Langsung ke konten utama

Pilih Mana, Kesuksesan atau Kebahagiaan?

Dulu saya sering galau, karena selalu diminta memilih salah satu dari beberapa pilihan yang ada. Ketika tamat SMP, saya dihadapkan pada pilihan apakah mau menjadi seniman atau montir. Sebenarnya hati kecil saya lebih memilih ingin menjadi seniman. Saat itu saya suka menggambar dan melukis. Tapi kata orang-orang sekitar, masa depan seniman tidak jelas. Saya pun kemudian memilih (sebenarnya lebih ke arah dipilihkan) menjadi montir (masuk STM jurusan otomotif). 

Ketika tamat STM dan diberi kesempatan kuliah, saya kembali dihadapkan dengan pilihan apakah mau menjadi insinyur (menindaklanjuti jurusan di STM) atau menjadi yang lain. Tanpa sengaja, saya memilih yang lain. Saya sebut yang lain karena pada waktu itu saya tidak tahu jurusan yang saya pilih akan menjadi apa. Saya baru menyadari bahwa jurusan itu nanti akan menjadi guru ketika sudah kuliah.

Selama kuliah, saya kembali dihadapkan dengan pilihan, apakah mau menjadi guru biologi atau ilmuan biologi. Pada waktu itu, kami masih diberi dua pilihan itu. Saya akhirnya mengambil keputusan yang berbeda dari sebelumnya. Saya tidak akan lagi memilih salah satunya. Kalau saya bisa memilih keduanya, kenapa harus memilih salah satu saja? Saya pun memutuskan ingin menjadi dosen agar saya bisa menjadi guru (di kampus) sekaligus ilmuan biologi.

Banyak orang yang mengatakan ke saya tentang kesuksesan. Katanya, kalau mau sukses, fokuslah pada satu pilihan saja. Lalu lupakan pilihan yang lain. Perumpamaannya pun keren. Cahaya matahari yang difokuskan melalui lensa cembung (bisa juga pakai bohlam bekas yang diisi air) lebih mudah membakar kertas daripada cahaya yang tidak difokuskan. Artinya, pikiran yang fokus pada satu hal lebih mudah untuk mencapai atau mewujudkan sesuatu dibandingkan dengan pikiran yang bercabang-cabang atau menginginkan banyak hal.

Pada awalnya saya percaya dan manut saja. Saya memilih dan fokus pada satu hal. Tapi pada akhirnya saya menyadari bahwa pernyataan itu tidak berlaku umum. Itu tidak berlaku pada saya. Silahkan saja orang-orang sukses itu berkata seperti itu. Tapi saya tidak bisa mengikutinya. Saya tidak bisa dan bahkan tidak suka fokus terhadap satu hal saja. Saya suka melakukan banyak hal. Saya suka meneliti. Saya suka mengajar. Saya suka menulis novel. Saya suka menulis cerpen. Saya suka menulis artikel ilmiah. Saya suka menulis buku referensi. Saya suka menulis puisi. Saya suka menyanyi dan main gitar. Bahkan rencananya, saya ingin menulis lagu lagi. 

Memang, pada akhirnya saya tidak menjadi yang terbaik di semua hal yang saya suka. Saya tidak pernah menjadi dosen terbaik. Saya tidak pernah menjadi peneliti terbaik. Saya bukan penulis novel terbaik (bahkan belum satu pun novel saya terbit sampai tulisan ini ditulis). Saya bukan penulis buku terbaik (saya mengalami kesulitan luar biasa melariskan buku pertama saya). Saya tidak pernah menjadi pencipta lagu atau penyanyi profesional (memang dulu pernah bikin satu album untuk nembak cewek, hehe).

Bagaimanapun, saya bahagia ketika melakukan semua yang saya suka. Saya bahagia menjadi ilmuan karena memang saya suka melakukan penelitian. Saya bahagia menjadi guru karena saya suka memotivasi dan menginspirasi orang lain. Saya bahagia menjadi sastrawan karena saya suka mengkhayalkan jalan cerita dan merangkai kata. Saya bahagia menjadi seniman karena saya suka menyanyi dan mencipta lagu.

Berangkat dari pengalaman itulah, saya pun menarik kesimpulan untuk diri saya sendiri. Kebahagiaan lebih penting daripada kesuksesan. Tidak masalah saya tidak sukses mencapai puncak karir dari semua hal yang saya suka. Tidak masalah saya tidak menjadi yang terbaik dari semua yang saya suka. Hal yang lebih penting adalah saya nyaman menjalaninya. Lagipula, semua itu sangat bermanfaat bagi saya. Semua itu telah mendorong saya untuk terus berkembang menjadi lebih baik. Dan hal yang paling penting, mudah-mudahan itu semua bermanfaat bagi orang lain.

Seandainya kini saya diminta lagi untuk memilih antara kesuksesan dan kebahagiaan, saya tetap ingin memilih keduanya. Saya tidak mau lagi memilih salah satu dari beberapa pilihan yang ada seperti dulu. Menurut saya, kesuksesan bisa beriringan dengan kebahagiaan. Kita tidak perlu menunggu sukses untuk merasakan kebahagiaan. Kita bisa menjalani proses menuju kesuksesan dengan sebahagia mungkin. Siapa tahu kita dianugerahi dua hal itu sekaligus, yaitu kita mendapatkan kesuksesan bersama dengan kebahagiaan. 

Akan tetapi, seandainya saya terpaksa memilih salah satu antara kesuksesan dan kebahagiaan, saya lebih memilih kebahagiaan. Kebahagiaan jauh lebih penting daripada kesuksesan. Bagi saya, kebahagiaan itulah sesungguhnya kesuksesan dalam hidup.

Tulisan ini hanya berbagi perjalanan hidup saya yang berliku-liku. Mungkin tidak semua orang seperti saya. Rasanya banyak juga orang yang lebih suka memfokuskan diri terhadap satu hal dibandingkan terhadap banyak hal.  Kalau memfokuskan diri pada satu hal membuat Anda merasa lebih bahagia, maka fokuslah terhadap satu hal itu saja, nikmati prosesnya. Bahagialah dalam menjalaninya. Sebaliknya kalau melakukan banyak hal yang beragam membuat Anda bahagia, maka lakukanlah banyak hal itu. Tidak perlu terpengaruh apakah akan sukses atau tidak. Yang penting, hati Anda nyaman menjalaninya.

Pesan sederhana dari tulisan ini adalah, berusahalah untuk selalu bahagia di setiap waktu dan di setiap momen. Tidak perlu menunggu sukses mencapai sesuatu untuk mendapatkan atau merasakan kebahagiaan. Kalaupun kita belum mencapai kesuksesan, janganlah kita kehilangan kebahagiaan. Kalau itu sampai terjadi, sama saja dengan peribahasa "sudah jatuh, tertimpa pula oleh tangga, kaleng cat, ember, plafon, genteng, pesawat ulang alik, hingga meteor." Adakah kemalangan yang lebih malang daripada itu?

Jangan lupa bahagia.

***

Penulis: Feri Noperman

______________________________________________________________

Baca pula:

Membahagiakan Diri

Penulis, Tulisan, dan Peradaban

Kenapa Bukunya Tidak digratiskan? (Bagian 1)

Kenapa Bukunya Tidak Digratiskan? (Bagian 2)

Keajaiban di Jalan Allah

Memaknai dan Menyikapi Musibah

Kebencian yang Boleh Dipelihara

Merdeka dari Musuh di Dalam Diri

Modal Dasar Menjadi Penulis Istiqomah

Pendidikan dari Kacamata Saya

Komentar