hidupku.

Selain aku, penghuni terbesar kamar ini adalah sebuah dipan butut yang di atasnya terhampar kasur kapuk kumal tempatku sedang berbaring. Kasur kapuk ini kubawa jauh-jauh dari kampung karena aku tidak bisa tidur di kasur busa. Seingatku, semenjak kasur ini menghuni kamarku, baru dua kali ia terkena terpaan sinar matahari langsung. Yang pertama gara-gara kebocoran atap yang membuatnya basah kuyup. Yang kedua gara-gara membludaknya populasi kutu kasur yang menyebabkan kulitku bentol-bentol gara-gara mereka mengeroyokku secara tidak berperikebinatangan. Selain menjemurnya tiga hari berturut-turut, aku juga terpaksa menyemprotnya dengan racun serangga terbaik seantero jagat. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin dengan khasiat racun serangga itu karena kutu-kutunya masih nyaman tinggal di kasur hingga sekarang. Pernyataan bombastis itu hanyalah klaim sepihak dari penjualnya.

Meja kayu butut di sudut sana juga tidak berubah, baik itu bentuk, ukuran, penampakan, maupun posisinya. Perubahan yang tidak dapat dipungkiri hanyalah catnya yang mengikuti jejak tembok di sekitarnya, terus memudar secara tidak terkira.

Di atas meja terdampar beberapa buku loakan yang tidak pernah sekalipun merapikan diri sendiri. Mereka sesuka hati saja berserakan ke mana-mana. Andai saja mereka mengikuti lomba kebersihan dan kerapian tingkat RT, bisa dipastikan mereka langsung tersingkir di babak pertama. Buku-buku itu tidak bisa disalahkan. Kondisi mereka sudah memprihatinkan seperti itu sejak kubeli di pusat buku loakan di pinggir kota. Mau berbaris dan membersihkan diri seperti apa pun, penampilan mereka akan tetap mengenaskan seperti itu. Bagaimana pun, aku tetap harus berterima kasih kepada mereka karena telah sudi menemani hari-hari sepiku selama menempuh pendidikan di kota ini.

Beberapa hari lagi, aku mungkin akan berpisah dengan kamar yang sangat bersejarah ini. Sudah kuputuskan untuk pulang kampung setelah wisuda minggu depan. Aku ingin mengabdikan diri di sana. Kepala sekolah salah satu SMP milik pemerintah di kampungku, yang kebetulan tetangga samping rumah orang tuaku, menawariku untuk honor di sekolahnya. Rasanya mengajar di sekolah itu menjadi pilihan yang paling masuk akal karena sesuai dengan level kemampuanku yang serba minimal. 

Aku tidak terlalu yakin bisa mengajar di kota sebesar kota pahlawan ini. Bisa kupastikan kemampuanku jauh di bawah standar tenaga pendidik sekolah-sekolah yang ada di kota terbesar kedua di Indonesia ini. Kalaupun kupaksakan diri, takutnya hanya akan merugikan para pembelajar sejati generasi penerus bangsa yang penuh semangat itu. Cita-cita mereka terlalu berharga untuk diserahkan kepada orang sepertiku.

Jangankan membantu mereka mewujudkan cita-cita, cita-citaku sendiri saja belum mampu kuwujudkan hingga kini. Aku semakin ragu dengan jalan hidupku ke depannya. Semakin hari semangatku untuk memperjuangkan apa yang paling kuinginkan dalam hidup semakin memudar. Bahkan sekarang, sudah dapat disimpulkan kalau keinginan itu sudah mustahil untuk diwujudkan. Sudah tidak ada lagi alternatif untuk mewujudkannya. 

Kini aku sudah menyerah. Aku sudah pasrah. Terserah angin kehidupan akan membawaku ke mana. Mungkin keadaanku yang memprihatinkan inilah yang membuat bohlam lampu di langit-langit itu ikut-ikutan hidup segan mati tak mau. 

Getaran ponsel di atas meja tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku tersentak kaget karena hampir tidak pernah ponsel itu bergetar malam-malam begini. Dengan malas-malasan kumiringkan badan lalu kujulurkan tangan untuk meraihnya. Kunatap layarnya dengan ogah-ogahan. Sebuah pesan singkat dari Samuel terpampang di layar. Dengan agak malas-malasan kubuka pesan itu lalu mulai kubaca. 

[Aku baru saja membaca tawaran beasiswa luar negeri dari LPDP. Kita coba yuk! Kayaknya seru juga kalau kita bisa lanjut kuliah ke Amrik, pusat peradaban maju saat ini.]

Pesan itu tidak menarik sama sekali. Tawaran seperti itu sangat tidak cocok disampaikan padaku. Menyelesaikan kuliah S1 ini saja rasanya sudah setengah mati, bagaimana mungkin aku tertarik melanjutkan kuliah S2. Tantangannya tentu jauh lebih besar dan lebih berat. Apalagi kalau kuliahnya di luar negeri, tentu tantangannya menjadi berkali-kali lipat. Bisa-bisa duniaku benar-benar terjungkir balik nantinya. 

