Langsung ke konten utama

Diakui di Negeri Canggih, Dilupakan di Negeri Sendiri?

Wajar rasanya kalau saya merasa bahagia ketika artikel ilmiah kami diterima di jurnal internasional terindeks scopus (Q3) untuk pertama kalinya. Apalagi saya menjadi penulis pertama. Artikel tersebut diterbitkan secara resmi di Malaysian Online Journal of Educational Management (MOJEM) awal tahun 2020. Kebahagiaan itu bukan tanpa alasan. Belakangan ini scopus sedang menjadi primadona yang mempesona sekaligus momok yang menakutkan bagi banyak dosen di Indonesia. Bisa berdamai dan berkawan dengan scopus mungkin merupakan idaman sebagian besar dosen Indonesia.

Baca artikelnya: DESIGNING INQUIRY-BASED EXPERTISE SHARING MODEL TO ENHANCE GRADUATE EMPLOYABILITY IN HIGHER EDUCATION INSTITUTIONS

Artikel kami memiliki status terindeks scopus karena jurnal yang mempublikasikannya memang sudah terindeks scopus. Dengan kata lain, status artikel tersebut mendompleng status jurnalnya. Tapi kasus masuknya artikel yang sama ke dalam database ERIC sedikit berbeda. Setelah saya cek di website ERIC, jurnal MOJEM belum terdaftar di ERIC. Itu artinya artikel tersebut masuk ke dalam database ERIC bukan karena mendompleng jurnalnya, melainkan semata-mata karena artikel itu sendiri. Kalau boleh sedikit sombong, artikel tersebut masuk ke database ERIC memang karena kualitas artikelnya, bukan karena kualitas jurnalnya. Pada kasus artikel kami, diakui oleh ERIC terasa lebih membanggakan dibandingkan diakui oleh scopus. Perumpamaannya adalah, diakui hebat karena kehebatan diri sendiri jauh lebih membanggakan dibandingkan diakui hebat karena kehebatan orang tua.

Di balik kebahagiaan yang sedang saya rasakan, tetap timbul sedikit kekhawatiran. Sudah lama saya tahu bahwa banyak orang Indonesia yang cerdas dan berprestasi luar biasa serta mendapat pengakuan di luar negeri sana, ternyata malah kurang mendapatkan perhatian, pengakuan, dan penghargaan di negeri sendiri. Saya tidak akan menceritakan orangnya satu persatu, karena hanya akan membuat tulisan ini terlalu panjang untuk dibaca. Saya hanya ingin membagikan sedikit pengalaman yang mengkhawatirkan untuk melegakan dan melapangkan hati.

Baca pula: Pembelajaran Berbagi Keahlian

Kekhawatiran saya itu bukan tanpa alasan. Ketika saya membagikan artikel tersebut di salah satu grup WA di institusi tempat saya bekerja, sedikit sekali yang merespon. Sejauh ingatan saya, hanya ada lima orang dosen yang mengaku tertarik untuk menerapkan model pembelajaran yang dikenalkan di dalam artikel tersebut. Tiga orang diantaranya bahkan memang sempat berdiskusi langsung dengan saya. Namun rasanya jumlah itu sangat tidak berarti karena jumlah total dosen di institusi saya ribuan. Secara statistik, jumlah yang tertarik itu sangat tidak signifikan, karena kurang dari 1 persen. Selain itu, sampai sejauh ini, tidak ada satu pun dosen perguruan tinggi lain di seluruh Indonesia yang pernah berkorespondensi dengan saya guna membahas tentang artikel tersebut (Saya seperti terlalu banyak berharap ya, hehe). Tapi, mudah-mudahan, ketiadaan korespondensi itu bukanlah pertanda bahwa dosen di Indonesia tidak tertarik sama sekali dengan model pembelajaran yang dibahas dalam artikel itu.

Beberapa bulan kemudian, kebahagiaan saya semakin bertambah ketika artikel yang sama berhasil masuk ke dalam database ERIC (Education Resources Information Center). ERIC merupakan perpustakaan digital yang menghimpun sumber informasi digital yang berkaitan dengan pendidikan yang disponsori oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Untuk dapat masuk ke dalam database ERIC, sebuah artikel harus memenuhi kriteria tertentu dan diseleksi secara khusus pula. Ketika sebuah artikel terpilih masuk ke dalam database ERIC, itu artinya artikel tersebut merupakan artikel pilihan. Itu artinya Departemen Pendidikan Amerika Serikat mengakui dan menganggap artikel tersebut bernilai bagi pendidikan Amerika Serikat, maupun pendidikan di seluruh dunia pada umumnya.

