Langsung ke konten utama

Membangun Lembaga Pendidikan Tanpa Modal

Oleh: Taufik Hidayat

Apa mungkin membangun lembaga pendidikan tanpa modal? Bisa jadi itulah pertanyaan yang muncul ketika Anda membaca judul tulisan ini. Memang tidak mungkin kalau tanpa modal sama sekali. Judul itu lebih untuk memotivasi saja.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengingatkan bahwa modal itu jangan hanya dipahami sebagai uang atau finansial semata. Masih banyak modal lain yang bisa digunakan selain uang. Kebetulan saya memiliki pengalaman membangun atau mengembangkan lembaga pendidikan yang nyaris tanpa menggunakan uang sebagai modal awalnya. Maksud saya, tidak semata-mata berangkat dari ketersediaan uang yang cukup, baru melakukan pengembangan.

Sekitar lima tahun yang lalu, saya diminta menjadi ketua Yayasan Pendidikan NU Kota Banjarmasin. Yayasan ini membina dua lembaga pendidikan yaitu SMPNU dan SMKNU. Saat itu, yayasan memiliki dana yang minim. Sementara saya yang diminta menjadi ketua yayasan bukanlah orang yang memiliki harta berlebih. Artinya, kalau semata-mata memandang uang sebagai modal untuk bisa membangun, maka SMPNU dan SMKNU Banjarmasin tidak akan pernah berkembang seperti sekarang.

Sebagai gambaran, lima tahun yang lalu dua sekolah itu masih berada di satu lokasi dengan lahan sempit, hanya sekitar 1.200 meter persegi. Kini alhamdulillah sudah berada di dua lokasi, dengan lahan lebih dari 1 hektar. Dulu kegiatan belajarnya harus dibuat pagi-sore secara bergantian karena keterbatasan ruang kelas. Kini semua siswa sudah belajar pagi semua karena ruang kelasnya sudah mencukupi untuk menampung semua siswa secara bersamaan. Artinya kini, lahan dan bangunannya sudah cukup, tidak kekurangan lagi.

Dulu bengkel praktek siswa berada di lingkungan sekolah, sehingga mengganggu proses belajar mengajar. Kini, bengkel praktek sudah berdiri di luar lingkungan sekolah, dan berada di pinggir jalan. Dengan posisinya yang strategis, bengkel itu bisa dikembangkan menjadi bengkel komersial, tidak semata-mata tempat praktek siswa. Hasilnya tentu dapat digunakan untuk melakukan pengembangan sekolah lebih lanjut.

Kok, bisa ya, dengan dana yang minim dapat mengembangkan sekolah itu secara pesat? Tentu saja bisa. Saat itu, kami di yayasan tidak memandang ketersediaan uang sebagai titik berangkat untuk melakukan pengembangan. Kami melakukan terlebih dahulu apa yang bisa dilakukan. Insya Allah uang akan datang. Bagi kami uang bukan segala-galanya, walaupun segala-galanya memang memerlukan uang.

Kembali ke topik penunjukkan saya sebagai ketua yayasan. Biasanya, seorang ketua yayasan harus memenuhi minimal salah satu dari ketiga syarat ini, yaitu memiliki kemampuan finansial (kaya), memiliki posisi penting, dan berpengalaman mengelola lembaga pendidikan. Dengan kemampuan finansial, pengembangan lembaga pendidikan yang dibina akan lebih mudah karena Si Ketua dapat menyumbangkan kekayaannya sebagai dana pendukung. Posisi penting juga penting karena dapat digunakan untuk melobi pihak-pihak terkait seperti pemerintah atau pihak swasta untuk turut memberikan bantuan. Kalau misalnya tidak kaya dan tidak punya posisi penting, minimal seorang ketua memiliki pengalaman mengembangkan lembaga pendidikan, sehingga dengan pengalaman itu lebih mudah melakukan pengembangan.

Nah, pada kasus saya, ketiga persyaratan itu tidak terpenuhi satu pun. Kalau kriteria ketua yayasan harus seperti itu, sesungguhnya saya tidak layak menjadi ketua. Saya bukanlah orang yang kaya. Saya juga tidak memiliki pekerjaan tetap. Sementara saya harus membiaya dua orang anak yang sedang kuliah di luar daerah. Saya hanyalah mantan ketua dewan perwakilan daerah, yang sudah kehilangan jabatan itu sekitar lima tahun. Saya pun tidak berpengalaman mengelola lembaga pendidikan secara langsung. Namun, kondisi saat itu adalah bagaikan ungkapan “tak ada rotan akar pun jadi.” Pengurus lama rata-rata sudah uzur dan sakit-sakitan, sehingga diperlukan tenaga segar, maka saya pun dipilih.

