Langsung ke konten utama

Postingan

BAB 2 ANTI MAINSTREAM

Setelah menikah, tentu banyak sekali perubahan yang terjadi dalam diriku . Sebagian perubahan itu kulakukan dengan kesadaran sendiri karena memang kuanggap baik untukku. Sebagian lainnya terpaksa kulakukan karena harus mengikuti kemauan istriku. Selain itu ada pula perubahan yang kulakukan antara sadar diri dan keterpaksaan. Salah satunya adalah bangun pagi. Sangat kusadari kalau bangun pagi itu sangat baik, bukan hanya bagiku melainkan juga bagi orang-orang di sekitarku, terutama istriku. Akan tetapi, aku masih sering kesulitan melakukannya. Kebiasaan buruk bangun kesiangan yang mulai muncul selama kuliah dulu akhirnya berkelanjutan sampai sekarang. Mau tidak mau, setiap pagi istrikulah yang harus membangunkanku secara paksa dengan berbagai cara. Cara paling sederhana yang sering dilakukannya adalah dengan menepuk atau menggoyangkan tubuhku mulai dari satu sampai dengan sepuluh skala richter. Satu skala richter itu mirip dengan seorang ibu yang sedang menepuk pantat bayinya agar m

Jawaban Tanpa Kata

  Vania melirik sebentar jam dinding ruang tamu. Hampir pukul sepuluh malam. Matanya tidak lepas dari pintu depan, masih menantikan Bunda Karin pulang. Tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah depan rumah. Dengan bergegas dia membukakan pintu. Rupanya itu bukan bunda Karin yang sedang dinantinya. Dia pun langsung kecewa. Ratmi yang baru saja turun dari taksi online langsung berlari kecil mendekati teras lalu menyapa Vania. “Hai, Sayang.” “Hai, Tante,” balas Vania dengan suara pelan dan terkesan ogah-ogahan. Diamatinya wajah Ratmi sebelum mempersilakannya masuk. Vania melangkah masuk lebih dulu. Ratmi mengekor di belakangnya. Mereka lalu duduk di kursi tamu. Tanpa berbasa-basi, Ratmi langsung menyampaikan maksudnya. “Tante dapat amanah dari papamu. Dia dan Bunda Karin belum bisa pulang. Jadi Tante diminta menemanimu di rumah.” “Memangnya Papa sama Bunda lagi di mana dan ada pekerjaan apa, Tante?” Tatapan penuh selidik Vania tajam menyorot mata Ratmi. “Tante belum tahu pasti.” Ratmi ter

Kepingan Hati

Bagi Vania, minggu pagi ini sudah tidak sama lagi dengan minggu pagi sebelum-sebelumnya. Tidak ada lagi agenda jalan-jalan ke tempat wisata. Bukan karena ayahnya tidak menawari atau mengajak ke sana, melainkan karena dia sudah tidak berminat lagi dengan hal-hal seperti itu. Jalan-jalan di akhir pekan hanya akan mengingatkannya pada Bunda Karin. Itu hanya akan membuatnya kembali sedih. Hatinya akan semakin perih. Celakanya lagi, tidak ada obatnya sama sekali. Setidaknya, hingga saat ini. Sudah hampir satu jam dia menatap kosong ke arah catatan-catatan pelajaran di atas meja belajarnya. Tampaknya dia tidak berniat sama sekali untuk membacanya walaupun besok adalah hari pertama ujian semester kedua. Catatan itu makin tidak menarik karena ditulis secara asal-asalan dengan pena bertinta hitam. Huruf-hurufnya tidak jelas sehingga perlu upaya keras untuk memahami kata, frasa, maupun kalimat yang tertulis di sana. Banyak bagian catatan yang terlihat kosong, baik berupa ruang kosong antar kata

Sinopsis Novel Kepingan Ketiga

  Judul                            : Kepingan Ketiga Genre                           : Drama Segmen Pembaca    : Dewasa Jumlah Halaman     : 396 halaman Jumlah Kata             : 100.626 kata Point of View           : orang ketiga Sinopsis Tidak ada yang salah dan aneh dengan keputusan Miranda untuk memulai hidup baru. Namun nyatanya, keputusan itu berdampak buruk, nyaris menghancurkan persahabatannya, meluluhlantakkan kehidupan seorang pria yang pernah dicintainya, bahkan sampai menghilangkan nyawa beberapa orang terdekatnya. Dampak keputusan itu merembet hingga merenggut semangat hidup seorang gadis remaja. Bagaimana perjuangan Miranda bangkit dari keterpurukan, menghapus rasa bersalah, sekaligus menemukan kebahagiaan hidupnya?