Kuletakkan kembali ponsel ke atas meja. Setelah itu aku kembali mengambil posisi telentang seperti sediakala, meletakkan kedua tanganku di belakang kepala, menatap langit-langit, lalu melanjutkan lamunan yang sebenarnya unfaedah.

Tapi lamunanku kali ini tidak berlangsung lama. Satu kata di dalam pesan Samuel barusan tiba-tiba terbersit begitu saja di benakku. Kata itu adalah Amrik! Bukankah kata Amrik yang dimaksudkan Samuel itu adalah Amerika Serikat?! Negeri Paman Sam?!!!

Aku pun kembali tersentak kaget untuk kedua kalinya. Kata Amrik itu laksana lonjakan listrik tegangan tinggi yang tiba-tiba menyengatku. Aku bangkit dari tempat tidur dan duduk tegap dengan menjuntaikan kaki di samping dipan. Kucubit lenganku, takut kalau ini semua hanya mimpi. Rasa sakit langsung terasa di bekas cubitan itu. Aku tidak terbangun. Berarti aku tidak sedang tertidur. Itu artinya semua ini bukan mimpi. Ini semua adalah nyata. Ini seperti sebuah keajaiban. Kata Amerika itu terkoneksi dengan kata lain yang begitu berarti dalam hidupku, Mentari! 

Bukankah Amerika itu tempatnya menempuh pendidikan saat ini?!

Pesan singkat Samuel tadi kembali kubuka. Dengan perlahan kembali kubaca pesannya secara lebih cermat. Kali ini kueja pesan itu kata per kata untuk memastikan kalau memang ada kata Amerika di sana. Setelah membacanya berkali-kali, maksud pesan itu pun dapat kumengerti dengan baik. Samuel mengajakku melamar beasiswa untuk kuliah S2 ke Amerika!!!

Pesan singkat Samuel itu menjadi satu dari sedikit kabar gembira yang kudapatkan belakangan ini. Boleh dikatakan pesan itu berhasil mengalahkan kabar gembira yang disampaikannya sewaktu novelku menjadi bestseller beberapa bulan yang lalu. Andai saja aku bisa mendapatkan beasiswa studi S2 ke Amerika, berarti aku bisa bertemu dengan Mentari! 

Tiba-tiba jalanku terasa kembali lapang, lurus, dan terang. Ternyata perjuangan cintaku masih belum berakhir! Cintaku tidaklah seperti pungguk merindukan bulan! Perjalanan cintaku masih jauh dari gerbang kemustahilan!

Dengan sigap aku beralih tempat duduk ke kursi di depan meja belajar, lalu mengambil spidol dan beberapa kertas kosong. ‘Cinta tak harus memiliki’ yang diikuti tanda tanya besar kutuliskan di selembar kertas HVS ukuran A4. Tanda tanya itu besar sekali sampai memenuhi kertas. Kuremukkan kertas di tanganku sampai seremuk-remuknya, lalu kubuang ke kotak sampah. 

Siapa bilang cintaku tak bisa kumiliki? Lihatlah! Sebentar lagi aku akan pergi ke negeri Paman Sam! Aku akan menyusul Mentari! Aku akan menggapai cintaku itu!

Pada kertas kosong lainnya kutuliskan sebuah kata motivasi yang dulu pernah kuikrarkan dan kemudian sempat menguap begitu saja, ‘tatkala engkau menganggap sesuatu itu sangat berharga bagimu, maka perjuangkanlah sampai tetes darah penghabisan.’ Kulipat kertas itu kecil-kecil, lalu kutelan bulat-bulat. Dengan begitu, kata motivasi itu akan dihaluskan oleh lambungku, diserap oleh usus-ususku, mengalir ke aliran darahku, mengendap di lubuk hatiku yang terdalam, sehingga bersemayam selama-lamanya di dalam jiwaku.

Dengan emosi yang masih meledak-ledak, aku pun keluar kamar dan berteriak, 

“Wahai sang bayu! Sampaikan pada bidadari pujaan hatiku! Tak apalah dia pergi, sampai ke ujung dunia sana. Aku akan tetap mengejarnya! Camkan itu!!!” 

Lega sekali rasanya berteriak penuh emosi.

Hujan belum mereda. Butiran-butirannya yang sebesar kelereng terus mengguyurku. Tapi aku tak peduli. Kutengadahkan wajah ke langit. Menatap gelap. Hitam. Pekat. Seperti hitamnya jalan hidupku. Namun, di antara gelap nan pekat itu, ternyata masih terlihat setitik cahaya. Itulah setitik cahaya harapan untukku.

****
Penulis: Feri Noperman
_____________________________________________________________

Komentar