Singkat cerita, setelah menerima amanah sebagai ketua yayasan, saya dan teman-teman pengurus melakukan evaluasi. Hasilnya, lembaga pendidikan ini di bawah pembinaan pengurus yayasan sebelumnya ternyata sudah lumayan bagus. Dari semula hanya satu lembaga pendidikan (SMPNU) sudah bertambah satu lagi (SMKNU). Kualitas dua lembaga pendidikan itu sudah lumayan baik, sehingga mendapat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat.

Sayangnya, pengurus sebelumnya mungkin sedikit lengah dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi, terutama dalam menyiapkan fasilitas. Kekurangan ruang kelas menyebabkan siswa terpaksa belajar pagi sore. Setiap tahun ajaran baru terpaksa membatasi murid yang masuk (bukan kekurangan murid sebagaimana terjadi di banyak lembaga pendidikan yang lain).

Di mana masalahnya? Lahan sempit, sehingga tidak bisa membangun ruang kelas baru. Kenapa tidak mencari lahan baru? Tak ada uang. Kenapa tidak menghimpun uang? Sudah, tetapi tidak pernah cukup. Pergerakan harga tanah jauh lebih cepat dari pengumpulan uang.

Itulah gambaran kondisi objektif yang kami hadapi saat menerima amanah sebagai ketua yayasan itu. Alhamdulillah kami pengurus baru tidak menyerah. Kami yakin bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Kami selalu berprasangka baik kepada Allah SWT, bahwa Dia tidak akan pernah mengabaikan seseorang atau kelompok orang yang sedang berikhtiar di jalan-Nya.

Tahap awal kami sepakat merubah pola pikir atau mindset, bahwa pengembangan lembaga pendidikan tidak harus dimulai dari ketersediaan uang, seperti yang dipahami banyak orang selama ini. Kita memang perlu uang, tetapi bukan dari uang kita berangkat dalam melakukan pengembangan. Masih banyak modal lain yang bisa dipergunakan, selain uang. Insya Allah uang akan menyusul saja belakangan.

Dengan perubahan mindset itu, kami pun mengubah pola kerja lama. Dulu pengurus mencari uang terlebih dahulu baru kemudian mencari lahan. Kini kami mencari lahan dulu, baru kemudian kami mencari uang untuk melunasinya. Alhamdulillah kami menemukan lahan yang tepat. Kami membayar uang muka dengan dana seadanya. Cicilan berikutnya kami lakukan sambil mengumpulkan uang. Alhamdulillah setelah lima tahun berjalan, lahan sekitar 1 hektar senilai lebih 1 milyar rupiah sudah lunas dibayar.

Langkah selanjutnya berkaitan dengan pembenahan legalitas. Setelah pembenahan itu selesai, langkah berikutnya melakukan ikhtiar lain yang bisa dilakukan, seperti membuka jaringan seluas-luasnya, terutama memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan perkembangan terbaru sekaligus penggalangan dana dari para donatur. Alhamdulillah, setelah lahan cukup luas tersedia dan legalitas selesai, kepercayaan banyak pihak meningkat, baik pemerintah maupun masyarakat. Dari pemerintah, yayasan mendapat bantuan berkaitan dengan bangunan. Sementara dari masyarakat, baik yang dikenal di dunia nyata, maupun hanya di dunia maya, masuk banyak sumbangan.

Alhamdulillah, kini upaya pengembangan fasilitas fisik relatif telah selesai. Yayasan sudah mulai bisa fokus pada pengembangan ke dalam. Pengembangan kualitas belajar dan mengajar.

Alhamdulillah, terbukti bahwa modal awal membangun lembaga pendidikan itu bukanlah uang, melainkan kemauan. Kemauan untuk berubah dan kemauan untuk bekerja keras mewujudkannya. Manfaatkan apa saja yang bisa digunakan, jangan semata-mata terfokus pada ketersediaan uang.
Semoga berbagi pengalaman ini bermanfaat bagi banyak pihak, terutama yang sedang berikhtiar mengembangkan lembaga pendidikan. Aamiin YRA.

Banjarmasin, 15/11/2020

Komentar

  1. MasyaAllah sangat menginspirasi, laksana bukti pedang Man Jadda Wajada ya ini 💫

    BalasHapus

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar positif dan membangun untuk kebaikan kita bersama. Terimakasih.