Batal

Tidak seperti biasanya, Adit bangun sangat pagi hari ini. Dia langsung menuju dapur untuk memasak. Bukan untuk sahur, melainkan untuk ibunya yang akan ditinggalkannya seharian penuh. Setelah selesai salat subuh, dia langsung menghampiri ibunya yang terkulai lemas di tempat tidur. "Aku pergi sebentar ya, Bu. Ada janji menemui seseorang di bandara," katanya seperti berbisik. Ibunya tersenyum lalu mengangguk. "Dia hendak pergi ke luar negeri," tambah Adit. Ibunya menatap anak semata wayangnya itu dengan berbinar-binar. Dia kembali mengangguk sambil berkata, "Kalau sudah selesai, langsung pulang, ya." "Iya, Bu. Nanti Adit langsung pulang. Nasi sama lauk untuk sarapan dan makan siang ibu sudah Adit letakkan di meja," balas Adit sambil menunjuk meja di dekat tempat tidur ibunya. Setelah bersalaman dengan ibunya, Adit beranjak ke depan rumah untuk mengeluarkan sepeda motor. Beberapa menit kemudian dia sudah berada di atas jok motor yang sudah diparkirka

PARADIGMA

Oleh: Feri Noperman Jika Anda merasa dunia selalu terlihat gelap, sempit, penuh dengan penderitaan, atau tidak ada indah-indahnya sama sekali. Mungkin kesalahan bukan terletak pada dunia di luar sana. Mungkin kesalahan itu terletak pada kacamata yang Anda gunakan selama ini untuk melihat dunia. Kalau Anda menggunakan kacamata hitam, maka dunia akan selalu terlihat gelap. Kalau Anda menggunakan kacamata merah, maka dunia akan selalu terlihat merah berdarah-darah. Kalau Anda menggunakan kacamata kuda, maka dunia akan selalu terlihat sempit. Kalau kacamata Anda berdebu, maka dunia akan selalu terlihat kotor. Sebaliknya, kalau Anda menggunakan kacamata bening dan bersih, maka dunia akan terlihat apa adanya. Pelangi akan terlihat berwarna-warni, dan mungkin indah. Pepohonan akan terlihat hijau, dan mungkin terasa menyegarkan. Lautan akan terlihat biru, dan mungkin dapat menenangkan. Keburukan pun akan terlihat buruk dan Anda bisa menghindarinya dengan baik. Kacamata merupakan perumpamaan ya

PERGESERAN SAMUDERA BIRU (BLUE OCEAN SHIFT)

Oleh: Feri Noperman Dari dulu, saya termasuk orang yang tidak setuju dengan sistem persaingan dengan orang lain untuk memperebutkan hal yang sama. Lebih spesifik lagi, saya tidak setuju dengan sistem peringkat di kelas dan di sekolah karena itu bentuk persaingan yang tidak adil dan tidak sehat. Menurut saya "berkompetisi dengan orang lain tidak pernah adil, sebab titik start dan bekal yang dimiliki setiap orang itu berbeda-beda." Sebenarnya saya termasuk orang yang diuntungkan dengan sistem peringkat di kelas dan di sekolah. Dari SD sampai SMA, saya sering juara kelas bahkan juara umum di sekolah (tapi sekolah pinggiran ya, bukan sekolah favorit, he he). Saya pernah juara 1 di kelas. Beberapa kali juga peringkat 2 dan 3. Saya bahkan pernah juara umum di SMP dan STM. Tapi tetap saja, keberhasilan saya mewujudkan cita-cita bukan karena status juara umum itu, melainkan berdasarkan upaya lain yang lebih masuk akal yaitu belajar. Walaupun saya juara umum di STM, nyatanya saya gaga