Baca pula: Pendidikan Sains dan Teknologi

Perasaan bahagia yang saya rasakan tentu sangat manusiawi. Seingat saya, tiga tahun sebelumnya saya masih merasa minder ketika memulai langkah pertama menjalani misi menulis artikel berbahasa inggris. Pada saat itu, saya malah tidak berani berkhayal akan mampu menulis artikel yang diterbitkan di jurnal internasional. Karena tuntutan profesi dosen memang seperti itu, mau tidak mau saya harus melakukannya. Kalau kemudian saya berhasil menulis artikel berbahasa inggris, kemudian berhasil diterbitkan di jurnal internasional terindeks scopus, bahkan kemudian berhasil masuk database ERIC, itu seperti mukjizat.

Sampai saat ini, saya masih belum percaya kalau tulisan itu mendapat kehormatan diakui oleh lembaga sekelas Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Bukan apa-apa, Amerika Serikat merupakan kiblatnya karya ilmiah. Negeri itu merupakan gudangnya para ilmuan, peneliti, insinyur, dan penulis hebat. Mayoritas tulisan ilmiah berasal dari sana. Bisa menyelip diantara orang-orang hebat disana bukanlah perkara sederhana. Bagi saya itu sangat luar biasa. Yang membuat itu seperti mukjizat adalah, tulisan-tulisan saya sebelumnya bahkan belum mendapat pengakuan di lingkungan sendiri, mulai dari level fakultas, institusi, kementerian, apalagi level nasional.

Saya tidak mengaku kalau saya sudah hebat dan setara dengan orang-orang hebat lainnya. Saya juga tidak merasa sudah layak dihargai atau dihormati seperti orang-orang hebat tersebut. Kekhawatiran saya bukan tentang diri saya, melainkan tentang artikel yang saya sebut di atas. Saya khawatir kalau-kalau artikel tersebut mengalami nasib yang sama, berhasil mendapat pengakuan dari lembaga sekelas Departemen Pendidikan Amerika Serikat, tapi ternyata tidak mendapat pengakuan yang sama di negeri sendiri. Sebenarnya, diakui atau tidak bukanlah masalah buat saya. Seumur hidup, saya sudah terbiasa mengalami kejadian tidak diakui bahkan sampai diremehkan. Kekhawatiran saya hanya satu. Saya khawatir kalau-kalau manfaat artikel tersebut kurang terasa di negeri sendiri, tapi malah lebih terasa di negeri nun jauh disana.

Kalau boleh jujur, yang lebih menyesakkan dada terjadi ketika saya mengusulkan proposal penelitian untuk menindaklanjuti model pembelajaran tersebut. Lembaga penelitian di institusi tempat saya mengabdi, menolak proposal itu. Itu artinya, pengembangan lebih lanjut model tersebut harus dilakukan melalui penelitian mandiri (lagi). Sama seperti yang telah saya lakukan untuk menghasilkan artikel tersebut. Itu artinya saya harus kembali bekerja dengan dana sendiri. Saya pun sempat merasakan kalau apa yang telah saya lakukan dan hasilkan, belum begitu dihiraukan.

Baca pula: Pengembangan dan Penerapan Inovasi Pembelajaran

Bagaimanapun juga, saya tetap berdoa, mudah-mudahan apa yang saya sampaikan di atas hanya sebatas kekhawatiran saja, yang hanya muncul di dalam hati dan pikiran, tidak muncul dan mewujud di kehidupan nyata. Mudah-mudahan itu hanyalah prasangka buruk yang wajar dialami oleh orang yang sedang kecewa. Mudah-mudahan, gagasan yang dituangkan di dalam artikel tersebut dan artikel-artikel berikutnya tetap mendapat perhatian banyak pihak dan dapat bermanfaat bagi institusi saya maupun bagi Indonesia pada umumnya. Semoga.

Penulis: Feri Noperman

Baca pula:

Keajaiban di Jalan Allah

Sepatu Keberuntungan

Resiko Jualan Online Bagi Pemula

Menuai Inspirasi dari Lagu-lagu Hits

Komentar